Mabda’ Tasattur dan Opini Umum

Ada orang mengatakan, “Berbohonglah, berbohonglah, dan berbohonglah, maka kebohongan itu akan jadi sebuah kebenaran.”

Saya setuju dengan statement orang tersebut, kalau sebuah ide bohong terus saja diulang-ulangi, maka ide itu akan menjadi hal biasa dan seakan diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran, tanpa ada keraguan dari mereka untuk me-recheck-nya.

Sebut saja, kebohongan besar dalam Cerita 1001 Malam, dimana pembohong itu menggambarkan khalifah Harun Ar Rasyid sebagai seorang raja yang suka main perempuan, suka mabuk-mabukan dan sangat mudah dikibuli oleh tokoh fiktif jenaka dan kocak, Abu Nawas. Padahal, ulama-ulama yang hidup pada masa itu dan para pakar sejarah Islam sepakat mengatakan, “Harun Ar Rasyid adalah khalifah yang mendermakan hidupnya demi Islam dan umat Islam, setahun dia ibadah dan setahun berjihad.”

Atau kebohongan teori yang ditawarkan Charles Darwin tentang The Origin of Species, bahwa semua makhluk hidup itu ada dalam bentuk sangat sederhana dan terus berevolusi ke arah yang lebih sempurna, dari monyet menjadi manusia, kita manusia hari ini kapan berevolusi lagi? Kok, masih begini-begini saja?

Ini adalah efek dari opini umum, ternyata sebuah kebohongan dan kepalsuan bisa diubah menjadi sebuah kebenaran yang diterima (meskipun itu bukan kenyataan) oleh masyarakat apabila kita bisa mengemas kebohongan itu sedemikian rupa dan kita pasarkan di masyarakat, sehingga bisa menjadi opini umum. Ide yang bagus kalau punya bargain dan daya persuasif yang tinggi, sehingga keta-kata orang bijak tadi bisa direalisasikan, “Berbohonglah, berbohonglah, berbohonglah, maka kebohongan itu akan jadi kebenaran.”

Itu efek negatifyang tersebar lewat opini umum yang menyesatkan. Dan bisa dipastikan orang yang menyebarkan itu akan mendapatkan efek dari sunnah sayyiah atau jariyah suu’ yang ditanamnya itu, berupa dosa selama kebohongan itu masih dipakai. Sama halnya dengan orang yang menanam kebaikan, dia akan selalu menuai pahala selama kebaikan itu masih dipakai manusia. Jadi, berhati-hatilah dalam berbuat, apalagi perbuatan yang berhubungan dengan sesama manusia. Dia terlihat kecil, tapi efeknya besar.

Dalam Islam, ada sebuah prinsip mendasar yang diajarkan, yaitu mabda’ tasattur, prinsip menutupi hal-hal negatif. Prinsip ini adalah intisari dari sebuah hadits yang bermakna bahwa Allah tidak akan menyayangi dan sangat benci terhadap orang yang berbuat maksiat pada malam hari, dan Allah menutupinya, tetapi malah dia sendiri besok pagi yang membuka perbuatan itu kepada manusia.

Dalam hadits tersebut, si pelaku diancam dengan ancaman cukup berat, yaitu mendapatkan kebencian Allah dan dijauhkan dari kasih sayang Allah besok di akhirat. Kalau Allah sudah benci, tidak ada gunanya mendapatkan simpati dan kasih sayang penduduk bumi dari Nabi Adam sampai manusia terakhir sebelum kiamat! Anta maqsudi wa ridhaka matlubi… Engkaulah Tuhan tujuanku, dan ridha-Mulah yang ku mau….

Prinsip ini dimulai dari kejahatan pribadi, kemudian pakar hukum membakukannya menjadi sebuah prinsip dalam Islam,mabda’ tasattur, yaitu menutupi kejahatan dan nilai-nilai negatif dalam masyarakat agar tidak merusak opini umum, sehingga hal negatif yang terbentuk menjadi opini umum akan menjadi hal biasa yang tidak diingkari lagi, padahal hal negatif yang dianggap biasa itu adalah musuh social.

