Fiqh Muamalat, Paradigma Ekonomi Orang Berharta

Salah satu hal yang membuat saya tertarik dengan Ekonomi Islam, adalah karena sistemnya yang telah terkonsep dengan menjamin kecukupan. Dalam sebuah ensiklopedi paling lengkap sejagat raya, Al Qur’anul Karim, ayat 43 hingga 48 Surat An Najm, baru saja saya menyadari keistimewaan ayat ini, ketika diingatkan Bang Ippho dalam buku mega best sellernya Percepatan Rezeki,  bahwasanya;

Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,

Dialah yang mematikan dan menghidupkan,

Dialah yang menciptakan pria dan wanita,

Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan.

Jika logika saya yang menyusun ayat-ayat itu, melengkapi ritme kalimat sebelumnya yang berlawanan antara keduanya. Tawa dan tangis. Mati dan hidup. Pria dan wanita. Maka kaya, pastilah miskin. Tapi disinilah janji dari ‘Penulis’-nya, Dia akan memberikan kecukupan. Bukan kemiskinan. Jenius bukan? Allahu akbar… Karena pada dasarnya, Allah tidak pernah memberikan kemiskinan. Mengutip perkataan seorang Dhonald Trumph, bila kau terlahir miskin, itu bukan salahmu. Tetapi apabila kamu mati miskin, ITU SALAHMU.”

Lalu, kenapa banyak umat Islam yang miskin? Realita dan fakta di negeri kita saja. Bahkan, yang kita sebut ustadz pun banyak yang miskin dengan berdalih mencari harta itu menjerumuskan kita untuk cinta dunia dan takut mati. Wallahu’alam, jika itu bukan sebuah alasan, saya yakin sepenuhnya bahwa itu hanya tentang perbedaan pendapat kita dalam memahami makna miskin. Tapi yang jelas, dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga hanya Ali bin Abi Thalib saja yang tidak kaya. Namun, kali ini saya tidak akan membahas banyak tentang kekayaan para sahabat terdahulu ataupun keharusan menjadi muslim yang berharta di zaman ini.

Saudaraku, satu hal yang membuat saya benar-benar semakin tertarik jika bicara tentang Ekonomi Islam adalah Islam itu sendiri. Betapa Islam telah mewarnai peradaban terdahulu. Ketika Islam saat ini semakin meluntur, peradaban dunia -bukan hanya dunia Islam yang saya maksud tapi sungguh universal- seluruhnya menjadi semakin bobrok. Jauh dari nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Konspirasi yang sedang menggurita saat ini pun, tujuannya adalah menyejahterakan satu pihak. Sedangkan cita-cita Islam adalah menyejahterakan alam raya. Jika kita anggap ini sebuah perang, tentang kalah dan menang, maka ketika Islam yang menjadi pemenang, yang kalah pun akan diperlakukan sebaik-baiknya. Bukan malah diberlakukan semena-mena seperti yang tiap hari terjadi di belahan bumi Islam yang masih terjajah. Percayalah.

Begitu pula dengan sistem ekonomi. Sistem ekonomi yang ada saat ini telah terbukti hanya menguntungkan satu pihak. Lihatlah, dengan bangganya pemerintah mengumumkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat. Namun sayangnya, kabar gembira ini tidak mencerminkan kegembiraan yang sebenarnya bagi umat di negeri ini. Berjuta orang masih tetap miskin, masih tetap menganggur, masih tetap bodoh. Kenapa? Karena sesungguhnya, perhitungan itu diukur dari faktor konsumsi agregat penduduk. Maka, wajarlah ketika semakin banyak mobil mewah yang berseliweran di jalan ibu kota, makin banyak barang mewah yang diimpor masuk ke negeri ini, makin meningkat pula pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dibalik itu pula saya masih percaya satu hal. Tentang harapan. Harapan itu pasti selalu ada. Negeri yang tidak punya harapan pastilah negeri yang telah mati. Sayangnya, Indonesia ternyata tidak separah itu untuk disebut negeri yang mati. Masih banyak orang yang mengurai harapan di negeri ini, bahkan orang pemerintah sekalipun, malah semakin banyak tiap harinya. Walaupun harapan mereka masih jauh untuk jadi nyata, tapi perlahan dan pasti, kekuatan untuk bersabar membawa mereka mewujudkan harapan itu, bahkan memberi harapan kepada yang lain.

