Tikaman di Kala Fajar

Kisah ini saya tulis untuk mengingatkan kita. Bahwa hidup yang kita jalani sekarang pastilah berakhir pada kematian. Kematian yang merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi : Akhirat.

Banyak cara menuju mati. Kebanyakannya ditentukan oleh kebiasaan sehari-hari waktu hidup. Maka jangan heran jika mendengar pelacur mati ketika berzina. Atau pemain sepakbola yang mendadak dijemput izroil ketika sedang mengejar-ngejar kulit bundar. Pun, seorang sholih yang dipanggil Allah dalam ruku’, sujud atau tindak ketaatan lain karena memang semasa hidupnya orang ini terbiasa berada dalam ketataatan dan ketundukan kepada Allah.

Meskipun begitu, kita juga disuguhi sebuah fenmena berkebalikan. Misalnya orang sholih yang mati dalam kekufuran atau orang fajir yang meninggal dalam keadaan ketaatan. Jika ini yang terjadi, maka ini adalah pengecualian. Allah berkehendak mebuat kita belajar, bahwa iman yang ada haruslah dijaga terus hingga ajal menjemput.

FirmanNya, “Bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.”

Jika yang terjadi adalah orang fajir mati dalam keadaan taat, maka maknanya bahwa kita tidak boleh mevonis seseorang. Karena hidup bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendakNya, juga lantaran upaya yang kita lakukan. Hal ini, jika kita lakukan akan membuat hidup ini berjalan pada relnya. Agar kita tidak merasa benar sendiri dan juga tidak sombong. Sekali lagi, karena ketika kita masih hidup, semuanya bisa berbolak-balik sesuai apa yang Allah kehendaki.

Tentunya, kita semuanya berharap agar kita bisa menjumpai maut dalam keadaan terbaik : Khusnul Khotimah.

Kisah yang akan saya sajikan juga bermakna demikian : Bahwa pembawa kebenaran, pembela panji-panji Allah seringkali menghadapi uji dan coba yang tidak ringan. Mereka harus siap dengan segala macam intimadisi, makar dan seterusnya. Dimana mereka tidak hanya mengorbankan waktu, kesempatan maupun harta mereka, melainkan juga nyawa. Ya. Dalam memperjuangkan kebenaran, seringkali kita harus mengorbankan nyawa yang memang hanya satu ini.

Berikut kisahnya, selamat menyimak!

Sebelum wafatnya, Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib. Kata Nabi, “ Kamu ( Ali ) tidak akan mati melainkan dalam keadaan jenggotmu bersimbah darah.” Ali yang sangat mempercayai nabi itu hanya tersenyum. Senyumannya itu bermakna bangga. Karena sabda nabi itu bermakna bahwa Ali akan menjemput maut dalam keadaan Syahid- memperjuangkan Agama Allah.

Bermula dari syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan yang ditikam ketika sedang bertilawah, prahara yang menggunjang peradaban islam itupun semakin menjadi-jadi. Maka, setelah beliau dimakamkan, para sahabat berselisih faham. Ada yang mengusulkan untuk memberikan Qishash kepada pemberontak, adapula yang mendesak agar segera dilantik Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman. Atas persetujuan para Ahli Badar yang masih hidup, maka Ali-pun dilantik menjadi khalifah. Ketika itu bertempat di masjid.

Selama menjabat, kepemimpinan Ali tidak pernah sepi dari makar. Makar ini bersumber dari si munafik, na’udzubillahi min dzalik, Abdullah bin Saba’. Isu yang ia gulirkan masih seputar kebatilan pemerintahan Ali. Hingga puncaknya terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin. Ulama’ salaf bersepakat untuk tidak membicarakan perang ini secera detail, karena akan menambah fitnah. Pasalnya,meski para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum saling beradu senjata, tapi hati mereka senantiasa bersatu padu dalam ketataan pada Allah. Mereka masih satu payung dalam mengakkan ajaran islam itu sendiri.

Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah riwayat berikut. Ketika itu, Ali didatangi oleh seseorang yang tba-tiba bertanya, “ Wahai Khalifah, Apakah orang-orang yang mmberontak pemerintahan Engkau sekarang adalah orang musyrik?” Jawab Ali tenang, “ Bukan. Mereka dalah orang yang lari dari kesyirikan.” Karena tidak puas, orang tersebut melanjutkan tanyanya, “ Apakah mereka ( para pemberontak ) adalah orang-orang munafik?” dengan ketenangan yang tak berkurang dari sebelumnya, Ali menjawab tegas, “ Bukan. Karena orang munafik itu sangat sedikit sekali menyebut Allah.” Orang itupun kembali bertanya, “ Lalu, siapa mereka?” jawab Ali mengakhiri, “ Mereka adalah orang beriman yang tidak sependapat denganku.”

