Sejarah dan Otoritas Islam di Nusantara (2)

Setelah lama kehilangan khilafah besarnya akibat serbuan Tamerlane ke Baghdad, tentunya kesuksesan Reconquista dalam menjatuhkan muslim Andalusia pada akhirnya juga memunculkan kekhawatiran baru bagi wilayah-wilayah Islam yang lain. Pasca keberhasilan Reconquista, Perjanjian Tordesillas yang disetujui pada 7 Juni 1494 oleh Portugis dan Spanyol secara angkuh telah membagi dunia di luar Eropa ke dalam lingkup kepentingan yang sama, yang dilakukan persis seperti membelah jeruk. Garis Tordesillas membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verde di sebelah Barat benua Afrika. Ke barat untuk Spanyol dan ke timur untuk Portugis. Perjanjian diantara dua kerajaan tersebut juga berjalan atas restu dari Paus dengan dikeluarkannya dekrit berjudulInter caetera Devinae, yang berarti “Keputusan Ilahi”. Maka, Perjanjian Tordesillas yang direstui oleh Paus dengan sendirinya mencetuskan lagi ekspedisi besar Perang Salib, dimana kali ini akan dilancarkan oleh Portugis dan Spanyol ke seluruh samudera di dunia. Dan, untuk kepentingan itu, secara gencar Portugis dan Spanyol mengirimkan serangkaian ekspedisi ke barat dan timur bumi.

Tahun 1488, orang Portugis, Bartolomeus Dias, berhasil melakukan ekspedisi hingga sampai dan mengitari Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika dan kembali ke Portugis. Tahun 1492, Colombus menemukan benua Amerika, dan dimulailah penjajahan terhadap suku Indian. Tahun 1500, Pedro Alvares Cabral, pelaut Portugis, menemukan rute perjalanan ke Brazil. Tahun 1497, Vasco da Gama memulai ekspedisi mencari rute jalur laut antara Eropa, India dan Timur Jauh, kemudian di tahun 1502, ia sudah berhasil membangun daerah koloni Portugis di Timur Afrika. Di awal abad ke-16, pelaut Portugis lainnya, Ferdinand Magellan, bahkan melakukan ekspedisi keliling bumi, konon untuk yang pertama kalinya(?).

Setelah adanya “Keputusan Ilahi” mereka berambisi untuk merebut kekuasaan atas jalur-jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang telah dikuasai selama ratusan tahun oleh orang-orang Hindu, Budha, dan Muslim. Di Afrika, Amerika dan Asia, pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol kemudian menjadi tangan-tangan kolonialis Barat yang pertama menancapkan kukunya. Di seluruh daratan yang berhasil dibukanya mereka tidak sekedar berniaga dan membangun hubungan multilateral seperti yang sebelumnya dilakukan oleh orang-orang Arab, India (Gujarat), Cina, dan lainnya. Selain dalam rangka memenangkan Perang Salib, hal tersebut tentunya juga dilakukan demi menjaga supremasi di kampung halamannya sendiri (Eropa) melalui kekayaan yang diperolehnya dari dunia baru, dalam hal ini adalah rempah-rempah dari Timur (Spice Island) sebagai komoditi unggulan.

Setelah berhasil membuat pangkalan di Goa (India), Portugis segera menaklukan Malaka dan membangun pengaruhnya di Samudera Pasai. Langkah ini diyakini akan berhasil mengunci jalur perdagangan yang melintas keluar-masuk dari Teluk Persia, Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Dan, oleh karena itu pula, tumbuhnya pilar-pilar baru kepemimpinan Islam di Timur seperti yang dibangun oleh Walisongo di pesisir utara Jawa –juga otoritas-otoritas Islam di wilayah lain, tentunya dapat dipahami berjalan dalam orientasi percaturan global. Tumbuhnya aliansi-aliansi muslim di Timur, dalam sisi lain, secara terang dapat dibaca sebagai “efek domino” dari kehancuran Baghdad (1258), keberhasilan Turki menaklukkan Konstantinopel (1453) yang mengakibatkan terputusnya jalur perdaganggan antara Lisbon dengan kawasan Laut Mediterania, kejatuhan Andalusia (1492), disepakatinya Perjanjian Tordesillas (1494), hingga pendudukan Portugis atas Malaka (1511).

Ramainya perdagangan dunia yang dijalankan dengan melintasi wilayah-wiayah Islam, serta adanya tradisi perjalanan haji, niscaya membuat berbagai peristiwa yang berlangsung di suatu daerah bisa dengan mudah tersiar dan memberikan pengaruh terhadap wilayah-wilayah di tempat lain. Prosesi wukuf di Padang Arafah sebagai salah satu rukun ibadah haji, dalam konteks ini, tak ubahnya acara korespondensi akbar “jurnalis” Islam seluruh dunia. Di samping juga, mata rantai budaya yang sudah terbentuk sekian lama tentunya mengakibatkan berita kehancuran suatu daerah, apalagi terjadi pada wilayah yang strategis, menjadi sangat berdampak terhadap stabilitas ekonomi maupun politik di daerah-daerah lain.

Maka, dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, kehadiran Putri Ong Tien ke Cirebon tentu juga bisa terbaca sebagai kisah dukungan penguasa-penguasa di Cina terhadap Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seorang Senopati Sarwajala yang di masa itu bertugas membangun armada gabungan Demak, Palembang, dan Cina; dalam rangka menggempur Portugis di Malaka. Demikian pula sesudah hilangnya Kesultanan Demak, poros aliansi untuk melancarkan serangan terhadap keududukan Portugis di Malaka maupun Maluku, tetap dibuka oleh Jepara bersama dengan Aceh, Ternate, Hitu, juga Johor.[]wwd.

 

Oleh: Dwipa Aksara
http://dwipaaksara.wordpress.com