Tentang sebuah harapan…

Tahun 1991, bank pertama murni syariah lahir. Meruntuhkan semua anggapan miring ketika itu, dimana merek Islam menjadi label yang dianggap dapat mengganggu stabilitas pemerintahan, muslimah berjilbab pun didiskriminasi, Bank Muamalat Indonesia berdiri. Bahkan ketika saat itu, Menteri Perekonomian bukan dari umat Islam. Tapi, dengan konsep yang memang bagus, proposal ini didukung oleh beliau dan banyak pihak lainnya. Sehingga secara kelembagaan, ekonomi Islam telah resmi lahir melalui Bank Muamalat Indonesia di negeri ini. Ini adalah salah satu harapan yang saya maksud. Sebuah sistem solutif.

Langkah, berikutnya adalah bagaimana Bank Syariah dapat eksis dan diterima oleh masyarakat. Ditandaskan oleh A. Riawan Amin, Dirut BMI saat ini dan penulis buku Satanic Finance, masih banyak kekurangan yang ada dalam perbankan syariah saat ini. Namun, itu jauh lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Perbankan syariah ibarat tanaman, masih kecil, tapi jika banyak pihak yang tidak mendukung atau malah memvonis melabelkan haram pada bagian-bagian yang ada dalam sistem bank syariah, sama saja dengan membonsaikan ekonomi Islam sendiri*. Saya setuju dengan beliau, karena sesungguhnya tujuan ekonomi Islam bukan hanya sekedar membangun sebuah bank syariah dengan market share yang mendominasi. Bukan itu sepenuhnya. Tapi, bank syariahlah yang akan menjadi lokomotif penggerak sistem ekonomi Islam dan sembari itu pastinya akan lebih mudah bagi bank syariah untuk menjadi Islami seutuhnya. It’s all about process… Hingga kapan? Hingga umat ini siap mendukung sepenuhnya pertumbuhan bank syariah. Jadi, sekecil apapun kontribusi Anda dalam menjauhi ekonomi ribawi, semakin optimis negeri ini tanpa riba.

Sistem ekonomi seperti apakah sebenarnya ekonomi Islam itu? Pertanyaan bagus yang jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya. Sedikit menarik sejarah, sistem ekonomi Islam adalah sistem yang menjadi batu bata pertama dari dakwah kenabian. Rasulullah sebelum dikenal sebagai Rasul, telah mendapat gelar shadiq (jujur) dan amin (terpercaya) dari sosok beliau sebagai seorang pedagang. Strategi penguasaan medan dakwahpun tidak terlepas dari pengalaman beliau selama menjadi pedagang. Namun pada umumnya, sejarawan kurang memperhatikan aktifitas ekonomi di pasar sebagai sentra awal perubahan besar dalam suatu masyarakat.[1] Cara beliau berdagang menjadi sumber rujukan para sahabat dalam menjalankan strategi perdagangannya. Begitu pula ketika Al Qur’an telah diwahyukan kepada Rasulullah, semua aturan terkait cara berinteraksi dalam aktivitas ekonomi disampaikan secara lengkap. Sehingga Al Qur’an dan Sunnah menjadi rujukan utama dalam sistem ekonomi Islam. Hasilnya? Perekonomian menjadi baik, selama tidak ada oknum yang menyimpang dari sistem ini. Bahkan di zaman Dinasti Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada satupun rakyat yang layak dizakati karena tidak ada lagi orang miskin. Subhanallah…

Sistem Ekonomi Islam adalah sistem yang pelaksanaannya disandarkan pada petunjuk AlQur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

“Kemudian kami menjadikan bagi kamu suatu syari’ah, maka ikutilah syari’ah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang  yang tidak mengetahui.” (Al Jatsiyah: 18).

Dalam sistem Ekonomi Islam saat ini, hukum-hukum itu bisa kita kenal sebagai Fiqh Muamalat. Pada dasarnya, Fiqh Muamalat telah merangkum secara umum apa yang dipelajari dalam ekonomi mikro dan ekonomi makro. Menurut Dr. Mustafa Ahmad  Zarqa, pengertian Fiqh Muamalat adalah hukum-hukum tentang perbuatan manusia yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak-hak dan penyelesaian sengketa. Jadi, itu semua meliputi jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, pinjam-meminjam, dan lain-lain.

Saya sama sekali tidak memaksa pembaca untuk memahami apa yang saya sampaikan seutuhnya, tapi saya lebih berharap semuanya mau memahami bahwa sistem ini telah Allah sediakan untuk kita. Ketika semua sistem buatan manusia tak lagi ada yang ampuh.