Sebuah jawaban yang sangat bijak. Potret sejati kepemimpina dalam. Jika saja yang ditanya bukan Ali, jawabannya pasti akan sangat berlainan. Apalagi ketika kekuasaan telah ditangannya.

Abdullah bin Saba’ sebagai gembong munafik, tidak berhenti menyebarkan fitnah. Sampai kemudian datanglah seorang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Diriwayatkan, ada seorang wanita khawarij yang dilamar oleh Abdullah bin Muljam. Wanita tersebut meminta mahar berupa kepala Sang Khalifah. Maka, ia bergegas untuk mengasah pedangnya selama 40 malam. Sebuah niat keji yang sudah direncanakan dengan sangat baik.

Ketika masa 40 hari itu telah selesai, tibalah malam prahara itu. Malam prahara yang kelak mengantarkan sang khalifah kepada kesyahidan. Malam itu adalah malam 17 Ramadhan.

Seperti biasanya, sang khalifah menghabiskan malam dalam ketaatan. Tahajud, dzikir dan muhasabah. Ketika fajar telah menyingsing, beliau keluar rumah. Ketika keluar rumah, beliau mendengar suara gaduh, kokok ayam yang tidak seperti biasanya. Lalu, dengan ketajaman basyirahnya, beliau berkata kepada ayam-ayam tersebut, “Sesungguhnya aku akan menjemput syahid.”

Seketika itu, ketika beliau baru keluar dari rahang pintu rumahnya, sebuah bacokan pedang menimpa tubuh kekar Sang Khalifah. Sebanyak tiga kali. Sehingga darah benar- benar membasahi sekujur tubuh beliau, sampai jenggot beliaupun berwarana merah karena darah yang membasahi.

Para sahabatpun bergegas menuju kegaduhan itu, maka di amankanlah Sang Khalifah menuju rumahnya, sementara sang pembunuh keji itu diringkus. Ketika melihat jenggotnya bersimbah darah, Ali tersenyum sambil berkata, “ Wahai Nabi, janjimu sungguh benar.” Ia mengatakan itu karena teringat dengan sabda nabi ketika Nabi masih hidup.

Maka, dihadapkanlah sang pembunuh kepada Ali. Dengan suara kejamnya, sang pembunuh berkata, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari untuk membunuhmu. Dan aku benar-banar telah melakukannya.” Dengan senyum khasnya, sambil menahan sakit karena tebasan pedang, Ali menjawab santai, “ Sesungguhnya, pedang itu tidak membunuhku. Karena kematianku bukan lantaran bacokan pedangmu. Pedang yang telah kau asah itu akan membunuh pengasahnya sendiri.”

Ali-pun berkata kepada para sahabat yang hadir,” Jika Aku hidup setelah kejadian ini, maka biarkan dia – Abdullah bin muljam – hidup. Namun, jika Aku mati, maka qishashlah ia dengan pedangnya sendiri.”

Dua hari setelah malam prahara itu, Ali terbang. Beliau menemui tiga kekasihnya yang telah lama mendahuluinya : Rasulullah, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan.

Ali, adalah pribadi Agung. Ia adalah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali adalah menantu Nabi. Bahkan, ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman melamar Fathimah-anak Nabi-, beliau menolak ke-tiganya karena Nabi ingin menikahkan Fathimah dengan Ali. Nabi adalah gudang ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbang untuk memasuki gudang tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda, “ Siapa yang memusuhi Ali, maka ia telah memusuhiku. Dan barangsiapa mencintai Ali, maka ia mencintaiku juga.”

Dalam perjalanan kehidupan berislam, kita mendapati dua golongan yang bertolak belakang dalam menyikapi Ali. Ada yang mengagungkan secara membabi buta, golongan ini adalah Syi’ah. Adapula golongan yang sangat membenci Ali yaitu Khawarij. Maka, yang terbaik adalah golongan Ahlussunah Wa Jama’ah. Yang menempatkan Ali sesuai kapasitasnya. Sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah ke-empat umat ini dengan segala kelebihannya juga kekurangannya sebagai manusia biasa.

Ali telah pergi dengan segala kemuliaannya. Semoga kita diberi kemudahan dalam meneladaninya, semoga kita bisa menapaki jejak kebaikannya. Semampu kita.

Semoga Kita bisa menjemput maut dalam keadaan terbaik sebagai syuhada’. Bagaimanapun caranya, terserah Allah saja.
Amiitna ‘alaa syahadti fii sabilik, Innaka ni’mal maula wa ni’man nashiir. Matikan kami dalam syahid di jalanMu. Engkaulah Maha Pelindung dan Maha Pembela.

Oleh: Usman Alfarisi, Depok.
FacebookBlog