Awas, Kandang Riba!

Pernahkah suatu ketika saat Anda sedang melakukan sesuatu, tiba-tiba ada seseorang berteriak awas dengan intonansi tinggi? Apa yang pertama Anda rasakan? Kaget? Bingung? Waspada? Atau cuek? Entahlah, terserah apapunyang  Anda lakukan itu. Yang jelas, kata awas adalah sebuah sinyal bahwa ada sesuatu yang berindikasi membahayakan di sekitarmu.

Baiklah, sebelum lanjut, tanyakan pada diri Anda ketika membaca judul awal tadi, apa yang Anda rasakan? Jika pilihannya cuek, saya yakin Anda tidak akan masuk hingga kalimat ini. Sekilas membaca judulnya dan langsung pergi mencari link lain, untuk di klik. Hmmmm, jika tetap cuek tapi merasa penasaran dan keep reading, bersiap-siaplah, karena Anda sudah terjebak untuk merasa kaget, bingung dan menjadi waspada setelah membacapembicaraan saya selanjutnya.

Baru saja 2 tahun saya kenal dengan kata-kata riba. Riba yang sejatinya sudah difatwakan sebagai barang haram dalam kitab hukum yang tiada satu mahkamahpun yang mampu menyangsikannya. Dalam undang-undang Sang Maha Hakim, di surat Al Baqarah ayat 275 poin terakhir, disebutkan ganjaran bagi penggunanya. Taukah Anda apa itu? Penjara paling jelek dan mengenaskan yang pernah ada. Belum pernah dengar berita ini? Coba buka terjemah mushaf Anda masing-masing…

Mengenali Riba

Dalam sebuah buku dari PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah), bab keduanya berjudul Kupas Tuntas tentang Riba dan Bunga Bank, akan saya kutip inti dan poin-poinnya saja sebagai pengantar kenapa kita harus awas terhadap riba.

Secara harfiah, bunga (interest) adalah tambahan uang yang dibayarkan atas penggunaan uang. Atau istilah lainnya yang lebih umum dalam dunia perbankan adalah balas jasa yang diberikan oleh lembaga keuangan konvensional kepada nasabah. Atau dalam perspektif lain, diartikan sebagai harga atau kompensasi atas ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang selama jangka waktu tertentu.

Sedangkan riba, diambil dari bahasa arab yang artinya adalah ziyadah, tambahan. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil[1]. Semua sikap bathil pastilah membawa kerugian, bisa jadi berdampak kecil atau malah sangat besar. Maka, bagi siapa yang beriman, Allah menghendaki kita untuk menjauhi aktivitas bathil dalam memanfaatkan harta (QS An Nisa’:29).

Kemudian, apakah tambahan antara bunga dan riba itu sama maknanya? Ternyata, bunga yang dijalankan sejak adanya institusi perbankan di zaman modern ini, ketika ekonomi kapitalis telah berkembang dan dianut oleh banyak umat di dunia, memiliki persamaan dengan apa yang diwariskan Islam sebagai riba di zaman jahiliyah dulu. Oleh karena riba telah jelas diharamkan oleh Allah dalam Alqur’an, bunga dalam sistem perbankanpun mendapat hukum yang sama, karena ada persamaan illat berupa tambahan. Maka, bunga itu adalah haram. Agar tidak ada kerancuan dalam pemahaman masyarakat awam, maka MUI telah mengeluarkan fatwa resmi terkait keharaman bunga pada tahun 2003, bahwa pembungaan uang dalam perbankan memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah yaitu Riba Nasi’ah. Riba Nasi’ah dijelaskan oleh Muhammad Syafii Antonio, tokoh ekonomi Islam Indonesia, sebagai riba yang muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Walau diawal-awal perintisan perbankan syariah di Indonesia banyak ulama yang juga mempunyai pendapat yang berbeda, tapi semakin kesini setelah semakin banyaknya literatur dan fakta yang dapat mendeskripsikan secara lebih jelas tentang kesamaan antara dua hal ini, maka bunga sudah mulai dipahami keharamannya  secara menyeluruh.

Sudah merasa awas dan merasa harus waspada? Tenang, pembicaraan ini belum berakhir…

Sedikit disinggung di atas, riba adalah sebuah tambahan yang didapat dari transaksi bathil. Ketika awal mengenal riba pun, saya sebenarnya masih tidak mengerti hubungannya dengan bunga. Ada apa dengan bunga? Kenapa harus diharamkan seperti riba? Pertanyaan  ini muncul, ketika rasionalitas saya yang bertanya. Logika menjadi salah satu tolak ukur bagi saya, ketika hukum yang ditetapkan adalah seputar hukum muamalah, hukum antar manusia. Karena saya yakin dan selalu benar hingga saat ini, tiap ada hukum yang mengatur muamalat, selalu ada hikmah dan manfaat yang bisa diterima logika saya.

