Ketika Merokok (Terus) Menggerogoti Keluarga Indonesia

Sumarno, 45 tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya suatu saat akan berakhir dengan salah satu kanker paling mematikan: kanker paru. Dirinya memang pernah merokok sewaktu remaja, mungkin dimulai umur 15 tahun, namun berhenti merokok umur 35 tahun. Dan hanya enam batang perhari, pikirnya. Enam batang yang kemudian merubah perjalanan hidupnya. Selamanya.

Pak Sumarno hanya sebuah kasus dari jutaan kasus penderita kanker paru seluruh dunia. Indonesia mungkin masih dibebani dengan kematian akibat serangan jantung dan stroke sebagai peringkat pertama dan kedua. Namun Jepang sebagai negara maju yang berhasil mengontrol faktor risiko penyakit jantung dan stroke kini dihadapkan dengan kanker sebagai penyebab kematian nomor satu.

Dari semua jenis kanker, kanker paru-lah yang paling banyak membunuh warga negara yang terkenal kedisiplinannya itu. Profil angka kematian inilah yang mulai menghantui Indonesia. Bahwa sebetulnya kita sedang bergerak menuju arah yang sama dengan Jepang: ketika sudah berhasil mengendalikan penyakit jantung dan stroke, malah kanker paru muncul berikutnya. Apa sebenarnya yang terjadi?

Mari kita kupas faktor risiko yang paling nyata ada di lingkungan kita: rokok.
Kita sama-sama mengetahui bahwa merokok itu adalah salah satu faktor yang paling jelas buktinya sebagai penyebab kanker rokok. Didapati bahwa status merokok itu belum cukup detail untuk menggolongkan dia berisiko atau tidak, karena ada yang namanya Indeks Brinkmann (IB).

Indeks Brinkman itu adalah hasil perkalian antara durasi merokok dalam tahun dikalikan dengan jumlah batang per hari. Jadi kalau misalnya Pak Sumarno merokok selama sepuluh tahun dan jumlah batang rokok perhari rata-rata 12 batang, maka Indeks Brinkman Pak Sumarno adalah 6 x 20 = 120. Setelah kita dapatkan Indeks Brigman ini berikutnya kita klasifikasikan apakah Pak Sumarno risiko ringan, sedang atau berat. Dikatakan IB ringan kalau dibawah 200, IB sedang jika diantara 200 sampai 600 dan IB berat jika diatas 600. Maka kini kita ketahui bahwa sebetulnya Pak Sumarno ini risiko ringan karena dibawah 200 (yaitu 120). Lalu mengapa kemudian dia terkena kanker paru? Ada beberapa penjelasan.

Pertama. Ternyata durasi merokok (dalam tahun) tidak sama kontribusinya dengan jumlah batang perhari. Sekiranya Pak Sumarno merokok 12 batang perhari selama 10 tahun dibandingkan 6 batang perhari selama 20 tahun, maka IB-nya sama-sama 120. Namun ternyata tidak sama. Lebih berat risikonya kalau merokok lebih lama. Artinya adalah, merokok lebih lama itu lebih berbahaya dibanding merokok lebih banyak. Dan tentu saja tidak merokok sama sekali, lebih aman. Pak Sumarno mungkin berpikir bahwa dia hanya merokok enam batang. Namun dia luput dua hal: dia merokok selama 20 tahun dan memulainya umur remaja.

Kedua. Jika seorang memulai merokok umur 40 tahun dan yang lainnya mulai merokok umur 15 tahun, mana yang lebih berisiko? Jelas lebih berisiko memulai merokok umur remaja. Demikian beratnya risiko terpajan asap rokok pada umur muda, kita mulai banyak mendapatkan kasus kanker rokok yang pasiennya menyangkal merokok namun ternyata ketika kecil dulu sering satu ruangan dengan ayahnya yang merokok. Atau bahkan sering ketika masih bayi, digendong ayah dengan baju penuh bekas bau rokok. Semakin muda memulai merokok atau terpajan asap rokok, semakin tinggi risiko kanker paru.

