Rok Mini

Beberapa waktu yang lalu, seluruh media massa dibikin gegap gempita dengan berita seputar rok mini. ‘Pertempuran’ terjadi di mana-mana, dari perang opini di surat kabar hingga merambah timeline di Twitter. Kedua kubu, baik yang pro maupun yang kontra rok mini, saling melempar argumennya.

Kekisruhan ini dimulai dari komentar beberapa pejabat pemerintahan yang mencela rok mini. Menurut mereka, menjamurnya rok mini adalah salah satu pemicu meningkatnya jumlah tindak pemerkosaan. Kalangan feminis pun meradang, menggugat balik, bahkan kemudian menggelar demo untuk membela rok mini sambil ramai-ramai mengenakan rok mini pula. Kata mereka, yang sepenuhnya bersalah adalah para pemerkosa, dan bukannya rok mini. Tidak ada yang boleh mengatur cara seorang perempuan berpakaian; tidak suaminya, tidak orang tuanya, tidak publik, tidak pemerintah, dan tidak pula ulama.

Perdebatan ini bagaikan menoreh di luka lama yang tak kunjung sembuh. Dari tahun ke tahun, perdebatan dengan kaum feminis seputar aurat memang tidak kunjung berkembang. Bagi kaum feminis, perempuan memang seolah tak punya andil dalam kerusakan moral masyarakat. Menurut mereka, para pemerkosa itulah yang harus dihukum keras sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek jera yang luar biasa.

Dalam hal ini, argumen kaum feminis nampak bertentangan dengan kaum sekularis-liberalis, meskipun biasanya mereka setali tiga uang. Jika mereka menghendaki hukuman yang keras dan menimbulkan efek jera, maka syariat Islam-lah solusi yang paling baik. Akan tetapi, tentu saja, segala solusi yang bersumber dari agama pasti ditolak mentah-mentah kaum sekuler, sebab pada hakikatnya sekularisme adalah ideologi yang antiagama.

Di antara kalangan feminis sendiri dikenal istilah ‘kriminalisasi perempuan’. Istilah “kriminalisasi” ini sendiri agaknya masih rancu, karena tidak menjelaskan nilai yang sebenarnya. Artinya, istilah ini sulit menjelaskan apakah yang dituduh kriminal itu memang benar-benar bersalah ataukah tuduhannya itu yang salah? Akan tetapi, nampaknya konotasi istilah ini memang menunjukkan keberpihakan pada yang dituduh. Dalam hal ini, kaum feminis memang menolak dipersalahkannya perempuan – dengan kadar kesalahan sekecil apa pun – dalam kaitannya dengan auratnya sendiri.

Jika sudah menyinggung tentang standar aurat, kaum liberalis niscaya sejalan dengan kaum feminis. Sebutlah, misalnya, Sumanto Al Qurtuby, yang begitu ‘berapi-api’ dalam pembelaannya terhadap seks dan bisnis seks. Bagi lulusan Fakultas Syariah IAIN Semarang ini, penis dan vagina itu tidak ada bedanya dengan organ-organ tubuh lainnya seperti mata, hidung dan telinga. Karena dosa dan kejahatan itu muncul disebabkan adanya noda di hati, maka apa yang diperbuat oleh organ-organ tubuh lainnya, termasuk organ kelamin, tidak bisa dihakimi ‘bersalah’. Oleh karena itu, menurut Sumanto, hubungan kelamin yang sukarela dan ‘demokratis’ itu sah-sah saja, meski tanpa melalui jalur pernikahan.

Sumanto bahkan membuat perbandingan yang lebih ‘hebat’ lagi, yaitu tentang seks sebagai alat mencari nafkah. Dalam pandangan Sumanto, semua orang ‘menjual sesuatu’ untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Dosen ‘menjual otak’, pengkhotbah ‘menjual mulut’, penyanyi dangdut ‘menjual pantat’ dan pengrajin ‘menjual tangan’; semuanya untuk mencari penghidupan. Maka, menurut logika Sumanto, apa salahnya para pelacur ‘menjual alat kelaminnya’ untuk mencari makan?

Pandangan Sumanto yang semacam ini telah mendapat tanggapan keras dari DR. Adian Husaini. Sudah barang tentu, jika kita mengikuti logika Sumanto yang membela seks bebas dan perdagangannya, maka rok mini pun jelas tidak bisa dipersalahkan. Untungnya, kita tidak berkewajiban mengikuti logika Sumanto, bahkan kita pun tidak bisa dipaksa untuk mengakui bahwa Sumanto telah menggunakan logikanya ketika menelurkan teori-teorinya. Namun wajarlah jika ada yang bertanya: apa yang telah ‘dijual’ Sumanto untuk mencari makan selama ini?

