Hindarilah Hal-hal Yang Menimbulkan Fitnah

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy Syuraa 30).

Sesungguhnya kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya masih jauh lebih luas, sehingga Allah memaafkan banyak sekali kesalahan dan dosa yang telah dilakukan. Oleh karena itu kita jangan meremehkan dosa dan kesalahan, karena bisa saja Allah menimpakan musibah dan fitnahnya kepada yang lain. Allah berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah ( siksaan) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (QS Al Anfaal 25).

Fitnah tidak hanya menimpa pelaku perbuatan haram dan zhalim saja, tetapi juga menimpa orang lain. Berkata Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu terkait dengan tafsir ayat ini, Allah memerintahkan orang beriman untuk tidak mengakui kemungkaran yang terjadi di tengah mereka, kalau mereka mengakui, maka Allah akan meratakan adzab-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengadzab masyarakat umum dengan amal keburukan yang dilakukan orang tertentu (khusus), sehingga ketika mereka melihat kemungkaran diantara mereka, dan mereka tidak mengingkari kemungkaran tersebut padahal mampu. Jika mereka melakukan itu, maka Allah menyiksa masyarakat umum dan khusus.” (Al Musnad Ahmad 4/192)

Para pimpinan, pejabat publik dan kader dakwah hendaknya tetap menjaga ‘iffah (kehormatan diri) dan menjauhi hal-hal yang menimbulkan fitnah dalam bermuamalah terhadap harta, wanita, tempat kegiatan dan kedudukan. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS Al Furqaan 72).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir 6/130 disebutkan, bahwa di antara sifat ibadurrahman adalah orang-orang yang memiliki sifat sebagaimana ayat ini. Di antara makna az-zuur adalah syirik dan menyembah berhala, yang lain berpendapat yaitu dusta, fasik, main-main dan batil. Berkata Muhammad bin Hanafiyah, maknanya adalah main-main dan nyanyian. Berkata Abul ’Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, Ad-Dhahak, Rabi bin Anas dan lainnya yaitu hari rayanya orang musyrik. Berkata Amru bin Qois yaitu majelis yang buruk dan kotor. Berkata Malik dari Az-Zuhri, yaitu minum khamr, mereka tidak menghadirinya dan tidak suka sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka jangan duduk di tempat yang disana diedarkan minuman keras.” (HR at-Tirmidzi).

Dan menurut Ibnu Katsir bahwa pendapat yang nyata dari alur ayat ini adalah tidak menghadiri az-zuur, oleh karena itu diteruskan dengan rangkaian ayat berikutnya: وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا   jika  terpaksa  harus  lewat/hadir,  maka  mereka  lewat/hadir  dan  tidak melakukan az-zuur tersebut. Dari Ibrahim bin Maisarah bahwa Ibnu Mas’ud melewati tempat lahwu/permainan, beliau berpaling (tidak berhenti) maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Ibnu Mas’ud telah melalui pagi hari dan sore hari secara mulia (menjaga kehormatan).”(HR Ibnu Asakir).

Supaya kita senantiasa terjaga dari fitnah, maka kita harus menjaga kehormatan (hifzhul muru‟ah), waspada terhadap syubuhat (ittiqaus syubuhat) dan menjauhi hal yang haram (ijtinabul muharramat).

RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi contoh yang baik bagi kita, agar tidak terjadi fitnah, maka Rasulullah saw menjelaskan bahwa beliau sedang bersama istrinya (bukan perempuan lain).

Diriwayatkan oleh Shafiyah binti Huyay berkata, ”Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang beri’tikaf. Aku mengunjunginya malam hari, berbicara dan aku bangun untuk pergi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ikut bangun mengantarkanku. Sedang Shafiyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Maka lewatlah dua Shahabat Anshar, ketika keduanya melihat Rasulullah, maka keduanya segera pergi. Maka Rasulullah bersabda, ”Tunggu! Ini adalah Shafiyah binti Huyay (istri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam).” Keduanya berkata, ”Subhanallah, ya Rasulullah.” Rasul bertakbir dan bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir pada anak adam seperti aliran darah, dan saya takut muncul pada kedua hati kalian keburukan.” (HR Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan Muslim )

Islam mengajarkan kepada kita akhlak yang mulia yaitu muruah (menjaga harga diri), supaya terhindar dari fitnah.

Para pimpinan, pejabat publik dan para kader dakwah juga harus berhati-hati pada harta yang syubhat dan tidak jelas, mereka harus mewaspadai harta syubhat. Sebab ketika mendekati tempat larangan, maka akan mudah jatuh pada sesuatu yang dilarang Allah.

Dari An Nu’man bin Basyir berkata, saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya adalah sesuatu yang syubhat, sebagian manusia tidak mengetahuinya. Siapa yang menghindarkan diri dari syubhat, maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang jatuh pada yang syubhat, maka jatuh pada yang haram…” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ittiqaus syubuhat (menghindarkan diri dari syubuhat) merupakan prinsip yang harus dipegang oleh kita. Disebutkan dalam Risalah Ta’lim, tentang kewajiban da’i, poin 34 dan 35:

  • Hendaknya Anda menjauhi teman-teman yang buruk dan rusak, tempat-tempat maksiat dan dosa.
  • Hendaknya Anda menghindari tempat-tempat hiburan, jangan mendekatinya dan menjauhi fenomena kemewahan dan berlebihan.

Dari penjelasan tersebut, kami memberikan pengingat kepada pimpinan, pejabat publik dan kader dakwah, sebagai berikut:

  1. Hendaknya dalam muamalah maliyah, baik berusaha, menerima dana maupun menyalurkan dananya wajib memastikan terpenuhinya tiga prinsip; aman syar`i, aman yuridis dan aman citra (3A).
  2.  Hendaknya menjaga iffah, muruah, menjauhi syubhat dan meninggalkan yang haram dalam setiap muamalah (perkataan, perbutan dan tindakan).
  3.  Hendaknya menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan, seperti berteman dengan teman yang buruk, memperlihatkan gaya hidup mewah, mendekati tempat hiburan dan kemaksiatan.

Demikianlah, para pemimpin, pejabat publik dan kader dakwah harus mewaspadai segala bentuk fitnah dan dosa. Dan setiap masalah yang dapat mengarah pada fitnah, dosa dan kerusakan, maka harus segera diselesaikan dan dicari akar masalahnya, jangan sampai fitnah mengarah pada yang lebih besar lagi yang pada gilirannya akan mengurangi keberkahan dan merusak dakwah, jamaah dan umat secara keseluruhan.

Sorang da’i berkata, ”Aku khawatir, bencana yang menimpa kaum muslimin dikarenakan dosa-dosa yang telah kulakukan. Sebab aku tahu persis dosa-dosaku!”

 

Diolah dari tadzkirah Ustadz DR Surahman Hidayat