Shalat Tahiyatul Masjid antara Wajib dan Sunnah

Kalau dilihat dari zahir teks hadits-nya, shalat Tahiyatul-Masjid bisa dihukumi sebagai kewajiban:

[arabtext]إِذَا دَخَل أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ[/arabtext]

”Bila salah seorang dari kalian masuk ke dalam masjid, janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadits ada larangan yang jelas dan tidak bias, dan kaidahnya; “setiap larangan berarti keharaman”. Kalau begitu, maka shalat tahiyat al-Masjid ini hukumnya wajib, karena duduk tanpa shalat ketiak masuk masjid adalah terlarang, berdosa.

Akan tetapi, Jumhur ulama menghukumi shalat tahiyatul-masjid sebagai bagian dari shalat-shalat sunnah yang tidak ada dosa bagi mereka yang tidak mengerjakannya, jadi shalat tahitaul-masjid itu bukan sebuah kewajiban, dan tidak ada yang menyelisih ini. bahkan Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ (4/52) berani mengatakan bahwa sunnahnya shalat tahiyatul itu meruakan Ijma’ (konsesus) seluruh muslim di jagad raya.

Jumhur ulama melihat bahwa perintah shalat tahiyat ketika masuk masjid itu bukan sebuah kewajiban, akan tetapi levelnya turun 1 derajat ke “sunnah”. Dalam bahasa ushul disebut dengan “al-Sharif ‘an al-wujub’ [الصارف عن الوجوب] “Yang memalingkan dari kewajiban menjadi kesunahan”. Perintah, sejatinya berbuah kewajiban akan tetapi dipalingkan menjadi sebuah kesunahan dengan hadits lain, yaitu hadits dari sahabat Thalhah bin Ubaidillah yang termaktub dalam shahih al-bukhari dan Muslim;

Dari Thalhah bin Ubaidillah r.a. seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam … ia bertanya tentang apa yang Allah wajibkan dari shalat dalam sehari semalam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “5 shalat fardhu dalam sehari semalam!”, ia bertanya: “Apa ada kewajiban selain itu?”, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak! kecuali jika kau mau (menambahkan) yang sunnah (tathawwu’)”…

Hadits ini juga membicarakan tentang kewajiban puasa yang hanya Ramadhan dan zakat juga, kemudian di penghujung hadits sahabat yang bertanya yang diketahui bernama Dhimam bin Tsa’labah ini mengatakan:

[arabtext]وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ[/arabtext]

“Demi Allah, saya tidak akan menambahkan selain apa yang Allah wajibkan dan saya tidak akan menguranginya.”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menambahkan:

[arabtextأَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ][/arabtext]

“(Dia) beruntung jika ia benar (tidak menambah dan tidak mengurangin yang telah diwajibkan) atau ia masuk surga jika ia benar”. (Muttafaq ’alayh)

Berarti memang kewajiban shalat itu hanya 5 waktu (dengan hadits ini) karena di penghujung hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan adanya keselamatan dan halalnya surga baginya, dengan hanya shalat 5 waktu itu.

Imam al-Syaukani: Tahiyatul-Masjid Wajib!

Dalam kitabnya Nail al-Authar Bab tahiyat al-masjid, Imam al-Syaukani justru menampik adanya Ijma’ dalam kesunahan shalat tahiyatul masjid, beliau mengatakan tidak semua mensepakati itu. Beberapa ulama –beliau menuturkan- mewajibkan shalat tahiyatul-masjid, seperti al-Qadhi ‘Iyadh dan juga Imam Daud al-Dzahiri dan termasuk juga beliau (Imam al-Syaukani) yang lebih sepakat kalau tahiyatul masjid itu wajib hukumnya.

Beliau juga mengatakan bahwa hadits Dhimam bin Tsa’labah tidak bisa diartikan bahwa kewajiban shalat hanya 5 waktu. Memang kewajiban awal (ibtida’an) itu 5 waktu, hanya saja ada kewajiban-kewajiban lain yang menempel kepada seorang muslim ketika ia melakukan sesuatu, salah satunya ialah masuk masjid.

Jadi wajibnya tahiyat itu karena masuk masjid sebagaimana teks hadits. Beliau (Imam al-Syaukani) juga mencontohkan shalat-shalat lain yang statusnya wajib selain shalat wajib yang 5; yaitu shalat jumat, wajib karena masuk haru jumat. Shalat jenazah (fardhu kifayah), wajib karena ada mayat. Shalat thawaf yang wajib karena thawaf.

Kemudian, wajibnya shalat tahiyatul masjid juga diperkuat dengan hadits masyur tentang sahabat Sulaik al-Ghatafani yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan untuk shalat 2 rakaat ketika masuk masjid, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang di atas mimbar:

[arabtext]جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُول اللَّهِ ( يَخْطُبُ فَقَال : يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا[/arabtext]

Sulaik Al-Ghthafani radhiyallahuanhu masuk ke dalam masjid ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Berdirilah kamu wahai Sulaik, lakukan shalat dua rakaat dan tunaikanlah keduanya dengan ringan. (HR. Muslim)

Wallahu a’lam

Ustadz Zarkasih Ahmad, Lc.