Kewajiban dan Fithrah

Seorang Muslim hendaknya memandang masalah ini – minimal – dari dua perspektif. Perspektif pertama adalah perspektif kewajiban manusia kepada Allah SWT. Dari sisi ini, maka status hukum rok mini sangatlah jelas. Sebagai pakaian yang mengungkap aurat perempuan, maka jelas rok mini bukanlah pakaian yang boleh digunakan di tempat-tempat umum. Seorang Muslim/Muslimah yang baik akan merasa cukup dengan perspektif yang pertama ini saja.

Penekanan pada perspektif pertama ini sangat penting karena perdebatan seputar rok mini seringkali berputar tak tentu arah sehingga keluar dari permasalahan yang sebenarnya. Kaum feminis, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, seringkali berkilah dengan mengatakan bahwa yang salah adalah hanya para pemerkosanya saja. Buktinya, kata mereka, yang pakaiannya serba tertutup saja ada juga yang diperkosa. Ini adalah pengalihan masalah. Jika seorang Muslim ditanya tentang rok mini, maka yang diulas adalah masalah rok mininya, bukan masalah kasus pemerkosaannya. Untuk kasus pemerkosaan, sikap Islam sangatlah jelas, bahkan hukumannya lebih keras daripada hukuman yang bisa diberikan oleh hukum sekuler. Tapi yang dibahas adalah masalah rok mini, dan rok mini adalah pakaian. Karena itu, pembahasannya adalah seputar hukum berpakaian, yang tentu saja melibatkan standar aurat. Adapun berkurangnya tingkat pemerkosaan adalah hikmah dari pakaian yang tertutup. Logika siapa pun pasti membenarkan bahwa perempuan yang auratnya lebih tertutup pasti lebih besar kemungkinannya untuk terhindar dari tindak pelecehan seksual.

Perspektif kedua adalah perspektif fithrah manusia; inilah perspektif yang mungkin kurang diulas secara mendalam selama ini. Bagi seorang Muslim, Islam bukan hanya tata aturan tingkah laku, melainkan suatu “diin” yang maknanya lebih luas daripada istilah “agama” itu sendiri. Salah satu makna “diin” itu adalah “fithrah”, dan karenanya, Islam disebut sebagai agama fithrah.

Karena Islam adalah fithrah bagi manusia, maka sikap pengabaian terhadapnya akan memicu terjadinya ketidakharmonisan. Artinya, meskipun memeluk Islam adalah suatu pilihan, namun sebenarnya fithrah manusia itu sendirilah yang tidak memberinya pilihan yang lain.

Akibat ‘memaksakan diri’ menolak ajaran Islam, maka terjadilah ketidakharmonisan dalam level masyarakat maupun level individu. Dengan kata lain, semua orang yang menolak ajaran Islam pada hakikatnya tengah menzalimi dirinya sendiri. Hal ini telah dipahami oleh setiap Muslim, baik yang menjalankannya maupun yang melalaikannya.

Orang-orang yang mengabaikan perintah agama (Islam) pada hakikatnya tengah menjerumuskan dirinya sendiri dalam kesusahan yang tidak semestinya, dan karena itu mereka pun menderita. Misalnya, Islam mengajarkan kewajiban shalat, maka shalat itulah fithrah bagi manusia. Jika manusia ‘memaksa diri’ untuk tidak shalat, pastilah dirinya sendiri yang pertama-tama akan merasakan kerugiannya. Islam juga menjadikan pernikahan sebagai fithrah, maka yang bersengaja tidak menikah pastilah menderita. Manusia dari berbagai latar belakang agama telah banyak yang memaksa diri untuk tidak menikah. Niscaya mereka pun menderita. Dengan logika yang sama, jika Islam memerintahkan ditutupnya aurat, maka setiap Muslim seharusnya meyakininya sebagai fithrah yang tak boleh diabaikan, karena pengabaiannya akan memicu suatu ketidakharmonisan.

Untuk memahami masalah ini, kita perlu membahas dengan jujur berbagai fithrah manusia. Islam tidak menampik kenyataan bahwa laki-laki memiliki ketertarikan kepada fisik perempuan. Ini adalah fithrah. Di sisi lain, kaum perempuan pun memiliki fithrah untuk berhias dan mempercantik dirinya sendiri. Kedua fithrah ini bukanlah konsep baru yang ditawarkan oleh Islam, karena orang-orang sekuler pun niscaya akan mengakuinya. Hanya saja, Islam menambahkan suatu aturan di antara kedua fithrah tersebut (dan aturan ini merupakan fithrah juga), yaitu bahwa aurat – yang merupakan bagian dari kecantikan fisik – bukanlah untuk dilihat semua orang.

Dalam peradaban yang sudah sangat parah terjangkit virus sekularisme, kita jumpai kaum perempuan begitu terobsesi untuk memamerkan fisiknya. Di Barat, sangat sedikit sekali (bahkan nyaris tak ada) artis perempuan yang tidak pernah operasi plastik. Mereka melakukannya untuk membuat hidungnya lebih mancung, dagunya lebih lancip, kulit wajahnya lebih kencang dan seterusnya. Bagi mereka, implantasi payudara pun merupakan hal yang biasa saja, bahkan dianggap sebagai bagian yang penting dari ‘persaingan’.

