Yahudi dan Syiah

Sejak dahulu bangsa Yahudi sudah dikenal sebagai biang pemalsu kitab-kitab suci yang diwahyukan oleh Allah swt. Kitab Taurat yang dibawa oleh nabi Musa as telah diacak-acak dan sirsak habis hingga menjadi kitab yang sama sekali tidak bernilai lagi. Begitu juga dengan kitab Injil, telah mereka campuri dengan karya para Hakhom. Terhadap Al-Quran mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena semua yang ada dalam Al-Quran sangat autentik dan tak mungkin dipalsukan walau satu huruf pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menjamin kesucian kitab Al-Quran ini.

Usaha Yahudi untuk merusak dan mengotori wahyu-wahyu Allah ubhanahu wa Ta’al tidak pernah berhenti bagitu saja. Melalui Persia sebagai mandataris pendiri aliran Syiah, cendekiawan Yahudi yang menyeru sebagai penganut aliran Syiah bekerja sama dengan para tokoh majusi Persia menciptakan buku-buku tafsir bathini kitab suci Al-Quran. Dengan tafsir bathini itu mereka bertujuan memutar-balik arti Al-Quran yang sebenarnya. Tafsir bathini adalah awal dari pelampiasan dendam kombinasi Yahudi-Majusi terhadap Islam. Lewat aliran Syiah Yahudi telah membantai nama baik seluruh sahabat Rasulullah saw. Menyusul kemudian mereka membantai pula kesucian kitab-kitab hadis Ahlussunnah wal Jama’ah.

Tidak segan-segan, Yahudi-Majusi mengatakan adanya kitab Al-Quran yang lebih lengkap dari kitab Al-Quran yang sekarang ada. Mereka juga telah menuduh bahwa kitab Al-Quran yang sekarang ini ciptaan Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat Rasulullah saw yang telah mengkhianati Ali bin Abi Thalib. Dengan alasan itulah mereka kemudian menciptakan hadis-hadits dan dongeng-dongeng versi mereka yang mendukung tujuannya.

Sebelum Islam datang, bangsa Yahudi yang berdiam di kota Madinah telah menguasai sektor perekonomian dan perdagangan kota itu. Mereka juga menjadi biang pertentangan suku-suku Aus-Khazraj. Barulah setelah itu Rasulullah saw berdiam di Madinah dan menyebarkan Islam di sana, beliau berhasil mempersatukan kedua suku yang saling bertentangan itu dalam naungan Islam. Dengan demikian Yahudi Madinah terpencil dan terkucilkan. Tetapi usaha mereka terus berlanjut dengan menggabungkan diri pada golongan munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Tetapi kubu munafik dan Yahudi ini tidak bertahan lama, mereka dihancurkan juga oleh kekuatan Islam yang militan di Madinah. Sebagian dari tokoh-tokoh mereka yang selamat kemudian berpura-pura masuk Islam.

Peran mereka di kemudian hari muncul kembali, ketika mereka mendapatkan konco yang sejenis, yaitu tokoh-tokoh Majusi Persia yang juga berpura-pura memeluk agama Islam. Ka’ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang mengaku sebagai muslim adalah penyebar hadis-hadits palsu dan kisah-kisah Israiliyyat, menjadi duta bangsa Yahudi. Sedangkan Hurmuzan dan Jafinah, dari kubu Majusi Persia juga telah mengaku sebagai muslim. Mereka bertiga bersekongkol hendak membunuh Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Pelaksana rencana makar ini adalah Farwa’ Abu Lu’luah, seorang budak bekas tawanan perang Persia. Sejak saat itulah, Ka’ab Al-Ahbar telah menancapkan fitnah Yahudi dalam tubuh agama Islam dan berlangsung sampai saat ini.

Di zaman Khalifah Utsman bin Affan ra, anak cucu Ka’ab Al-Ahbar muncul dari negeri Yaman, dan bernama Abdullah bin Saba’. Ia menyatakan keislamannya dan bermaksud menetap di Madinah. Suatu ketika ia bertemu dengan Khalifah Utsman, Abdullah bin Saba’ menyebarkan racun puji-pujian kepada Khalifah. Tetapi Khalifah Utsman waspada atas pujian tentang dirinya. Maka diusirlah Abdullah bin Saba’ dari kota Madinah dan dilarang memasuki kembali kota suci itu.

