Cintaku Bukan untuk Kubunuh

Apabila ada satu tema yang tidak pernah habis diceritakan dari mulut ke mulut, dinyanyikan dalam lagu-lagu, dikisahkan dalam berbagai novel, diekspresikan dalam puisi dan tari, dilantunkan dalam doa-doa, dan menyala-nyala di setiap hati manusia, maka itu adalah cinta.

Apabila ada energi manusia yang lebih dahsyat dari tenaga nuklir, lebih riuh dari halilintar, lebih menyala dari api, lebih sejuk dari embun, lebih tenang dari danau, maka itu adalah cinta.

Apabila ada drama manusia yang melibatkan kerinduan yang mencekam, kebimbangan yang menggamangkan, kasih sayang yang terdalam, kecemburuan yang membakar, kesetiaan yang tak terusik, kebersamaan yang tak terpisahkan, kesendiriaan dalam kerinduan, maka itu adalah cinta.

Iya, itulah cinta.

Cinta, kiranya Allah senantiasa memuliakannya, mula-mula permainan, lama-lama sungguh-sungguh. Cinta memiliki makna yang dalam, indah, dan agung. Tidak ada kata yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tak dapat ditemukan selain dengan segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan. Cinta tak dimusuhi agama dan tak dilarang syariat-Nya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi.

Sejatinya cinta merupakan sesuatu yang bersemayam dalam jiwa yang terdalam. Bisa jadi seseorang jatuh cinta karena suatu “sebab”. Segala ragam cinta yang tumbuh karena suatu “sebab” akan sirna bersamaan dengan sirnanya sang “sebab”, akan mekar bersamaan dengan mekarnya sang “sebab”, akan berkurang bersamaan dengan berkurangnya sang “sebab”. Cinta ragam ini akan menguat manakala “sebab cinta” mendekat dan akan mengendur manakala “sebab cinta” menjauh. Tidak ada cinta yang abadi, selain cinta suci yang keluar dari relung hati. Cinta ragam ini tak akan sirna, kecuali ajal datang menjelang.

* * *

Di antara sebagian sifat orang yang diterpa cinta adalah suka menyembunyikan perasaannya. Ia enggan mengaku kala ditanya. Ia bertabiat seolah tidak sedang memendam cinta. Ia tampil sesantai-santainya, agar orang mengira bahwa ia tidak sedang dimabuk cinta. Ia enggan bila diajak berbincang perihal cinta. Padahal, api cinta sedang membakar jiwanya.

Boleh jadi mulutnya diam seribu bahasa. Akan tetapi, lihatlah langkah dan tatapan matanya menyiratkan apa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia serupa api dalam sekam. Atau serupa aliran air di perut bumi yang dalam. Mula-mula, boleh saja ia kuat menyembunyikan gelagak cintanya. Namun, karena gelombang cinta selalu mendera dalam jiwa, akhirnya ia pun tak kuasa menyembunyikan cintanya.

Orang yang menyembunyikan cintanya mungkin karena khawatir atau malu, kalau-kalau orang lain tahu bahwa ia sedang diterpa cinta. Ia mengira, jatuh cinta adalah kelemahan yang tak pernah mendera orang beriman. Ia mengira jatuh cinta adalah aib bagi orang yang paham agama. Oleh karena itulah, ia khawatir, kalau orang tahu bahwa ia sedang jatuh cinta, mereka akan menilainya sebagai orang yang tidak saleh dan tak taat beragama. Pendapat demikian jelas keliru. Sebab, sejatinya sebagai muslim beriman, ia hanya dititahkan untuk memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan Allah, kala godaan datang menghampirinya.

Mencintai keindahan dan membiarkan cinta bersemi bukanlah hal yang hina, apalagi dosa. Jiwa dan hati kita senantiasa berada dalam genggaman Allah Yang Maha Menggenggam. Dia tak pernah memerintahkan hati kita, kecuali untuk menimbang mana yang benar, dan mana yang salah, kemudian meyakini dan meniti jalan yang benar sepenuh hati kita. Sementara itu, cinta bukanlah dosa. Ia adalah tabiat alami manusia. Yang seharusnya kita lakukan adalah mengendalikan segala anggota tubuh kita, agar tak terperosok dalam hal-hal yang diharamkan oleh Dia.

Akan menghinakah mereka yang tak kenal cinta
Sungguh, cintamu padanya wajar adanya
Mereka bilang, cinta bikin kau hina
Padahal, kau orang paling paham agama

Aku katakan kepada mereka
Iri kepadanya kalian tunjukkan selamanya
Jawabnya, karena ia mencinta
Pujaan jiwa pun mencintainya sepenuh hatinya

Kapan Muhammad pernah mengaharamkan cinta
Juga, apakah ia menghina umatnya yang jatuh cinta
Janganlah kau berlagak mulia
Dengan menyebut cinta sebagai dosa

Jangan kaupedulikan apa kata orang tentang cinta
Entah yang menyapa keras atau halus biasa
Bukankah manusia harus menetapi pilihannya
Bukankah kata tersembunyi tak berarti diam seribu basa

* * *

Mata mengawasi, hati mencari-cari, dan telinga pun merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayam di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”

Terkadang perasaan itu mengganggu, hingga tuk berpikir jernih pun kita tak sanggup. Membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau serius. Kita sibuk menanti sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.

Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa cinta itu ada? Kita bisa menengok sejarah betapa para salafus saleh terdahulu mengambil sikap yang sangat indah tentang dua orang yang saling mencintai. Mereka tidak memisahkan begitu saja, sebab tak ada yang tampak lebih indah bagi dua orang yang saling mencintai kecuali menikah. Bukankah ini berarti masih ada ruang untuk menjadikan rasa cinta yang datang tanpa diundang itu sebagai penguat tekad menuju jenjang pernikahan? Bukan meninggalkannya serta merta.

Tidakkah kita ingat kisah klasik tentang cinta yang tertuliskan dalam sejarah, betapa terkejut dan berdegup kencangnya dada Ali ketika Fathimah berkata sesungguhnya ia mencintai seorang laki-laki sebelum menikah dengan Ali?

Terkadang diri kitalah yang tidak bisa membedakan antara menjaga pandangan, mengendalikan perasaan, dan mengingkari perasaaan. Kita menganggap perasaan suci itu sebagai sesuatu yang kotor. Kita membunuh, atau bahkan menghancurkannya. Namun sejatinya, perasaan itu, hanya butuh kita kendalikan, hanya cukup kita arahkan.

Oleh: David Hadi, Bandung
FacebookTwitter Blog

Referensi:
Ibn Hazm Al Andalusi – Risalah Cinta
M Fauzil Adhim – Saatnya untuk Menikah