Sekolah Rakyat di Barat Pulau Jawa

“Kekuasaan Kaum – Modal Berdiri di atas didikan yang berdasarkan kemodalan. Kekuasaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.” inilah kalimat yang menjadi ruh Sekolah Rakyat yang didirikan oleh Tan Malaka. Tetapi kali ini kita tidak akan berbicara mengenai sekolah rakyat Tan Malaka, melainkan sekumpulan bocah yang sedang asik belajar di gang–gang kecil kota Serang. Pengalaman di kota Serang memberi inspirasi bahwa pendidikan haruslah menciptakan siswa yang terdidik dan mendidik sehingga ilmu itu tidak akan pernah berhenti mengalir dari satu orang ke orang yang lain.

Kiki seorang siswa kelas 6 asyik memberi pelajaran  kepada tetangganya yang jauh lebih kecil dibandingkan ia. Ini memang terlihat simpel, kelas yang lebih tinggi memberi pelajaran kepada anak yang kelasnya lebih rendah. Antusiasme untuk belajar terpancar pada setiap anak yang menerima tutorial dari Kiki, dan yang lebih hebat lagi, kegiatan ini senantiasa mereka lakukan saat libur sekolah. Kegiatan tutorial ini bagaikan sebuah permainan yang seru untuk dilakukan. Tidak ada raut muka jenuh pada diri anak–anak itu, yang ada hanyalah wajah–wajah gembira yang menikmati setiap pelajaran yang mereka diskusikan. Tentu kegiatan ini akan mengembangkan sikap leadership terhadap anak–anak indonesia.

Saya membayangkan anak–anak bangsa di sekolah–sekolah mewah Jakarta. Mereka semakin jenuh dan malas untuk sekolah. Sepertinya ada yang salah dengan pendidikan kita. Semakin tinggi tingkat kelas mereka, semakin jenuh mereka untuk belajar. Hal ini sungguh kontras dengan semangat belajar anak–anak di gang kecil itu.

Tutorial yang dilakukan Kiki dan teman–temanya mengingatkan saya kepada selembaran tipis tentang pendidikan Indonesia. Sselembaran itu menjelaskan Sekolah Rakyatnya Tan Malaka. Pada sekolah rakyat terdapat dua jenjang pendidikan, onderbouw (sekolah rendah) middenbouw (sekolah tengah). Pada middenbouw diberlakukan beberapa peraturan yang mengharuskan siswa memberikan pengajaran di onderbouw.

Sebab itulah kita sendiri pula mesti menanam guru buat SI school itu (sekolah tengah). Pekerjaan ini sudah kita mulai, jadi tidak tinggal dalam pikiran saja lagi. Setiap sore (sementara ini baru 3 x satu minggu saja) di kantor SI diadakan kursus mengajar murid-murid SI yang kelas V, VI, dan VII (jadi murid-murid yang berumur dari 15 tahun ke atas) menjadi guru. Murid-murid itu biasanya kebetulan keluaran sekolah kelas II, jadi sudah menerima pengajaran dalam berbagai-bagai kepandaian. Dalam kepandaian yang tersebut dan dalam bahasa Belanda mereka tiap-tiap pagi dari pukul 8–1 dapat pelajaran. Sebab ia keluaran kelas II tadi, maka ia biasanya lekas sudah berhitung, menulis dan sebagainya. Jika ia sudah, maka ia segera disuruh menolong mengajar di kelas rendah SI school yakni pada anak-anak yang baru masuk sekolah. Jadi murid-murid yang besar-besar tadi tiap-tiap hari boleh belajar mendidik, tidak dalam teori saja, malah juga dalam praktek.

Apa yang dilakukan Kiki dan teman–teman kurang lebih sama dengan apa yang di lakukan Tan Malaka dengan sekolah rakyatnya. Ilmu yang mereka dapat di sekolah langsung mereka gunakan untuk mengajarkanya kepda orang lain. Pola belajar ini sangatlah efektif, jadi kegiatan belajar tidaklah hanya sekedar mengingat suatu pelajaran, namun langsung mempraktikan ilmu itu dilapangan.

Orang besar melakukan hal-hal kecil, dan itulah yang menunjukkan kebesarannya. Orang besar selalu mengalahkan keinginan-keinginan nafsunya ketika baru berupa percikan. Orang Besar tidak mengejar kebesaran nama, kedudukan, gelar, dan kekayaan. Orang Besar senantiasa memberikan sesuatu dari keterbatasanya.

Oleh: Muhamad Ihsan, Bekasi
Facebook
 – Blog