Dasar memang Yahudi, walaupun sudah di person non Gata di Madinah, Abdullah bin Saba’ lari dan berkeliling ke wilayah Syam, Mesir dan Iraq. Imam Thabari dalam tarikhnya mengatakan, ketika Ibnu Saba’ sampai di Syam, ia bertemu dengan seorang sahabat yaitu Abu Dzar Al-Ghifari, dan membujuknya agar Abu Dzar memberontak kepada Muawiyah. Dikatakannya bahwa Muawiyah pernah mengatakan: “Semua harta benda adalah milik Allah, dan begitu pula segala sesuatu yang ada ini, hakekatnya kepunyaan Allah.” Dengan kalimat ini Ibnu Saba’ bermaksud menganjurkan agar kaum muslimin mengumpulkan harta sebanyak mungkin untuk kepentingan pribadi, dan bukan untuk kepentingan umat. Dengan kalimat ini pula Abdullah bin Saba’ mendatangi Abu Darda, tetapi rupanya Abu Darda waspada dengan kehadirannya itu, dan segera menyatakan: “Siapakah anda? Kalau tidak salah anda seorang Yahudi tulen!”

Di Mesir dan Iraq, Ibnu Saba’ –yang juga dipanggil dengan nama Ibnu Sauda’- menyebarkan racun fitnah itu dengan mengembangkan ajaran Ar-Raj’ah (reinkarnasi) dan mengatakan: “Bukankah kalian telah meyakini bahwa Isa Al-Masih akan datang kembali? Mengapa kalian tidak meyakini bahwa Muhammad akan kembali? Mengapa pula kalian berdiam diri ketika kekuasaan dan kepemimpinan umat dirampas dari tangan Ahlul Bait Nabi?” dengan racun inilah Ibnu Saba’ mulai menyebarkan kecaman terhadap khalifah Usman bin Affan dan mengobarkan berita bohong kepada beberapa orang sahabat. Dari sini, ia telah membuka sebuah “Poros Fitnah” antara Mesir dan Kuffah di satu pihak, melawan khalifah Usman di Madinah, di lain pihak. Melalui poros fitnah ini ia kemudian merancang pembunuhan Usman.

Setelah Usman terbunuh dan Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai Khalifah, Abdullah bin Saba’ menjadi orang pertama yang menyatakan bai’atnya kepada Ali bin Abi Thalib. Perihal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib itu Ibnu Saba’ membawa dongeng tentang Yusa’ bin Nun yang memperoleh wasiat Nabi Musa, maka menurutnya Ali seharusnya memperoleh juga wasiat dari Rasulullah Muhammad saw untuk menggantikan beliau. Tidak cuma itu, Ibnu Saba’ mulai melancarkan kecaman atas Abu Bakar, Umar, Usman dan beberapa orang sahabat yang memihak mereka. Perbuatannya itu dikatakan atas instruksi Ali bin Abi Thalib. Atas fitnah yang dinisbahkan kepada Ali, maka Abdullah bin Saba’ dihadapkan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk mempertanggung jawabkan semua tingkah lakunya itu. Di depan Khalifah Ali, Ibnu Saba’ mengakui perbuatan fitnahnya itu.

Aki bin Abi Thalib, akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas Ibnu Saba’. Saat itu hadirin yang menghadiri sidang itu memprotes, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda akan menghukum mati orang yang mencintai anda dan ahlul bait, serta mendukung kepemimpinan anda dan bersikap menentang lawan-lawan anda?” Ali kemudian membuang Abdullah bin Saba’ ke Madain (Ibu kota Iran waktu itu). Saat Ibnu Saba’ tiba di Madain, tersebarlah berita kematian Ali bin Abi Thalib. Seluruh umat Islam sedang berduka cita, tetapi Abdullah bin Saba’ malahan menolak wafatnya Khalifah Ali, “Sekalipun kalian datangkan kepadaku 70 orang saksi yang adil menerangkan wafatnya Ali, aku sendiri menyatakan ia tidak tewas. Ali tidak akan wafat, tidak akan terbunuh sebelum ia dapat menguasai seluruh permukaan bumi ini.”

Maka mulailah Abdullah bin Saba’ menjadi orang yang pertama kali mempertuhankan Ali bin Abi Thalib. Ia mengatakan Ali tidak terbunuh, karena pada dirinya ada unsur Tuhan. Ali sering menjelma dalam bentuk awan, guruh adalah suaranya, petir adalah cemetinya. Demikianlah racun syirik yang disebarkan oleh Ibnu Saba’. Namun, mempertuhankan manusia sebenarnya bukan hal yang aneh bagi Yahudi. Bukankah mereka juga yang mempertuhankan Isa Al-Masih, setelah mereka gagal melikuidasi agama Masehi? Merekalah yang meletakkan ajaran Trinitas atau Tiga Oknum Tuhan dalam agama Kristen. Kemudian mereka mendudukkan Ali bin Abi Thalib seperti Isa Al-Masih, yaitu dengan cara mempertuhankan Ali dan mengimamkan anak keturunannya dengan cara yang sangat berlebihan.

