Perang Diponegoro: Bukan Masalah Sejengkal Tanah

Sejak di Sekolah Dasar kita sudah diajar tentang sejarah bangsa Indonesia. Salah satu pelajaran sejarah yang masih selalu teringat ketika Sekolah Dasar adalah sejarah tentang perlawanan melawan penjajah. Baik di tanah Jawa maupun luar tanah Jawa. Di luar tanah Jawa, sejarah Perang Paderi dipimpin Imam Bonjol, Si Singamangaraja XII, Sultan Hasanudin dan masih banyak lagi. Tanah Jawa yang menjadi pusat pemerintahan Hindia-Belanda tak kurang perlawanan yang dilakukan oleh, Sultan Agung Tirtayasa, Fatahillah, serta tak ketinggalan Pangeran Diponegoro.

Mungkin perlu kita perlu membaca ulang buku sejarah yang menjadi buku ajar di sekolah. Terutama tentang Perang Diponegoro. Hal ini perlu karena terdapat distorsi dalam penulisan sejarah tentang Perang Diponegoro. Adanya upaya pengkerdilan peran Islam dalam setiap detik sejarah bangsa ini. Sampai hari ini kita akan membaca bahwa awal mula Perang Diponegoro adalah karena pemerintahan kolonial Belanda membangun jalan di atas tanah makam dan leluhur Pangeran Diponegoro. Namun pertanyaannya adalah: benarkah Perang Diponegoro terjadi karena masalah sejengkal tanah? Atau ada masalah lain yang menjadi pemicu Perang Diponegoro?

Perang Diponegoro adalah perang paling berat yang dilalui oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama melakukan perang. Meskipun perang ini hanya berlangsung lima tahun (1240 H- 1245 H / 1825M – 1830M), namun merupakan perang dengan biaya paling mahal yang pernah dikeluarkan, sekitar 200.000 golden. Perang ini pula yang membuat perusahan VOC bangkrut karena terlalu banyak mengeluarkan dana untuk biaya perang.

Sudah saatnya kita membaca fakta yang disembunyikan dari penulisan sejarah bangsa ini. Fakta yang selalu ditutupi untuk mengkerdilkan peran Islam dalam sejarah perlawanan melawan penjajah. Salah satu fakta sejarah yang tidak kita temui adalah bahwa dalam Perang Diponegoro, Pangeran Diponegoro didukung oleh 108 kiai, 31 haji, 15 syaikh, 12 pegawai penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai tasawuf.

Lagi-lagi, benarkah perang ini karena urusan sejangkal tanah leluhur pangeran Diponegoro?

Pangeran Diponegoro atau bernama asli Pangeran Ontowiriyo adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono III dari salah satu selirnya. Selama masa muda, Ontowiriyo diasuh oleh moyangnya Ratu Ageng Tegalreja Magelang. Inilah yang menyebabkan Ontowiriyo tidak terkena pengaruh oleh kebiasan istana Yogyakarta saat itu yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubowono IV.

Pangeran Diponegoro adalah seorang Muslim yang shaleh dan taat pada aturan agama. Beliau juga seorang pembaharu Islam di Jawa Tengah. Kalau kita amati dalam serial gambar-gambar pahlawan Nasional, pasti kita akan mendapati gambar pangeran Diponegoro dengan pakaian surban dan jubah. Mirip dengan pakaian yang digunakan Imam Bonjol dan para ulama-ulama sampai hari ini, meskipun kebiasaan pakaian istana bukanlah demikian.

Jauhnya dari kehidupan istana dan belajar Islam dibawah asuhan Ratu Ageng membuat pangeran Diponegoro menolak kebiasaan kehidupan istana pada saat itu. Kebiasaan istana dibawah kepemimpinan Sultan Hamengkubowono IV lebih dekat dengan kebiasaan orang-orang Belanda yang senang foya-foya dan mabuk-mabukan. Tingkah laku para bangsawan tidak lagi menjalankan syariat Islam, kehidupan mewah dan menindas rakyat kecil hingga menikah dengan banyak perempuan dan tanpa batas.

Hal itulah yang membuat beliau  melancarkan protes keras kepada pemerintahan istana saat itu. Selain itu, Pemerintahan kolonial belanda yang berlatarbelakang Kristen Protestan berusaha melakakuan pemurtadan kepada warga pribumi merupakan salah satu hal yang diperangi oleh pangeran Diponegoro.

Di sisi lain, Keinginan pangeran Diponegoro yang ingin menegakkan syariat Islam adalah ancaman bagi kolonial Belanda pada saat itu. Perjuangan pangeran Diponegoro dalam membela kepentingan rakyat kecil dan membangkitkan Islam di tanah Jawa membuatnya diangkat menjadi Sultan Abdul Hamid Erucakra Amirul Mukmin Sayyidin Panatagama Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di Tanah Jawa.

Maka, tidaklah tepat kalau hanya ditulis dalam sejarah bangsa ini bahwa sejarah Perang Diponegoro adalah karena tanah leluhur pangeran Diponegoro yang dijadikan jalan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Pangeran Diponegoro seorang muslim yang taat dan ingin menerapkan syariat Islam di Tanah Jawa. Sehingga hal ini sangat mengancam keberadaan pemerintahan kolonial yang beragama Protestan. Dan fakta bahwa banyak tokoh Islam yang mendukung Perang Diponegoro ini merupakan salah satu alasan kenapa perang ini bukan hanya soal sejangkal tanah. Tetapi lebih tepatnya adalah perang agama seperti halnya yang ada di Perang Paderi.

M. Baharudin Fahmi

Facebook:     facebook.com/baharudinfahmi
Twitter     :     @baharudinfahmi