Sejarah dan Otoritas Islam di Nusantara (3)

Jawa, pasca tewasnya Sultan Trenggono dalam ekspedisi Demak menundukkan Jawa Timur sesudah elit Majapahit menjalin persekutuan dengan Portugis, konsentrasi kekuatan Islam di Jawa kemudian mengerucut di antara Banten, Jepara dan Giri (Gresik); dimana masing-masing dari ketiga kekuatan tersebut juga memiliki persoalan di dalam teritorinya masing-masing.

Ketika Jepara masih bisa melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka dan Maluku, di Jawa barat, Banten masih harus menghadapi Pajajaran yang telah menjalin persekutuan dengan Portugis. Sedangkan di Jawa timur, selain mesti menjadi arbriter atas perseteruan yang pecah antara Pajang –kemudian juga Mataram— dengan Surabaya (yang memimpin para adipati di Jawa timur), Giri juga harus melakukan ekspedisi ke Bali dan Nusa Tenggara guna mencegah Portugis dari Maluku masuk lebih ke selatan. Sebab, di masa itu Portugis telah berhasil menarik Ternate ke dalam pengaruhnya melalui peran sejumlah elit istana, sehingga Sultan Ternate harus menunggu dukungan dari luar (Jepara dan Hitu) sebelum akhirnya ia berhasil membersihkan monopoli Portugis dari Maluku.

Sementara itu, di seberang semenanjung Malaka, Aceh mulai muncul dan menunjukkan supremasinya berkat dukungan militer dan teknologi persenjataan dari Turki sehingga Portugis kesulitan untuk masuk lebih jauh ke Laut Jawa ataupun pantai barat Sumatera. Dimana, dalam jangka waktu yang panjang, hal ini turut pula memberi jalan bagi pesatnya perniagaan di Selat Sunda.

Kebanyakan pedagang-pedagang muslim dari belahan timur Nusantara segera mengalihkan jalur pelayaran dan langsung memusatkannya perniagaan ke Jepara, Banten, Aceh, atau Johor. Dengan demikian, langkah strategis untuk mengunci dan memonopoli perdagangan di Nusantara yang dulunya dilakukan oleh Portugis melalui pendudukan atas Malaka seolah menjadi sia-sia. Bahkan, untuk mendapatkan rempah-rempah Maluku, Portugis “terpaksa” merintis jalur baru melalui perairan di utara Pulau Kalimantan. Selain karena waktu tempuh yang lebih cepat, hal ini dilakukan untuk menjaga pasokan dagang Portugis dari gangguan kapal-kapal Aceh dan Jepara, yang mendominasi di sepanjang Laut Jawa hingga ke Selat Malaka.

Akan tetapi, di antara segala kepungan yang mengancam Portugis di Malaka, perkembangan kekuatan Aceh justru terbentur oleh Johor yang menjadi faktor “X” dan sangat menolong nasib Portugis di dunia Timur. Johor, yang merupakan keturunan dari Kesultanan Malaka, tidak membiarkan Malaka jatuh selain ke tangannya. Walaupun, baik Aceh maupun Johor, sama meminta pula bantuan dari Jawa (Demak/Jepara) untuk mengusir Portugis di Malaka.

Dan di luar itu semua, selain kehadiran Portugis di Nusantara, yang cukup “menarik” adalah kedatangan kapal Victoria milik Spanyol di tahun 1521 yang secara tidak sengaja tiba di kepulauan Maluku dan turut mendapatkan keuntungan –mencapai lebih dari 2500 persen– melalui perdagangan rempah-rempah, terutama dari komoditi cengkeh dan pala yang hanya dihasilkan dari Maluku. Maka, selain karena monopolinya yang terancam, Portugis juga berang lantaran Spanyol telah melanggar perjanjian pembagian kawasan pengaruh (“sphere of eventual interests”) yang dibuat di Todersillas pada tahun 1494.

Spanyol, meskipun telah mendapat kecaman keras dari Portugis, tetap mengirim armada lagi yang terdiri dari 7 kapal guna menembus ke dunia Timur; dimana hanya dua kapal yang berhasil sampai setelah satu kapal terdampar di Mindanao dan yang lainnya mendarat di Tidore. Kedatangan kapal Spanyol di Tidore pun disambut baik oleh Sultan, yakni dengan maksud dijadikan alat penekan bagi Ternate yang menjadi saingannya dan telah jatuh kedalam pengaruh Portugis.

Sementara itu, di Eropa, Paus segera memprakarsai diadakannya perjanjian Zaragosa (22 April 1529) yang menjadi penegas lanjutan dari perjanjian Tordesillas. Hal ini dilakukan untuk meredam adanya persaingan yang berujung pada peperangan terbuka antara Portugis dengan Spanyol di Maluku.

Sedangkan, di Jawa, konstelasi kekuatan Islam berangsur-angsur mulai mengalami perubahan total ketika memasuki babak-babak perkembangan selanjutnya. Sesudah berhasil mengambil kekuasaan dari Pajang, Mataram tampil konfrontatif terhadap Surabaya, Giri, Jepara, dan Banten. Pada masa ini kekuatan Islam pun terpecah antara Jawa di pesisir utara dan pedalaman (selatan). Dan, begitu kedudukannya dapat tegak di Jawa, Mataram segera melancarkan strategi hegemoninya dengan hanya memfokuskan orientasi militer maupun basis perekonomian masyarakat Jawa ke darat. Demikian akhirnya, puncak keemasan Mataram pada akhirnya juga menjadi halaman penutup bagi supremasi pelaut-pelaut Jawa di dunia.[]wwd.

 

Oleh: Dwipa Aksara
http://dwipaaksara.wordpress.com