Islam sangat menjaga hal itu, sebut saja contohnya kenapa Islam sangat memberatkan hukuman bagi orang yang murtad dari agama Islam secara terang-terangan, hukumannya adalah death penalty. Karena, saat dia keluar dari Islam secara terang-terangan dan menodai kesucian agama, dia telah membuat sebuah opini baru, sehingga terkesan beragama itu adalah tindakan main-main. Lihatlah penodaan agama (apapun agamanya) di negeri kita sudah menjadi hal-hal biasa, bahkan kadang-kadang sesuatu yang sakral dalam agama cuma menjadi bahan olok-olokan.

Dalam hukum, menurut Imam Abu Hanifah, apabila seorang “Presiden” melakukan pelanggaran hudud, maka boleh eksekusinya tidak dilakukan di depan umum seperti halnya masyarakat lain. Kenapa? Karena wibawa presiden harus lebih dijaga, karena presiden itu berbeda dengan masyarakat biasa. Lihatlah presiden kita, semua orang memiliki kebebasan mengungkapkan “isi perutnya” terhadap presiden, mau buat karikatur silahkan, mau mengeluarkan cacian silahkan, semua bebas.

Ide penambahan materi baru di sekolah di Indonesia, materi “Anti Korupsi”. Ide bagus, bagus untuk mengajarkan anak-anak muda sejarah koruptor, trik-trik mereka korupsi, dan lahan-lahan subur untuk korupsi. Materi itu tidak lain hanya akan melahirkan koruptor-koruptor masa depan yang lebih handal. Karena mereka dikenalkan dengan korupsi dan tokoh-tokohnya. Itu adalah salah satu cara mengajarkan kejahatan di sekolah. Kalau mau mendidik generasi yang anti korupsi, jangan mengajarkan materi anti korupsi, tapi ajarkan mereka akhlak, tanamkan dalam diri mereka kejujuran, dan sifat amanah. Kalau anak-anak dicekoki dengan akhlak, amanah dan kejujuran, maka bukan saja korupsi yang teratasi, tapi juga kolusi, nepotisme, prostitusi, pengangguran dan ratusan tindak kriminal lain akan hilang.

Siaran televisi seperti gosip dan acara-acara tayangan tentang criminal lainnya juga salah satu perbuatan yang melanggar mabda’ tasattur. Lihat saja dalam acara “Siluet” misalnya, bagaimana mereka menceritakan kronologis pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan, bukankah itu sebuah cara untuk mengajari yang nonton? Gosip perselingkuhan, perceraian, bukankah itu menyebarkan aib yang tidak seharusnya dibanggakan!

Oke, kita terima alasan, “Mengetahui kejahatan bukan untuk melakukannya, tapi agar kita bisa menghindari”, tapi apakah semua orang berpikiran bagitu? Ini hal kecil yang dianggap remeh, ternyata efeknya begitu besar. Kenapa kita selalu terpaku dengan sistem pengajaran denga cara negatif? Kenapa kita tidak berusaha membina generasi dengan nilai-nilai positif, bukankah nilai-nilai positif jauh lebih berguna dari pada hal-hal negatif?

Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan sekarang menjadi hal biasa di masyarakat, kenapa sampai pelakunya anak kecil atau korbannya anak kecil? Itu semua karena nilai-nilai negatif yang seharusnya ditutupi, malah dipamer. Sesuatu yang luar biasa, apabila terjadi setiap hari akan menjadi biasa, nggak ada istimewanya lagi. Akhirnya nyawa orang lain tidak berharga, kehormatan orang lain dengan mudahnya dinistai, dan hak milik orang seakan bisa dipakai suka hati.