Kunci sistem ekonomi Islam ini sebenarnya sangatlah sederhana dan benar-benar relevan dan dapat diterima logika bahkan bagi manusia yang mengaku tidak punya Tuhan sekalipun, jika mereka mau berpikir. Menurut kaidah ushul fiqh, hukum-hukum yang berlaku dalam muamalat adalah mubah jika tidak ada dalil yang melarangnya. Maka, Fiqh Muamalat mengatur prinsip-prinsip yang menjadi dasar untuk berinteraksi. Prinsip-prinsip inilah yang terbukti memberikan kecukupan bahkan kekayaan bagi tiap eksekutonya. Prinsip-prinsip itu adalah :

  • Melarang memakan makanan secara bathil (QS An Nisa’:29)
  • Melaksanakan transaksi bisnis atas dasar ridha (QS An Nisa’:29)
  • Pencatatan transaksi hutang-piutang (QS Al Baraqah:282)
  • Akad tansaksi bisnis disaksikan oleh saksi (QS Al Baqarah:282)
  • Larangan riba (QS Al Baqarah:275-279)
  • Keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil (QS Al Baqarah:275)
  • Investasi dengan sistem mudharabah, musyarakah, ijarah
  • Sasaran kebijakan fiskal Islam melalui zakat (QS Al Maidah:60), (QS Al Anfal:41).
  • Larangan menyuap/sogok (QS Al Baqarah:188)
  • Memberikan keringanan bagi “debitur” yang tak mampu

Maka, bisa kita simpulkan bahwa pola pelaku ekonomi yang seharusnya adalah berprinsip pada keadilan, kepercayaan, tidak ada kedzhaliman, serta kejelasan dalam tiap transaksi atau yang biasa disingkat MAGHRIB: MAisir, GHarar, RIba, Bathil. Ditambah lagi instrumen zakat yang membedakan sistem ini dengan sistem lainnya. Inilah hakikat kaya yang sebenarnya. Ketika harta yang ada dipegang oleh orang yang shalih, maka itu adalah sebaik-baiknya harta.[2]

Permasalah ekonomi yang banyak dipahami sekarang dan hingga sekarang masih disampaikan di sekolah-sekolah adalah adanya keterbatasan sumber daya untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. Padahal, salah besar. Menurut pemikir ekonomi Islam dari mazhab mainstream, masalahnya ada pada distribusi yang tidak merata. Inilah teori yang begitu relevan dalam memahami kondisi perekonomian dunia saat ini. Ketika capital, modal, sumber daya dikuasai oleh satu pihak dan tidak terdistribusi secara merata maka akan mengganggu kestabilan ekonomi. Dimana penguasa tidak memperhatikan kepentingan sosial.

Mengenai sumber daya yang terbatas, apakah benar? Allah telah memberi kecukupan pada semua makhluknya, dengan perhitungan sempurna. Tidak ada yang tak adil. Hanya saja tangan manusia telah merusak keseimbangan ini. Mengacau timbangan keadilan dalam distribusi. Maka dalam Fiqh Muamalat, keganjilan dan penyimpangan ini dipelajari juga secara utuh, dan bagaimana solusinya. Sekarang tinggal pada individu-individu muslim yang siap merubah perilaku ekonominya agar dapat mengembalikan kejayaan perekonomian layaknya kisah peradaban Islam terdahulu dengan semua kejayaannya. Tak ada kata yang tak mungkin jika itu adalah kebaikan. Hanya saja, benarlah jika kebaikan yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan dengan kejahatan yang terorganisasi (Ali bin Abi Thalib). Umat Islam belum sepenuhnya bersatu untuk mengatur sistem kehidupannya. Menjadikan Islam sebagai prinsip hidup, paradigma keoptimisan pada sistem ekonomi berlandaskan Islam, dengan Fiqh Muamalat yang mengatur pengelolaan harta bagi mereka yang berharta agar ‘tak ada lagi kemiskinan’.

____________________


[1] Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 1.Cet. III; Bandung : Salamadani Pustaka Semesta, 2010 M/1431 H), h. 34.

[2]http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/3113-sebaik-baik-harta-di-tangan-orang-yang-sholih.html

* : Apa yang haram seharusnya tetap dikatakan haram, dan apa yang halal haruslah dikatakan halal – redaksi.