Imaamah (1)

Menyusul keributan di Sampang, banyak perhatian tertuju pada masalah kerukunan antara kaum Sunni dan Syi’ah. Meskipun sebagian pihak sudah menyatakan bahwa akar permasalahannya bukan antara kedua golongan itu, melainkan masalah yang bersifat pribadi, namun opini masyarakat telah digiring ke arah teori ‘Sunni vs. Syi’ah’. Keadaan juga diperpanas dengan situasi di Yaman yang tidak menentu, di mana kelompok radikal Syi’ah menggempur kaum Sunni, termasuk sebuah pesantren. Kegentingan itu telah menelan korban jiwa, termasuk beberapa santri asal Indonesia.

Jika di Indonesia – yang mayoritasnya Sunni – muncul isu intoleransi dari pihak Sunni terhadap kalangan Syi’ah, maka yang terjadi di Iran, Irak dan beberapa negara lain justru sebaliknya. Pemerintah Iran telah menetapkan Syi’ah sebagai agama resmi negaranya, sehingga ruang gerak Sunni memang sangat terbatas. Di Irak, berkat rekayasa yang dilakukan oleh pendudukan Amerika Serikat, banyak kekuatan Sunni yang dilucuti, dan di beberapa daerah kaum Syi’ah mendominasi. Banyak laporan tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga Syi’ah terhadap warga Sunni, meskipun masalahnya sangat sepele. Misalnya, ada yang melapor telah mendapat siksaan dari aparat Syi’ah hanya lantaran namanya adalah ‘Umar.

Di Indonesia, masih banyak yang belum paham akar konflik antara Syi’ah dan Sunni. Masyarakat awam masih banyak yang berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara keduanya masih dalam batas-batas ikhtilaf atau hanya perbedaan ijtihad belaka. Mereka yang menganggap Syi’ah hanyalah salah satu madzhab sebagaimana Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali dan seterusnya. Jika demikian, mengapa kekerasan terus terjadi dan seolah tak dapat didamaikan?

Contoh pengaduan warga Irak yang disiksa hanya karena bernama ‘Umar adalah kasus yang perlu kita telaah bersama. Masih ada yang berpendapat bahwa kaum Syi’ah adalah kaum yang sangat mencintai ‘Ali ibn Abu Thalib ra dan melebihkannya dari para sahabat lainnya. Akan tetapi, melebihkan seseorang dari yang lainnya berbeda dengan mencintai seorang dan membenci selebihnya. Kecintaan pada ‘Ali ra tidak mesti diwujudkan dengan kebencian pada Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan Utsman ra (ketiganya adalah Khulafaur Rasyidin sebelum ‘Ali ra). Faktanya, kaum Syi’ah sangat membenci ketiga tokoh ini, bahkan membenci namanya pula. Beberapa kitab induk yang menjadi rujukan Syi’ah bahkan mengajarkan sebuah doa yang cukup panjang yang diberinya nama Shanamai Quraisyin, yang secara harfiah berarti “dua berhalanya kaum Quraisy” (yang dimaksud adalah Abu Bakar ra dan ‘Umar ra). Doa tersebut antara lain tercantum dalam Kitab Al-Mishbah, Bihar al-Anwar karya al-Majlisi, dan Ihqaq al-Haq karya at-Tusturi.

Dalam Kitab Al-Kafi, ‘kitab hadits’ yang diakui otoritasnya oleh kaum Syi’ah, diriwayatkan sebuah hadits yang memuat kecaman, bahkan pengkafiran, terhadap hampir semua sahabat Rasulullah saw. Hadits yang cukup populer di kalangan Syi’ah tersebut bunyinya adalah sebagai berikut:

Dari Abi Ja’far, ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga.” Aku bertanya, “Siapa yang tiga itu?” Beliau menjawab, “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.”

Dalam kitab lain, yaitu Kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabrisi, kita juga dapat menemukan jejak kebencian kaum Syi’ah kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw, misalnya dalam hadits berikut:

Dari Sayyidin ‘Ali ra, bahwa sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga akan masuk neraka. Beliau juga berkata, “Demi Allah, sesungguhnya mereka (sembilan sahabat) berada di dalam peti pada lorong sempit di dalam jurang bagian bawah neraka Jahannam.” Aku mendengar hadits tersebut dari Rasulullah saw.

Pernyataan ini tentu bertentangan dengan sebuah hadits populer yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi yang menjelaskan tentang al-‘Asyrah al-Mubasysyaruun bi al-Jannah (sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan jaminan surga). Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sa’id ibn Zayd ra tersebut, Rasulullah saw menyebutkan sepuluh orang sahabatnya yang dijamin masuk surga, yaitu Abu Bakar ra, ‘Umar ra, ‘Utsman ra, ‘Ali ra, Zubair ra, Thalhah ra, ‘Abdurrahman ra, Abu ‘Ubaidah ra, Sa’ad ibn Abi Waqqash ra dan Abu al-A’war ra. Seperti yang dapat kita lihat bersama, ketiga Khulafaur Rasyidin yang senantiasa menjadi sasaran kebencian kaum Syi’ah juga termasuk di dalam daftar sahabat yang dijamin masuk surga.