Berbagai literatur kedokteran paru telah menyebutkan dengan jelas bahwa inilah salah kejahatan kemanusiaan paling terselubung saat ini: mengajak generasi muda untuk merokok. Celakanya, kita saksikan bersama betapa gencarnya industri rokok membidik generasi muda sebagai pasar utama melalui iklan dan sponsor yang masif karena pelanggan-pelanggan dewasa yang berumur sudah mulai banyak yang ‘insyaf’ dan meninggalkan merokok.

Kemudian ada beberapa subfaktor lain terkait rokok sebagai faktor risiko kanker paru, antara lain seberapa dalam menghisap rokoknya dan apakah rokoknya dengan rokok kretek atau rokok filter. Kita menghisap rokok dalam-dalam atau menghisap biasa saja sebetulnya tidak jauh beda dalam menyumbang risiko kanker paru.

Kedalaman menghisap ini hubungannya dengan jenis kanker paru yang diderita. Menghisap ‘dalam’ berhubungan dengan kanker paru jenis adenokarsinoma, sedangkan menghisap ‘tidak dalam’ berhubungan dengan kanker paru jenis karsinoma sel skuamosa. Bagi penderita keluhannya tidak jauh berbeda, sama-sama bisa menyebabkan batuk, sesak, dengan usia harapan hidup lima tahun yang rendah. Adapun peran filter kini mulai banyak diperdebatkan para ahli apakah mampu atau tidak mengurangi risiko konsentrasi tar dalam saluran napas.

Fenomena yang saat ini mengusik hati nurani praktisi kesehatan adalah meningkatnya insiden kanker paru pada bukan merokok. Kanker paru pada bukan perokok, bagaimana bisa? Sebetulnya terdengarnya ‘bukan perokok’ tapi bisa ditafsirkan sebagai terpajan rokok tanpa sadar.

Atas nama profesionalitas dan kemanusiaan, ketika praktisi kesehatan berhadapan dengan kasus kanker paru pada pasien perokok, maka pelayanan terbaik akan tetap diberikan secara professional. Pasien seperti ini memiliki kanker paru karena dalam tanda kutip, dia sudah memilih risikonya secara sadar. Dalam hidupnya pastilah pernah bertemu dengan peringatan ‘ancaman kanker paru, penyakit jantung, kelainan kongenital janin’ dan sebagainya. Dan tetap merokok. Tetap memilih risiko kanker paru.

Namun perasaan simpati (bukan hanya empati) akan ikut terlibat ketika melayani pasien kanker paru pada bukan perokok. Bahwa sebetulnya dia sudah paham risiko dan memilih untuk menghindari risiko. Namun biasanya ada cerita lain dibalik status ‘bukan perokok.’ Apa itu? Ternyata pasien tersebut istrinya atau anaknya seorang perokok berat. Ini yang menimbulkan kekhawatiran kita semua. Bahwa golongan pasien seperti ini sudah memperingatkan suaminya untuk tidak merokok, apalagi jika mengancam kesehatan anak-anaknya. Jadi sudah ada effort aktif untuk mengeliminasi rokok dari rumahnya. Untuk golongan seperti ini masih ada keadilan dari Allah.

Bahwa ternyata kanker paru pada bukan perokok, memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan kanker parunya tidak membunuh pasiennya lebih cepat. Antara lain terdapat mutasi somatic pada Epidermal Growth Factor Receptor yang membuatnya berespon baik dengan pemberian obat Receptor Kinase Inhibitor seperti Gefitinib atau Erlotinib. Adapun golongan kanker paru pada perokok, tidak berespon dengan obat ini dan kanker parunya lebih mematikan. Dokter anda mungkin menyebutnya prognosis buruk.

Keseluruhan narasi inilah yang kemudian menjelaskan mengapa walau kita turut berduka atas vonis kanker paru Pak Sumarno, namun alarm kewaspadaan tetap harus berbunyi memperingatkan kita: Selamatkan Istri dan Anak-anak Perokok.

Oleh: Dr Fariz Nurwidya, Tokyo
Peneliti kesehatan respirasi di Juntendo University

NB: Artikel ini telah dimuat dalam Majalah Dokter Kita edisi Januari 2011