Tercelanya Bid’ah dalam Tinjauan Akal

Tidak dapat disembunyikan bahwa bid’ah ditinjau dari gambarannya membuat orang yang berakal mengetahui tentang tercelanya hal tersebut, sebab mengikutinya berarti keluar dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kegelapan. Sedangkan penjelasan tentang perihal tersebut dapat dilihat dari segi tinjauan akal dan dari dalil-dalil syariat secara umum.

Adapun dari tinjauan akal, terbagi menjadi beberapa segi, yaitu:

Pertama

Berdasarkan hasil penelitian dan pengetahuan yang berjalan di alam raya, sejak terciptanya dunia sampai hari ini, sesungguhnya akal manusia tidak berdiri sendiri menurut kepentingannya masing-masing, namun terpengaruh oleh hal-hal yang masuk ke dalamnya, yang dapat merusaknya atau justru melindunginya. Hal itu karena akal selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi.

Adapun yang berkenaan dengan duniawi, tidak dapat diketahui secara terperinci; baik berkenaan dengan penciptaannya pertama kali atau sesuatu yang mempengaruhinya sejak awal perjalanannya, maupun yang berkenaan dengan perkara-perkara yang ada sebelum atau sesudah munculnya dunia, sebab penciptaan pertama kali adalah dari Allah Ta’ala.

Ketika Nabi Adam ‘Alaihis Salam diturunkan ke muka bumi, ia mampu mengetahui cara memenuhi kebutuhan hidupnya meski sebelumnya ia tidak mengetahuinya, kecuali berdasarkan perkataan orang yang mengatakan bahwa yang demikian itu termasuk dalam kandungan firman Allah Ta ‘ala, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” (Qs. Al Baqarah [2] -. 31). Saat itu terjadi pengajaran yang bukan secara akal, kemudian anak-cucunya mewariskan yang demikian itu secara utuh. Namun akal -semakin lama- menjadi bercabang-cabang, masing-masing berdiri sendiri dan seakan-akan terpisah dari dasarnya.

Pengaruh-pengaruh lalu masuk ke dalam dasar-dasar pemikiran tersebut sesuai dengan yang timbul dan nampak pada masa perkembangannya, meski kemaslahatan-kemaslahatan masa perkembangan tersebut tidak stabil akibat adanya fitnah dan kekacauan serta timbulnya sisi-sisi yang negatif (merusak). Seandainya bukan karena kasih sayang Allah, dengan cara mengirim dan mengutus para nabi, kehidupan mereka tidak akan stabil dan berjalan sesuai dengan kemaslahatan-kemaslahatan yang mereka harapkan. Semua ini telah menjadi pengetahuan dalam sejarah orang-orang terdahulu dan yang akan datang.

Adapun kemaslahatan-kemaslahatan ukhrawi, lebih rumit daripada kemaslahatan-kemaslahatan dunia, yang bisa dicerna jika dilihat dari sisi sebab-sebabnya, masalah ibadah misalnya, akal tidak dapat menjangkaunya secara umum, apalagi mengetahuinya secara terperinci. Begitu juga dengan gambaran tentang hari akhirat dan kepastian tentang kedatangannya, hanya dapat diketahui oleh akal sebatas imajinasi.

Orang-orang yang mempunyai dalil sebaiknya imannya tidak tergoyahkan oleh kesimpulan para filsuf, yaitu bahwa keadaan akhirat dapat diketahui dengan hanya menggunakan akal sebelum merujuk pada syariat. Pendapat mereka dalam masalah tersebut, yang diucapkan dengan lisan, pada kenyataannya berbeda dengan yang ada di dalam diri mereka, karena aturan-aturan syariat memang tidak dapat diketahui oleh bani Adam kecuali berdasarkan informasi oleh para utusan Allah yang jumlah mereka sangat banyak sejak Nabi Adam ‘Alaihis Salam hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Jika syariat hendak diajarkan, maka Allah mengutus seorang nabi di antara para nabi-Nya (yang wajib diimani) untuk menjelaskan tujuan penciptaan mereka, yaitu hanya beribadah kepada Allah, maka sudah pasti tersisa dari syariat yang telah diwajibkan itu —antara waktu penerimaannya untuk dipelajari dan hingga diturunkannya syariat setelahnya— sebagian dasar-dasar yang telah diketahui.

