Pengertian Hadits Munkar

Definisi

هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ

Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if, atau hadits itu bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat.

Penjelasan Definisi

Diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if; Maksudnya, adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat, atau yang setingkat apabila kedha’ifannya ringan.

Bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat; dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadits dalam bentuk yang berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan

Contoh; hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh Al Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) Al Bazzar di dalam Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadha-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari an-Nadhr bin Syaiban

حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شَيْبَانَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدِّثْنِي بِشَيْءٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ سَمِعَهُ أَبُوكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَيْسَ بَيْنَ أَبِيكَ وَبَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: نَعَمْ، حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ، وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ، فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Telah menceritakan kepada kami an-Nadhr bin Syaiban, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku hadits yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya. Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya

Pada sanad ini ada rawi yang bernama Nadhr bin Syaiban. Dia adalah rawi yang dha’if. Dalam periwayatan hadits ini pun terjadi kesalahan, yaitu ketika ia meriwayatkan hadits dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”

Para ahli hadits menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadits dari ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.

Yang kedua, hadits seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang siqah (terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh), seperti Yahya bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan teks;

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul qadr dengan keimanan dan perhitungan maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu

Dengan demikian An-Nadhr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih terpercaya dan lebih banyak sanad hadits dan matannya. Dan hadits dari jalannya adalah munkar.

Contoh lain; Hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’ (3386) dengan jalan dari Hammad;

حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ عِيسَى الْجُهَنِيُّ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْجُمَحِيِّ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

 Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa Al Juhani, dari Handhalah bin Abu Sufyan Al Juhami, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap wajah beliau dengan kedua tangannya.

Setelah mengeluarkan hadits ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadits gharib, aku tidak menjumpainya kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya seorang diri”

Hammad bin Isa adalah dha’if haditsnya, Abu Hatim berkata, “Dia dha’if”. Abu Dawud berkata, “Dia dha’if, dan ia meriwayatkan hadits-hadits munkar”. Al Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash Shadiq”

Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang diri termasuk hadits munkar.

Catatan

Dalam bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…

Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita sebutkan bahwa ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak para imam terdahulu menyebut hadits maudhu’ dengan nama munkar, karena pembedaan antara munkar dan maudhu’ ini terjadi pada ulama’ mutaakhkhirin.

Kedua; Sebagian ahli hadits menyatakan tentang munkarnya hadits gharib, lalu mengatakan “Ini adalah hadits gharib, maksudnya adalah hadits munkar, sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadits maudhu’.

Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja, tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan suatu hadits dengan teks tertentu, dan ada rijal dha’if yang meriwayatkan hadits dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadits dari an-Nadhr bin Syaiban (contoh 1)

Atau sejumlah rijal yang siqah meriwayatkan hadits, dan rijal yang dha’if meriwayatkan hadits dengan  teks yang sama, hanya saja ia memberikan ziyadah (tambahan) pada  matan hadits, dengan suatu tambahan yang tidak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh rijal yang siqah.

Contoh. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/101,282), Bukhari (1/40), Muslim (1/283), Abu Dawud (4-5) Tirmidzi (5-6) an-Nasa’I dalam Al Yaum wa Al Lailah (74) dan lain-lainnya dengan  jalan dari Abdul Aziz bin Shuhaib

عَنْ عَبْدِالْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik ra, ia berkata; Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila memasuki wc berkata, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina

Tetapi di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/11) dengan jalan dari Abu Ma’syar –najih bin Abdurrahman- an-Sindi, ia dha’if haditsnya, dari Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas ra, ia berkata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila memasuki wc membaca do’a,

بِسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Dengan nama Allah, Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan betina

Hadits ini teksnya sama dengan yang diriwayatkan dari rijal yang siqah, hanya saja terdapat perbedaan pada basmalah ketika akan masuk wc, maka tambahan ini munkar.

Keempat, Bahwa rawi yang siqah kadang-kadang haditsnya dinilai munkar apabila ia meriwayatkan seorang diri dari rawi yang dha’if, seperti hadits Ma’mar dari Qatadah. Ma’mar bin Rasyid siqah hafidh hanya saja riwayat dari Qatadah lemah karena ia mendengar darinya ketika masih sangat kecil sehingga sanadnya tidak terjaga, maka apabila ia meriwayatkan hadits seorang diri dari Qatadah, tidak ada tabi’ (hadits yang menguatkan) dari rijal yang siqah, maka periwayatannya seorang diri itu dinilai munkar.

Kelima, Bahwa rawi yang shaduq, dia di bawah derajat siqah dalam hal dhabth sehingga haditsnya dinilai hasan, kadang-kadang haditsnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya, hadits yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350) dengan jalan dari Hammad bin Salamah

 حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda; Apaila salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.

Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, haditsnya hasan dalam riwayat yang tidak diriwayatkan seorang diri dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Dia telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits Abu Salamah. Ibnu Ma’in berkata, “Ia meriwayatkan hadits dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya, kemudian meriwayatkan hadits itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”

Ia meriwayatkan hadits ini seorang diri dari Abu Salamah, dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadits ini munkar, jika dibandingkan dengan matan hadits dari Aisyah ra, yang tersebut di dalam shahihain secara marfu’;

كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar.

Kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan” berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadits Abu Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.

Dengan demikian hadits ini munkar, padahal hadits datang dari rawi yang shaduq, yang secara umum haditsnya hasan.

Kedua; bahwa rawi yang shaduq, atau siqah yang tersalah pada beberapa riwayatnya apabila meriwayatkan hadits dari seorang hafidh yang masyhur memiliki murid cukup banyak, tetapi ia meriwayatkannya seorang diri, tidak ada murid lain yang membawakan riwayat yang sama dari seorang hafidh tersebut, maka riwayatnya sendiri itu munkar. Seperti yang diisyaratkan oleh Imam Muslim ra di dalam muqaddimah kitab Shahihnya,

“Keputusan ahli Ilmu (hadits), dan orang yang kami ketahui madzhabnya tentang diterima periwayatan hadits yang diriwayatkan secara munfarid, adalah bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan pula oleh ahli-ahli ilmu dan hafidz yang siqah di antara periwayatan mereka. Dan terlebih lagi pada periwayatan itu terdapat kesesuaian. Apabila ditemukan keadaan demikian, kemudian ia menambahkan suatu teks yang tidak ada pada rijal lainnya, maka tambahan itu dapat diterima”.

Adapun orang yang setingkat dengan az-Zuhri karena kebesarannya dan banyaknya murid yang hafidz (banyak menghafa hadits)  mutqin (terpercaya) baik pada hadits dari az-Zuhri ataupun hadits lainnya, atau yang sekelas Hisyam bin Urwah. Hadits dari kedua tokoh tersebut menurut para ulama’ telah tersebar luas di negeri Islam. Murid-murid keduanya telah menukil hadits dari mereka, bahkan hadits-hadits yang disepakati di antara mereka jumlahnya cukup banyak. Lalu ada salah seorang diantara murid dari keduanya, atau murid salah satu di antara keduanya meriwayatkan hadits yang tidak dikenal oleh seorang pun di antara murid mereka. Dan rawi yang meriwayatkan itu pun juga tidak pernah meriwayatkan hadits dari guru mereka yang sama dengan hadits sahih yang diriwayatkan oleh para murid yang lain. Maka hadits seperti ini tidak boleh diterima.

Contohnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi di dalam Sunan Al Kubra (4/316) dan adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/18) dengan jalan;

مَحْمُوْدُ بْنِ آدَمَ الْمَرْوَزِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَامِعٍ بْنِ أَبِي رَاشِدْ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ –يَعْنِي ابْنِ مَسْعُوْدٍ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عُكُوْفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِي مُوْسَى، وَقَدْ عَلِمْتُ  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، أَوْ قَالَ عَبْدُ اللهِ : إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ الثَّلاَثَةِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ : لَعَلَّكَ نَسِيْتَ وَحَفِظُوْا

 dari Mahmud bin Adam Al Marwazi, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Jami’ bin Abi Rasyid, dari Abu Wa’il, ia berkata; Hudzaifah berkata kepada abdullah bin Mas’ud ra, … antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda. Tidak ada I’tikaf kecuali di masjidil Haram, atau beliau bersabda, kecuali di tiga masjid. Kemudian Abdullah berkata; barangkali kamu lupa sedangkan mereka ingat.

Mahmud bin Adam adalah shaduq, hanya saja ia telah menyebutkan riwayat hadits[1] ini seorang sendiri dari Ibnu Uyainah, padahal beliau memiliki banyak murid, dan tidak ada murid-murid Ibnu Al Uyainah yang meriwayatkan hadits ini. Maka tak dapat diperkirakan bahwa Ibnu Uyainah telah menyembunyikan hadits ini terhadap murid-muridnya, atau ingatan mereka tentang hadits ini melemah sedangkan ingatan Mahmud bin Adam tetap kuat, sehingga ia mengemukakan hadits ini dan mereka tidak mengemukakannya. Bila dilihat dari segi matan,–bahkan juga di dalam sanadnya, dilihat dari segi rafa’ (kebersambungan sampai kepada Rasulullah saw)– tampak terdapat kemunkaran.



[1]  Kalau seandainya hadis itu ada penguatnya tetapi dha’if. Lihatlah penjelasan yang lebih terperinci dalam hady an-nabi fi Syahri Ramadhan, h. 51.

 

Amru Abdil Mun’im Salim