Untuk Siapa Pendidikanmu?

Menurut Prof. HAR. Tilaar “Pendidikan memiliki dua dimensi yang saling bertautan. Pertama, pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM). Kedua, pendidikan merupakan suatu proses. Sebagai HAM berarti manusia tanpa pendidikan tidak dapat mewujudkan kemanusiaanya, pendidikan sebagai proses berarti manusia tidak dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan suatu proses kemanusiaan dalam kebersamaan dengan sesama manusia.

Pendidikan memang menjadi bagian aktifitas yang tidak dapat terpisahkan dari  kehidupan manusia. Mulai dari bayi hingga tua renta, seorang manusia melewati berbagai macam fase pendidikan, mulai dari lingkungan keluarga, kemudian ke lingkungan sekolah, dan mencapai lingkungan yang jauh lebih besar yaitu lingkungan masyarakat.

Saat ini strata pendidikan tertinggi adalah seorang doktor. Baik kaum laki–laki ataupun perempuan banyak yang telah menempuh pendidikan doktor di perguruan tinggi negeri maupun asing. Banyak orang beranggapan kita melalui fase pendidikan tinggi untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula upah kerja yang dapat diterima. Paradigma kerja hari ini bukan lagi usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi lebih mengedepankan gengsi, dan kehormatan. Perkara seperti ini tidak jarang mengorbankan sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan, terutama bagi para kaum ibu.

Banyak kita temukan dewasa ini “broken home” didasari oleh tiadanya waktu orang tua untuk anak–anak mereka. Orang tua lebih sibuk bekerja, dan menyerahkan anak sepenuhnya kepada pembantu mereka di rumah. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua dengan jenjang pendidikan yang tinggi.

Bayangkan seorang ibu yang berpendidikan tinggi, menyerahkan kepada pembantu yang kebanyakan tidak sekolah untuk membina anaknya di rumah. Pendidikan pertama anak di lingkungan rumah tidak mendapatkan pendidikan yang maksimal. Jadilah anak-anak hasil didikan para pembantu, bukan didikan seorang ibu. Pendidikan tinggi yang telah didapatkan oleh kedua orang tuanya terasa menjadi sia–sia jika sang anak malah tidak merasakan manfaatnya sama sekali, karena kedua orang tuanya (terutama ibu) lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan membina pertumbuhan anak.

Seandainya saja seorang anak  dididik oleh ibu yang bergelar doktor, tentu hasil didikanya akan jauh berbeda dengan didikan seorang pembantu. Lingkungan rumah yang menjadi pondasi dasar pendidikan sang anak harus dimaksimalkan dengan memberikan bimbingan yang terbaik. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan program Ayah Edy yaitu “ Indonesian Strong From Home”. Pendidikan anak itu berasal dari rumah (rumah tangga) untuk membangun sebuah rumah baru (rumah tangga).

Pendidikan itu bukan untuk mencari kekayaan dunia, pendidikan juga bukan untuk mendapatkan suatu jabatan yang tinggi. “pendidikan itu harus kita tujukan atau dasarkan pada kebaikan–kebaikan yang telah di tentukan oleh Syariat Islam supaya yang kita didik itu menjadi orang yang sopan atau disebut sebagai bangsa yang mulia dan tinggi derajatnya, “ (KHR. Zainuddin Fananie). Lalu untuk siapa gelar sarjanamu, dirimu, orang lain, atau anak-anak mu?

Oleh: Muhamad Ihsan, Bekasi
Mahasiswa UNJ
Facebook
 – Blog