Kita dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan antara Sunni dan Syi’ah sesungguhnya adalah pada konsep imaamah. Meskipun secara harfiah “imaamah” berarti “kepemimpinan”, namun menyatakan bahwa konflik antara kedua golongan ini bersumber dari perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan adalah penyederhanaan masalah yang terlalu berlebihan.

Sesungguhnya, perbedaan pendapat di antara manusia adalah suatu hal yang telah diterima sebagai sunnatullaah oleh para ulama. Jangankan manusia pada jaman sekarang, para sahabat Rasulullah saw pun ada kalanya bersilang pendapat. Adakalanya mereka pun berbeda pendapat, bahkan sampai bertengkar, meskipun ketika itu Rasulullah saw masih bersama mereka. Para sahabat sekalipun bukanlah orang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata:

Saya tidak bahagia jika tidak ada perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Andaikan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka tidak akan ada rukhshah (toleransi hukum).

Perbedaan pendapat yang terjadi adalah kehendak Allah SWT. Salah satu hikmahnya adalah perbedaan-perbedaan tersebut mengajari kita untuk bersikap toleran. Oleh karena itu, para ulama bisa saja berbeda madzhab, meskipun hubungannya adalah guru dan murid. Meski demikian, mereka saling menghargai satu sama lainnya, bahkan saling memuji.

Oleh karena itu, sah-sah saja jika ada kelompok di masa lalu yang berpendapat bahwa ‘Ali ra lebih berhak untuk menjadi Khalifah mendahului Abu Bakar ra, ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Pendapat ini sah, dan siapa yang berpendapat demikian tidaklah menjadi cacat keimanannya. Akan tetapi yang amat disayangkan adalah kaum Syi’ah begitu yakin bahwa Allah SWT menghendaki ‘Ali ra menjadi Khalifah penerus Rasulullah saw, sehingga siapa pun yang tidak sependapat dengannya akan dinyatakan kafir. Padahal, tidak pernah sepatah kata pun ‘Ali ra membantah kepemimpinan ketiga orang Khulafaur Rasyidin sebelumnya.

Kita juga tidak menjumpai kata-kata kasar yang diucapkan oleh ‘Ali ra menyangkut pribadi para sahabat Rasulullah saw, kecuali dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kaum Syi’ah. Andaikan kita akan menimbang pula hadits ‘sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga akan masuk neraka’, kita perlu mempertanyakan: wajarkah kata-kata Rasulullah saw diralat? Bukankah kata-kata yang meluncur dari lisan beliau adalah wahyu, dan beliau terpelihara dari kesalahan?

Logiskah berpikir bahwa Rasulullah saw menjamin sepuluh orang masuk surga, dan di kemudian (setelah beliau wafat) hari jaminan tersebut ditarik lagi kecuali untuk satu orang saja? Padahal, ramalan al-Qur’an dalam Surah ar-Ruum pun baru terbukti sekian tahun setelah Rasulullah saw wafat (artinya: tak ada ralat dalam wahyu Allah SWT). Demikian ketatnya pemeliharaan Allah SWT terhadap Rasulullah saw, sehingga ketika beliau bermuka masam pun langsung ditegur dan dikoreksi di dalam al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dari Allah SWT terhadap Rasulullah saw tidak ada bandingannya, dan ketika terjadi kesalahan, koreksi akan langsung dilakukan tanpa waktu jeda. Itulah makna ma’shum. Bahkan kesalahan beliau pun (yang tentu saja langsung dikoreksi) mengandung hikmah, karena dari suri tauladan beliau pula kita belajar cara memperbaiki kesalahan secara legowo dan memohon ampun dari Allah SWT. Jika Nabi kita adalah dari bangsa Malaikat yang tak punya hawa nafsu dan tak pernah khilaf, maka kita akan sulit mencontohnya, karena manusia sering berlaku khilaf.

Yang amat disayangkan, masalah kepemimpinan – yang tadinya hanyalah ikhtilaf – hingga kini masih menjadi isu utama di kalangan Syi’ah. Dari dulu sampai sekarang, kaum Syi’ah masih mempermasalahkan mengapa ‘Ali ra tidak menjadi Khalifah pertama, walaupun ‘Ali ra sendiri tidak mempermasalahkannya. Dan, sekali lagi, masalah menjadi tambah ruwet karena kaum Syi’ah berpendapat bahwa mereka yang tidak mendukung ‘Ali ra sebagai Khalifah penerus Nabi Muhammad saw adalah orang-orang kafir.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi adalah salah satu ulama yang sangat besar kontribusinya dalam usaha-usaha menjalin ukhuwwah antara Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun bekerja keras, beliau pun sampai pada kesimpulan bahwa hubungan baik antara Sunni dan Syi’ah takkan pernah terwujud sebelum kaum Syi’ah mengubah sikapnya. Sementara kaum Sunni memuji para sahabat Rasulullah saw, kaum Syi’ah justru mengkafirkannya, bahkan secara rutin melaknatnya (di antaranya melalui doa Shanamai Quraisyin yang telah disebutkan di atas).

Konsep Imaamah, yang menjadi basis dari ajaran Syi’ah, masih memiliki konsekuensi-konsekuensi lainnya. Hal-hal ini akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya, Insya Allah.