Itu mungkin contoh untuk ranah yang luas, kita lihat saja ranah yang lebih sempit. Update status-status di Facebook. Banyak orang yang dengan bangganya menuliskan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan, di wall dan status-status mereka. Bahkan kadang-kadang hal-hal yang seharusnya tidak boleh keluar “kamar”, hal-hal yang sangat tabu untuk diungkapkan di depan publik, ini malah ditulis di status Facebook.

Salah satu manusia yang terlaknat adalah suami atau istri yang menceritakan kejadian “dalam kamarnya” kepada orang lain. Berapa laknat yang dituai bila di-share hal-hal itu di facebook, ratusan atau bahkan ribuan orang yang membacanya. Isinya nggak terlalu vulgar-vulgar bangat, tetapi menjurus ke sana. Jangan katakan, “Salah yang baca, ngapain fiktor!”, tapi tulisan Anda yang sebodoh apapun orang bisa memahami kemana tujuan yang tersirat itu yang salah.

Sebenarnya, yang ditulis biasa saja, just for fun, nggak serius-serius banget, tetapi apakah ribuan orang yang baca di dunia maya itu memiliki pikiran yang positif semua? Foto-foto yang di-upload yang menurut pelakunya adalah biasa, tetapi bagi orang lain ada “ekornya” yang terus berlanjut tidak hanya sampai disitu saja.

Contoh kecil, waktu jalan-jalan di mall, ada perempuan cantik seksi lewat, Anda lihat, tapi kawanmu tidak melihat. Anda tepuk bahunya, Anda bilang, “Eh, ada perempuan cakep, Coy… Itu lewat!”

Bagi Anda cuma hal biasa, hanya sekedar bercanda melihat perempuan lewat, tapi apa Anda yakin kalau kawan Anda itu hanya sampai di situ? Anda tahu apa yang dibisikkan setan saat kawan Anda berpaling melihat perempuan tadi? Bagi Anda, setelah melihat semua sudah berakhir, Cuma sampai disitu saja, tetapi bagi kawanmu, belum tentu sampai disitu saja, mungkin ada kelanjutannya bersama setan yang menemaninya, entah apa yang terjadi. Itu hal kecil yang Anda lakukan, tetapi setiap dosa yang dihasilkan kawanmu setelah Anda menepuk pundaknya untuk melihat perempuan tadi, bisa dipastikan masuk dalam deposito dosa Anda.

Aurat wanita dalam Islam di depan laki-laki adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, tetapi sesama wanita muslimat lebih longgar, bisa dilegalkan bagian-bagian lain terlihat. Tetapi aurat wanita Muslimat di depan wanita non-Mmuslimat sama seperti auratnya di depan laki-laki.  Itu adalah tindakan preventif agar si wanita non Muslimah tidak bisa menggambarkan keadaan wanita Muslimah pada laki-laki non-Muslim. Bahkan, diharamkan seorang wanita menggambarkan tentang kecantikan wanita lain secara mendetail kepada suaminya. Mungkin bagi wanita itu, yang dilakukannya hal biasa, tapi apa dia bisa menjamin setan tidak membisiki apa-apa kepada suaminya?

Kata-kata, perbuatan, ataupun ide-ide kecil yang Anda kira sepele dalam pergaulan, bisa jadi berefek fatal bagi orang lain. Makanya Islam sangat menganjurkan bagi semua umat Islam agar menjaga hal-hal negatif sekecil apapun itu agar tidak tersebar dalam masyarakat, karena hal-hal kecil itu bisa saja merusak opini umum yang menyebabkan tersebarnya hal-hal negatif yang seharusnya tabu sebagai sebuah fenomena biasa. Aib, dan hal-hal negatifsilahkan ditutup selama masih bisa ditutup, dan aku kira selamanya bisa ditutup kalau mau. Inilah yang disebut dengan “The Butterfly Effect: flap of a butterfly’s wing in Brazilia set off Tornado in Texas”, Kepakan sayap kupu-kupu di hutan Brazil bisa membuat Tornado di Texas.

Wallahu A’lam

Saief Alemdar, Lc