Para filsuf kemudian datang mengambil dasar-dasar tersebut dan mempelajari semuanya atau sebagian saja, lalu berusaha menjabarkannya sesuai kemampuan akal mereka; kemudian menjadikan hal tersebut sebagai hukum akal; bukan hukum syara’. Padahal perkara tersebut bukanlah seperti yang mereka gambarkan.

Sesungguhnya akal sama sekali tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya ushul, tetapi berdiri di atas dasar-dasar yang telah ada sebelumnya dan yang mutlak kebenarannya, yaitu waktunya.

Kesimpulannya, akal tidak mampu mengetahui kemaslahatan apa pun tanpa adanya wahyu. Oleh karena itu, perbuatan bid’ah sangat bertentangan dengan dasar-dasar tersebut, karena bid’ah sama sekali tidak mempunyai sandaran syariat dan yang tersisa hanyalah hal-hal yang berasal dari akal para pembuatnya. Para pelaku bid’ah juga tidak yakin sedikit pun bahwa perbuatan mereka akan mendapatkan pahala. Oleh karena itu, bid’ah adalah sesuatu yang sia-sia.

Ada yang pendapat bahwa orang yang melakukan bid’ah secara nyata tidak meyakini perbuatannya, karena pada saat itu ia hanya menjalankan perintah dari seseorang. Pada kondisi demikian, akal jauh dari konsep ini, sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul. Jadi, hendaklah kamu harus menjauhkan satu ajaran yang dipraktekkan oleh pemeluknya dengan kesungguhan tanpa ada keyakinan kepada dirinya, untuk kemudian melemparkan sesuatu yang lebih meyakinkan dari tangannya.

Kedua

Syariat datang secara sempurna dan tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, sesuai firman-Nya, ” Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al MaaMdah [5]: 3).

Dalam hadits riwayat Al Irbadh bin Syariyah dijelaskan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menasihati kami dengan nasihat yang dapat mencucurkan air mata dan menggetarkan hati. Kami pun berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau amanatkan kepada kami?’ Beliau bersabda, ‘Aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran yang putih, yang malamnya bagaikan siangnya, dan tidak ada seorangpun yang ragu atasnya setelahku kecuali orang yang celaka. Barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, niscaya akan mendapatkan perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegang teguh pada hal-hal yang kalian ketahui dan Sunnahku dan Sunnah orang-orang yang mendapatkan petunjuk setelahku’.”(Al Hadits)[1]

Telah menjadi ketetapan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia setelah menjelaskan semua hal yang dibutuhkan (oleh umatnya); baik dalam hal agama maupun dunia. Tidak ada perselisihan dalam hal ini bagi mereka yang mengikuti Ahlus-Sunnah.

Jika demikian kondisinya, maka pelaku bid’ah seakan berpendapat —baik secara tersirat maupun tersurat— bahwa syariat belum sempurna dan masih tersisa beberapa perkara yang harus atau selayaknya diketahui. Mengapa demikian? Sebab jika pelaku bid’ah meyakini kesempurnaan syariat dan keutuhannya dan semua segi, maka ia tidak akan berbuat bid’ah serta tidak memperkenankan orang lain melakukannya. Jadi, orang yang berpendapat demikian adalah telah keluar dan jalan yang lurus.

Ibnu Al Majisyun berkata, “Aku mendengar Malik mengatakan bahwa barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang dianggap baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berkhianat kepada risalah, karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukkamu agamamu’. Apabila pada saat itu tidak ada agama, maka hari ini pun tidak ada agama selain agama Islam.”

Ketiga

Orang yang berbuat bid’ah telah membangkang terhadap syariat dan mendatangkan kesulitan baginya —untuk mempelajari dan mengamalkan—, karena pembuat syariat telah menetapkan ketentuan-ketentuan bagi setiap hamba dari jalur yang khusus dan pada sisi-sisi yang khusus pula. Pembatasnya hanya berbentuk perintah dan larangan, pahala dan siksa, serta pemberitahuan bahwa kebaikan adalah ketika mengikuti syariat dan keburukan adalah ketika melampaui batas. Allah Maha Mengetahui dan kita tidak mengetahui. Dia telah mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rahmat untuk alam semesta. Orang yang membuat bid’ah telah menolak semua perkara tersebut dan menyangka masih ada jalan-jalan lain yang tidak dibatasi oleh syariat dengan batasan dan ketentuan tertentu. Ia menyangka bahwa dirinya mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh Pembuat Syariat.