Seorang Yahudi lainnya, bernama Abdullah bin Mainun Al-Qaddah adalah arsitek pendiri aliran Ismailiyyah, meninggal tahun 147 H. Dialah yang mengimamkan dan menokohkan Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq. Di kemudian hari aliran ini pecah menjadi beberapa aliran kecil lainnya seperti Qaramithah, Zanjiah, Fathimiyyah, Muqanna, Druziah, Hasyasyin, Babiah dan Baha’iyyah. Tokoh Ismailiyyah di abad ini adalah Agha Khan yang petualangannya sangat terkenal sekali. Agha Khan yang tinggal di Barat sangat erat sekali hubungannya dengan pihak Yahudi Internasional. Agha Khan melarang pengikutnya melaksanakan ibadah haji, sementara ia juga menghalalkan minuman keras, perjudian dan perzinahan. Pada suatu hari dia ditanya oleh seorang wartawan, mengapa ia yang berpendidikan tinggi itu masih mau dipertuhankan oleh pengikutnya? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia tertawa terbahak-bahak seraya mengatakan: “Bangsa India banyak yang menyembah sapi, bukankah aku lebih baik dari sapi?” Bahkan ia juga mengatakan, Khamr yang sudah masuk ke perutnya itu akan berubah menjadi air zam-zam.

Ismailiyyah yang telah melahirkan berbagai aliran rahasia dan sesat itu pada awal kebangkitannya berusaha untuk menumbangkan Dinasti Abbasiah, khususnya gerakan Qaramithah, Hasyasyin dan Druziah, sejarah kelompok-kelompok ini dalam dunia Islam sangat tercela sekali karena mereka berusaha menghancur-luluhkan ajaran Islam dengan cara berpura-pura menjadi pembela rayah kecil dan miskin. Isu yang mereka tampilkan adalah mempertentangkan kelas-kelas dalam masyarakat. Tak ubahnya seperti kaum komunis di zaman modern ini. Mereka selalu menggunakan dua istilah, yaitu kelas Penguasa yang menindas dan kelas Rakyat Jelata yang tertindas.

Dengan istilah-istilah itu mereka –dalam usahanya merebut kekuasaan dan menghancurkan Islam- menyisipkan ajaran bahwa yang mampu menumbangkan kekuasaan penguasa adalah imam-imam mereka, yang mampu membebaskan penindasan rakyat kecil yang lemah adalah imam-imam mereka. Dengan demikian, menurut ajaran Syiah, siapa saja yang menjadi pengikut mereka akan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan.

Isu seperti ini pada abad 20 digunakan oleh kaum Bolsyewiks, yang akhirnya menelorkan Komunisme Internasional. Dewasa ini, isu pertentangan kelas dengan dalih Pembebasan melalui ketaatan –kembali didengungkan oleh kaum Syiah Imamiyah Itsnaasairah. Dalam suatu bentuk permasalahannya yang mendasar, dengan dalih Hak Imamah, dengan postulat bahwa semua Nabi dan Rasul yang datang dan diutus oleh Tuhan selalu menbawa ajaran yang membela rakyat tertindas, kaum Syiah Itsnaa’sariyah mencoba merangkul kaum muda Islam di Dunia Ketiga yang haus akan tema baru dalam perjuangan dan kegiatan keagamaan mereka.

Tema baru itu adalah apa yang disebut sebagai Kesadaran Sejarah. Istilah ini sebenarnya mempunyai dua sisi, bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi istilah ini berusaha untuk membelokkan opini masyarakat banyak atas sejarah Islam dengan mengaburkan fakta-fakta sejarah yang sebenarnya terjadi, di sisi lainnya ia juga berusaha untuk menghapus kejahatan Yahudi yang telah menikam dan merobek-robek Islam pada awal sejarah perkembangannya. Memang demikianlah cara-cara Yahudi sejak dahulu kala. Mereka selalu berusaha untuk menghapuskan jejak dan bukti-bukti sejarah yang pernah mereka buat terhadap agama Allah.

Di abad 20, Yahudi-Zionis Internasional telah berusaha untuk menghapuskan nama Abdullah bin Saba’, Ka’ab Al-Ahbar dan Abdullah bin Maimun Al-Qaddah –sebagai arsitek utama Syiah dari sejarah Islam. Yahudi dan Syiah di abad ini berusaha untuk menghilangkan nama-nama itu melalui tangan Thaha Husein dan orang yang sejenisnya dengan mengatakan bahwa nama-nama itu hanyalah Tokoh Fiktif yang diciptakan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Cara ini sebenarnya tak beda dengan usaha Zionis Israel merusak kitab Injil demi menghapuskan kekejian dan kekejaman mereka terhadap nabi Isa as.

 

Sumber:

Syiah dan Sunnah, Dr. Ihsan Ilahi Dhahir

Talmud dan Ambisi Yahudi, Dhafrul Islam Khan