Menjadi Manusia Sejarah, Kesadaran akan Masa Depan

“Jika aku melewati suatu tempat, aku selalu membayangkan strategi berperang di tempat tersebut.” kata Khalid bin Walid. Entah apa yang dirasakan oleh Khalid bin Walid ketika berkata seperti itu. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa ia memiliki ambisi kemenangan abadi. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa ia merasa harus selalu mengasah seni berperangnya. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa ia memiliki kewaspadaan yang tinggi akan setiap tantangan yang akan dihadapinya. Kemungkinan itu semuanya memiliki nilai kebenaran.

Manusia sejarah selalu memiliki ambisi, strategi pencapaian, dan strategi antisipasi dalam kehidupannya. Semuanya itu adalah ekspresi kesadaran akan masa depan.

Manusia sejarah sadar  bahwa kehidupannya selalu bergerak maju. Kehidupan yang telah ia lewati tidak dapat diulangi apalagi diperbaiki dengan mengubah takdir yang telah terjadi. Ia akan melewati rentang waktu yang tak diketahui lamanya. Ia sadar bahwa ia harus melewati rentang waktu itu dengan terhormat. Ada hal besar yang harus ia lakukan. Lahirlah ambisi.

Ambisi itu harus dicapai dengan strategi. Semua ada perhitungannya. Manusia sejarah sadar akan takhthiith dalam capaian hidup. Tetapi ia juga sadar bahwa ada faktor lain yang menentukan keberhasilan di luar ranah strategi pencapaian; taqdir. Oleh sebab itu ia harus menyiapkan antisipasi, baik itu antisipasi arah kehidupan maupun antisipasi psikologis. Antisipasi arah kehidupan akan menyelamatkannya dari keadaan disorientasi. Antisipasi psikologis -kesiapan mental spiritual- akan menyelamatkannya dari sikap frustasi.

Tapi saya sudah katakan, kita tidak cukup hanya menjadi manusia sejarah. Lebih jauh lagi kita harus menjadi pemburu akhirat. Di mana kesadaran akan masa depan pemburu akhirat menembus alam kubur, padang mahsyarhisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal)dan jazaa (pembalasan). Ini adalah masa depan yang jarang terjamah oleh kesadaran manusia. Ini adalah masa depan yang memiliki rentang waktu yang maha panjang.

Neraka telah menjadikan pemburu akhirat tak memiliki selera untuk bergelimang dalam syahwat. Gambaran akan kesengsaraan di sana telah memusnahkan kekerdilan jiwanya. Lukisan kedasyatan neraka telah memburamkan semua keindahan syahwati dalam pandangan mata hatinya.

Adapun surga telah menjadikannya enggan berlama-lama menikmati hasil perjuangannya secara berdarah-darah; hartanya, istri atau suami dan anaknya, popularitasnya, dan kekuasaannya. Ia sadar bahwa itu semua fatamorgana. Apa yang ia lihat di sini bukan yang ia cari. Ia harus melampauinya. Ambisi yang sebenarnya masih ada di ujung sana, di balik fatamorgana ini : surga.

Kesadaran akan masa depan seperti inilah yang dirasakan oleh generasi awal umat ini. Ketika Rasulullah berseru menjelang berkecamuknya perang Badar: “Majulah kalian semua menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi”, seorang sahabat yang sedang memakan kurma tiba-tiba berkata, “Kalau butir-butir kurma ini harus kutelan semua baru maju berperang… oh betapa jauh sungguh jarak antara aku dengan surga.” Hadirnya akhirat dan semua makna yang terkait dengan kata ini telah membuat mereka menjadi manusia-manusia sejarah yang agung dan terhormat.

Oleh : Diki Saefurohman -Bogor
FacebookTwitterBlog