Jika demikian yang dimaksud oleh pembuat bid’ah maka, ia dianggap ingkar terhadap syariat dan pembuatnya. Namun apabila tidak demikian maksudnya maka ia dalam kesesatan yang nyata.

Seperti ini juga yang telah ditulis Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah (tatkala Addi bin Arthah menulis surat kepadanya, yang berisi pertanyaan tentang pengikut Qadariyyah):

“Amma ba’du, sesungguhnya saya berpesan kepadamu agar bertakwa kepada Allah dan berhati-hati dalam melaksanakan perintah-Nya dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya. Tinggalkanlah sesuatu yang dibuat-buat (bid’ah) dalam agama tatkala semua berjalan sesuai dengan Sunnah Nabi-Nya dan telah cukup pertolongan-Nya.

Berpegang teguhlah pada Sunnah, karena Sunnah telah diejawantahkan oleh orang yang mengetahui bahwa menyelisihi Sunnah adalah suatu tindakan yang keliru, bodoh, dan pandir. Relakanlah dirimu terhadap hal-hal yang diridhai oleh suatu kaum untuk diri mereka sendiri, sebab mereka berada dalam posisi seperti yang telah disepakati; dan merasa cukuplah dengan orang yang memiliki ketelitian yang sempurna, sebab mereka lebih mengetahui penyingkapan banyak hal, dan (dengan anugerah Allah) mereka lebih berhak untuk mendapatkannya. Apabila kamu berkata, “Tidaklah ia membuat perkara baru setelah mereka, kecuali orang yang mengikuti selain Sunnah mereka dan ia membenci mereka, padahal mereka adalah pendahulu baginya dan mereka dengan sangat cukup telah menerangkan agama serta menyifatinya hingga dapat melegakan dada, sebab mengurangi ajaran adalah bentuk peremehan, sedangkan menambah ajaran adalah bentuk perbuatan yang berlebihan-lebihan. Namun orang-orang yang datang belakangan telah menguranginya secara berlebih-lebihan, walaupun mereka tetap dalam petunjuk.”

Ia kemudian mengakhiri isi suratnya dengan keputusan hukum. Ia berkata, “Hal itu karena Sunnah telah diejawantahkan oleh orang yang mengetahui bahwa dalam menyelisihinya….” Inilah maksud dari kesaksian.

Keempat

Orang yang membuat bid’ah telah memposisikan dirinya sama dengan Pembuat syariat, karena Pembuat syariat menentukan syariat dan mewajibkan bagi makhluk untuk berjalan di atas Sunnah-sunnah-Nya. Dengan demikian hanya Dia yang berhak atas hal tersebut, sebab Dia yang menentukan hukum di antara makhluk atas apa yang mereka perselisihkan. Jika tidak demikian, berarti ketentuan syariat itu atas sepengetahuan makhluk, dan jika benar demikian maka hukum-hukum syariat tidak akan diturunkan dan tidak akan ada perselisihan di antara manusia dan pasti tidak ada kebutuhan untuk mengutus utusan kepada manusia.

Kelima

Mengikuti syahwat. Karena, jika akal tidak mengikuti syariat, maka tidak ada lagi yang diikutinya selain hawa nafsu dan syahwat, dan Anda tahu bahwa mengikuti syahwat adalah kesesatan yang nyata, sesuai dengan firman Allah Ta ala, “HaiDaud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan.” (Qs. Shaad [38]: 26).

Jadi, semua hukum hanya dibatasi oleh dua perkara, yaitu kebenaran dan hawa nafsu. Dalam hal ini, akal tidak memiliki bagian, kecuali pada kedua hal tersebut terdapat masalah. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta mengikuti hawa nafsunya.” (Qs. Al Kahfi [18]: 28). Dengan demikian, satu perkara dibatasi oleh dua perkara, yaitu mengikuti dzikir atau mengikuti hawa nafsu. Dia berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah?’ (Qs. Al Qashash [28]: 50)

Ayat tersebut sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka cobalah untuk memahaminya secara saksama. Ayat tersebut menerangkan dengan jelas bahwa orang yang tidak mengikutsertakan petunjuk Allah pada hawa nafsunya adalah orang yang paling sesat, dan tidak ada seorang pun yang lebih sssat dari dirinya.

Begitulah keadaan pembuat bid’ah, ia telah mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, dan petunjuk dalam hal ini adalah Al Qur’an.