Begitulah Allah dengan sabar memberi saya pemahaman akan ilmuNya yang begitu canggih. Maka, perlahan-lahan saya mulai mengerti. Semuanya tidak bisa langsung dipahami hanya dengan membaca beberapa baris pengertian dan menghafalkannya diluar kepala kawan.  Saya mulai dari mengamati fenomena perekonomian, perekonomian Indonesia, perekonomian umat muslim awalnya dan baru kemudian perekonomian dunia yang lebih kompleks ini. Ternyata? Salah satu benang merahnya adalah adanya bunga alias riba ini. Begitu manis kata bunga, tapi ternyata itu cuma kedok untuk membuatnya diterima masyarakat. Ya. Bunga ataupun interest, dalam bahasa Inggris, tidak semanis katanya. Bunga bank tetaplah riba, tetaplah bathil.

Kemudian, bagaimana bunga itu menjadi bathil? Apakah pengenaan tambahan berupa balas jasa atas uang yang telah dipinjamkan itu bathil? Inilah pemahaman yang masih sering rancu dan kurang dipahami masyarakat. Dalam transaksi simpan-dana[2], secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Penyeimbang disini maksudnya adalah sebuah nilai rill yang bisa dirasakan oleh si peminjam.

Misalnya pada transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa atas manfaat barang yang dia ambil dan sebagai ganti nilai ekonomis yang hilang dari barang yang telah digunakan. Yang menimbulkan kebathilan ketika bunga diterapkan dalam simpan-pinjam bank adalah ketika adanya ketidakadilan ketika peminjam uang diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, pasti, dan mutlak akan mendapatkan untung berupa bunga dari uang yang telah ia pinjamkan. Padahal, ketika uang tersebut berada di tangan peminjam, belum tentu memberikan keuntungan. Jika ternyata rugi, pihak peminjam akan dirugikan atau dizhalimi disini.

Jika masih beralasan bunga adalah sebagai jasa dari uang yang telah dipinjamkan, maka hal ini juga tidak mendasar. Karena, uang tersebut juga tidak akan berkembang jika tidak ada pihak yang berkapabilitas untuk mengelolanya. Maka, perlu ada akad yang lebih jelas dan telah diatur secara detail dalam Islam. Maka muncullah kemudian bank syariah yang berlandaskan konsep bagi hasil, dengan akad simpan pinjamnya adalah bisa jadi mudarabah, murabahah, dan lain-lain.  Yang intinya adalah adanya transaksi yang jelas dan saling berbagi baik untung maupun rugi, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Ada dampak kebathilan dan kezhaliman yang lebih besar lagi sebenarnya, insya Allah di lain kesempatan akan saya coba bahas kembali.

Baiklah, sekarang mari bersama kita lihat seharam apa itu riba. Ini adalah pembicaraan lain saya bersama peserta Kuliah Informal Ekonomi Islam 2010 yang diadakan Shine UI dalam kesempatan 6 kali pertemuan.

Dalam sesi pertamanya, di hari Sabtu yang agak mendung saat itu, Peneliti Junior Bang Indonesia, Ali Sakti yang terpilih menjadi dosen. Pertemuan pertama yang bertopik pada pengertian secara mendasar apa itu bank syariah. Beliau memulai materinya di 1 jam pertama adalah tentang riba. Materi yang sama yang dibahas di mata kuliah saya, baik Fiqh Muamalat, Tafsir Ayat Ekonomi, maupun Hadist-hadist Ekonomi, dan beberapa mata kuliah terkait, berikut  dalil-dalil yang mengharamkan riba.

Al Qur’an

Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang  yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah : 275)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah : 278-279)

Hadits

Jabir berkata bahwa Rasulullah berkata bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda: “Mereka semuanya sama”. (HR. Muslim no 2995, kitab Al Masaqqah)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam berkata : “pada malam perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menerima riba.

Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam  bersabda bahwa, “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”

Mari beristighfar sebanyak-banyaknya!

Periksa kembali dompet kita, adakah ATM ribawi disana? Adakah itu dosa terkecil dari riba? Adakah itu menjadi bentuk sebuah tantangan kita untuk memerangi Allah dan rasulNya? Bisakah barang-barang riba itu menyelamatkan kita dari siksa neraka yang berkekalan? Nau’dzubillah… Sudah sejauh apa kita berusaha menjauh darinya? Sudah sekuat apa kita berjuang untuk melepas diri darinya?

Sedari kecil, kita sudah paham betul bahwa babi adalah barang haram. Najis betul ketika melihatnya, apalagi menyentuhnya. Lihatlah segrombolan babi dalam kandangnya. Maukah kita mendekat dengannya. Najis! Kita akan awas dan waspada agar sedikitpun tidak mendekatinya. Bagaimana dengan bank? Itulah yang disampaikan oleh Ali Sakti yang membuat saya benar-benar kaget dan tersadar. Bank adalah kandang dari riba. Hanya kandang yang satu ini lebih bersih, lebih wangi dan jauh lebih layak. Tapi isinya? Jauh lebih menjijikkan dari seekor babi, kawan…

Bagaimana sekarang? Masih tidak waspada?  Mari bersamasama meninggalkan kandang riba, berproses bersama. Proses menjauhi itu semua. Dan proses untuk bersama semua muslim kembali pada apa yang Allah berikan untuk kita, agar ampunan dan ridhanya selalu ada untuk kita. Semoga tidak ada keraguan untuk setidaknya beralih ke bank syariah sebagai langkah awal memulai menjauhi riba.

__________________________________________ 


[1] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999)

[2] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001)