Ukhti, Kaos Kakinya Mana?

“Mbak, mau ke mana?” tanya Nisa kepada kakaknya Nada.

“Mau ke warung Bu Arip beli garem” jawab Nada.

“Koq nggak pake kaos kaki sih?” taya Nisa lagi.

“Kan rumah Bu Arip deket,” jawab Nada

“Terus kalau deket auratnya keliatan juga nggak papa yah?” ucap Nisa retoris.

Pernah juga ada seorang akhwat yang baru selesai berwudhu dan belum menggunakan kaos kaki karena kakinya masih basah. Kebetulan ketika ia hendak masuk masjid, ia harus melewati kawasan ikhwan. Kemudia ada seorang ikhwan yang nyeletuk: “Ukhti, kaos kakinya mana?”

Jleb.. Pernah ngalamin hal kayak gini? Lupa –atau sengaja- tidak memakai kaos kaki ketika ingin berpergian atau di depan orang yang bukan mahram.

Ada cerita lagi, suatu hari saya diajak ibu belanja sayur di rumah temannya. Kebanyakan penjual sayur di daerah saya tidak ada yang berpakaian rapi, hanya menggunakan daster atau baju-baju yang biasa dipakai di dalam rumah. Pikir saya, teman ibu yang penjual sayur ini tidak jauh berbeda dengan penjual sayur lainnya. Ternyata teman ibu adalah seorang ummahat bercadar. Baru kali ini saya menemukan seorang penjual sayur bercadar di daerah saya. Tapi ada satu hal yang mengusik pikiran saya. Bukan karena cadar yang beliau kenakan. Ketika saya melihat ke bawah ternyata punggung kaki beliau terbuka, tidak tertutupi apapun baik itu kaos kaki atau lainnya.

“Pakai cadar tapi kok nggak pakai kaos kaki sih Bu,” tanya saya kepada ibu dalam perjalanan pulang.

“Kan, itu di rumah (kebetulan warungnya jadi satu dengan rumah). Kalau keluar beliau pake kaos kaki kok,” jawab Ibu.

Masalah kaos kaki memang terdengar sepele. Tapi ini cukup untuk merepresentasikan pemahaman seorang Muslimah akan agamanya. Masalah sepele ini bisa memperlihatkan komitmen dan kekuatan ‘azzam seorang Muslimah dalam menjaga ‘izzah atau kehormatannya. Masih sering kita jumpai saudari-saudari kita yang berpakaian serba tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki ketika hendak bepergian, tapi ketika menyapu di halaman depan rumah kaki terbuka bebas. Atau ketika pergi ke warung, kakinya terlihat. Emang kaki juga bagian dari aurat ya?

Oke mari kita kaji dalil-dalil yang menjelaskan tentang batasan aurat wanita. Dalam Al Quran surat An Nuur ayat 31, Allah memerintahkan hendaknya para wanita tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya dan menutupkan kain kerudung ke dadanya. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kalimat إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا atau kecuali yang biasa nampak daripadanya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat yang dimaksud dengan kecuali yang biasa nampak daripadanya adalahwajah, cincin dan kedua telapak tangan. Dalam riwayat lain yang berasal dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa maksud kecuali yang biasa nampak daripadanya adalah telapak tangan dan cincin.

Karena perbedaan tafsir mengenai kecuali yang biasa nampak daripadanya maka para ahli fiqih juga berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat wanita. Ada yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ada juga yang mengatakan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Imam asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Jumhur ulama beranggapan bahwa kaki termasuk aurat.

“Barangsiapa yang memanjangkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya.” Ummu Salamah bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung pakaian mereka?’ Beliau menjawab : ‘Kalian boleh memanjangkannya sejengkal.’ Ummu Salamah bertanya lagi : ‘Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!” Beliau menjawab, “Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai)

Pada hadits di atas disebutkan bahwa kedua kaki perempuan adalah aurat. Oleh karena itu ketika Rasulullah bersabda: “Panjangkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah berkata: “Jika demikian kaki kami akan tersingkap.” Perkataan Ummu Salamah ini menunjukkan bahwa kaki perempuan adalah aurat yang tidak boleh terlihat. Maka dari itu Rasulullah memerintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka sehasta. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan hal ini dalam AL Quran surat an Nuur ayat 31 :

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”

Al-Baihaqi mengatakan bahwa di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kaum wanita wajib menutup kedua punggung telapak kakinya. Asy-Syaukani juga juga berpendapat sama. Syeikh Utsaimin, Syeikh Musthofa al-‘Adawiy, Syeikh Albani dan jumhur ulama lainnya bersepakat bahwa kaki adalah aurat. Gimana, sudah dapet jawaban kan kaki itu aurat atau bukan?

Nah, untuk masalah kaos kaki sendiri sebenarnya bukan kewajiban. Kalau misalkan ada pakaian lain selain kaos kaki yang bisa menutupi aurat dan yakin aurat itu tidak akan tersingkap, nggak masalah nggak pakai kaos kaki. Mungkin kita berpikir ‘Ah cuma kaki doang, nggak bakal jadi fitnah’. Eits….jangan salah, setan akan terus mencari celah untuk mencari teman yang bisa menemaninya bermaksiat. Dan tau nggak sih, ternyata kaki juga bisa membuat  seorang laki-laki jatuh hati kepada wanita!

Buat yang memilih kaos kaki untuk menutupi kakinya, pilihlah kaos kaki yang tidak tipis seperti stocking. Rata-rata stocking berbahan tipis. Apalagi stocking yang warnanya sama dengan warna kulit, aurat kita akan tetap terlihat. Kalaupun ingin menggunakan stocking, sebaiknya di dobel dengan kaos kaki berbahan lain. Supaya lebih aman, gunakan kaos kaki yang panjangnya minimal sebetis. Kalau kita menggunakan kaos kaki semata kaki, tak jarang aurat kita terlihat ketika berjalan atau menaiki tangga.

Saudariku, kalau kita merasa aman dengan terbukanya bagian kecil dari aurat kita, bukan tidak mungkin kita akan merasa aman membuka bagian lainnya. Wal ‘iyadzu billah. Bagaimana saudariku masih pengen kah ke warung nggak pakai kaos kaki? Atau masih ada niatan nyapu teras kakinya terbuka? Yuuuk kita sama-sama menjaga diri kita, menutupi aurat kita, dan menjaga ‘izzah kita.

Oleh : Rahma Riandini, Cilegon
FacebookTwitterBlogger

Referensi:

  1. Nayl al-Author, Syeikh asy-Syaukani
  2. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir
  3. Jami’ Ahkam an-Nisaa’, Syeikh Musthafa al-‘Adawiy
  4. Ahkam an-Nisaa, Syeikh al-Albani