Sesungguhnya semua hal yang telah diterangkan oleh syariat dan ayat Al Qur’an, tentang mengikuti hawa nafsu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Hawa nafsu mengikuti perintah dan larangan. Hal itu akan membuat pelakunya tidak tersesat dan tercela, sebab ia lebih mengedepankan petunjuk yang menerangi jalan bagi hawa nafsunya. Seperti inilah kondisi seorang mukmin yang bertakwa.

2. Hawa nafsu menjadi tujuan utama, sedangkan perintah dan larangan hanya mengikutinya. Padahal, ia mengikuti atau tidak, posisinya tetap tercela.

Memang, pelaku bid’ah lebih mengedepankan hawa nafsunya daripada petunjuk Allah, sehingga ia menjadi manusia yang paling sesat, walaupun ia mengira dirinya berjalan di atas petunjuk.

Telah tampak di sini sebuah pengertian yang harus diperhatikan secara saksama, yaitu bahwa ayat tersebut menerangkan tentang dua jalan dalam mengikuti hukum-hukum agama, yaitu:

1. Syariat

Tidak diragukan lagi bahwa ia adalah ilmu, kebenaran dan petunjuk.

2. Hawa nafsu

Bagian ini sangat tercela, karena disebutkan di dalam Al Qur’an kecuali dengan pemyataan-pemyataan yang menunjukkan celaan serta tidak menjadikannya sebagai jalan ketiga. Orang yang meneliti ayat-ayat Al Qur’an secara terus-menerus pasti akan menemukan hal tersebut seperti adanya.

Adapun ilmu yang dijadikan sanggahan dan kebenaran yang diterima adalah Al Qur’ an serta apa-apa yang diturunkan dari Allah, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, ‘Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, atau yang ada dalam kandungan dua betinanya?’ Terangkan/ah kepadaku dengan berdasarkan pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar?’ (Qs. Al An’aam [6]: 143)

“Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” (Qs. Al An’aam [6]: 144)

Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Qs. Al An’am [6]: 140)

Semua itu karena mengikuti hawa nafsu daripada mengikuti petunjuk Allah, sebagaimana firman-Nya,” Allah sekali-kali tidak pernah sekali-kali mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir rmembuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Qs. Al Maa’idah [5]: 103)

Mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan syariat pada hakikatnya adalah tindakan mendustakan Allah, seperti dalam firman-Nya, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat?” (Qs. Al Jaatsiyah [45]: 23). Maksudnya adalah tidak dapat memberi petunjuk sedikit pun selain Allah. Adapun datangnya petunjuk itu itu dengan syariat, bukan dengan selainnya.

Jika yang seperti ini telah menjadi ketetapan dan suatu perkara berada di antara syariat dengan hawa nafsu, maka kaidah hukum akal yang berdiri sendiri akan goncang, sebab dalam hal ini akal sepenuhnya berada di bawah pengawasan hawa nafsu. Dengan demikian, ia hanya mengikuti hawa nafsu dalam menentukan hukum.

Sesungguhnya, jika pemiliki akal tergelincir karena bid’ah yang dibuatnya sendiri, maka mereka tergelincir hanya dari sisi turunnya perintah {wurudul khithab) dan tasyri’, karena itu semua terjadi sebelum diutusnya para rasul. Yang saya maksudkan adalah ketika ada kesalahan dalam pensyariatan dan penggunaan akal, hingga diutusnya para rasul. Setdah itu, tidak ada lagi alasan untuk memaklumi kesalahan, “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (Qs. An-Nisaa” [4]: 165) Hanya milik Allah argumentasi yang benar.

Kaidah-kaidah tersebut sudah selayaknya ada dalam hati seorang peneliti dalam permasalahan ini. Meski ini adalah permasalahan dalam ushul. Namun hal ini adalah rincian-rincian yang diambil dari kitab Allah.

Imam Asy Syathibi

________________

 

[1] Hadits ini ditulis oleh An-Nawawi di dalam hadits Arba’in yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih.” Lafazhnya adalah, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menasihati kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan kedua mata mengeluarkan air mata, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan, maka wasiatkanlah kami!’ Beliau bersabda, ‘Aku mewasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah lalu tunduk dan taat kepada pemimpin meski yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya, karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan mendapatkan perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, berpegang teguhlah dengan Sunnahku dan Sunnah khulafa’ urrasyidin setelahku. Genggamlah erat-erat (Sunnah tersebut) dan berhati-hatilah dengan perkara yang baru (bid’ah), karena setiap yang bid’ah adalah sesat’.”