Ketika perempuan dinilai dari auratnya (dan mereka sendiri terobsesi dengannya), maka semua orang pun berlomba-lomba untuk memperlihatkan auratnya masing-masing, sekedar untuk memperebutkan gelar ‘yang tercantik’. Di dunia perfilman Barat, beradegan telanjang sudah menjadi hal yang biasa; semua aktris yang ingin sukses harus ‘berani’ melakukannya. Relevan atau tidak dengan jalan ceritanya, penting atau tidak, hampir di tiap film ada adegan seksnya. Tentu saja, dalam adegan-adegan semacam itu, aurat perempuanlah yang dieksploitasi habis-habisan.

Di negara-negara Barat, standar aurat memang tidak ada; atau lebih tepatnya, terus berubah. Dulu, Marilyn Monroe adalah perempuan paling binal. Kalau gunakan standar Barat sekarang, ia masih sangat sopan. Bagaimana jadinya pagelaran Miss Universe kini jika tanpa sesi bikini? Entah laku atau tidak, tapi sepertinya tidak. Pendek kata, aurat perempuan telah menjadi komoditi di Barat. Dan kaum perempuan Barat menyambut kenyataan ini.

Setelah aurat menjadi komoditi, apakah kaum perempuan di negeri-negeri sekuler itu menjadi lebih tercerahkan? Lebih ‘merdeka’? Lebih bahagia?

Masalah dari logika kaum feminis, saya rasa, adalah mereka terlalu sering mengabaikan keberadaan kaum lelaki. Mereka membangun teori-teorinya dengan mengabaikan sama sekali keberadaan kaum Adam, seolah-olah mereka adalah benda mati yang tidak berpikir, tidak berkeinginan dan tidak berinisiatif.

Kita sudah mengetahui bahwa lelaki memiliki fithrah untuk tertarik kepada kecantikan perempuan; bahkan kaum sekuler pun mengakui fithrah ini. Akan tetapi, yang selama ini luput dipertimbangkan adalah sifat rasional lelaki yang cenderung ‘pragmatis’. Salah satu sifat lelaki adalah kekuatan rasio yang bisa dikerahkannya sedemikian rupa untuk mencapai hasil yang diinginkannya secara sistematis. Maka, jika kaum perempuan berlomba-lomba memperlihatkan auratnya, yakinlah bahwa kaum lelaki pun pasti ada yang berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan segala cara. Sifat yang rasional dan ‘pragmatis’ ini adalah fithrah kaum lelaki; apa pun yang dikatakan kaum liberalis-feminis, mereka takkan bisa mengubah kenyataan itu. Sifat ini sebenarnya bisa menghasilkan banyak kebaikan. Tanpanya, betapa banyak kemajuan peradaban manusia yang tidak tercapai. Akan tetapi, jika hawa nafsu sudah mengendalikannya, maka kekacauanlah yang akan terjadi.

Kita perlu melihat kenyataan. Di dunia maya, sekarang ini sudah ada yang membagi-bagikan video tutorial cara memanipulasi perempuan. Bahkan ada yang mengajarkan bagaimana caranya memanipulasi perasaan perempuan hingga bisa mencium bibir perempuan yang baru diajak kenalan 20 menit saja. Ini menunjukkan bahwa – bagi kaum lelaki pragmatis yang dikuasai hawa nafsu – perempuan hanya permainan belaka. Mereka pun menyebutnya social engineering; seolah mereka berhadapan dengan benda mati, tidak ubahnya seperti civil engineering dan mechanical engineering saja.

Selanjutnya, kita lihat sendiri bagaimana hubungan antara lelaki dan perempuan berkembang menjadi sebuah permainan. Hubungan itu mereka sebut sebagai ‘games that people play’ dan pelakunya disebut sebagai ‘players’; peristilahan semacam ini seharusnya sudah membuat kita sadar kenyataan di balik fenomena ini.

Dalam peradaban yang dibangun tanpa standar aurat ini, pemerkosaan bukanlah satu-satunya masalah. Di Barat, banyak perempuan yang tidak pernah diperkosa tapi hidupnya penuh dengan penyesalan juga. Kapan saja digelar prom night, maka ada saja perempuan yang diperdaya. Biarpun tidak diperkosa (karena secara teknis memang ‘sama-sama mau’), kaum perempuan tetap saja jadi permainan lelaki.

Fithrah perempuan yang senang dengan segala yang serba indah membuat keadaannya menjadi lebih runyam. Ketika disodori dengan keadaan yang serba indah (baca: romantis), perempuan semakin mudah terpedaya. Maka lahirlah standar romantisme yang menyenangkan perempuan, tapi sebenarnya selalu memenangkan lelaki. Dengan standar romantisme itu, kaum lelaki terus mencucuk hidung perempuan. Ironisnya, mereka tidak merasa.

Obsesi perempuan tehadap tubuhnya sendiri juga menimbulkan efek lanjutan. Lantaran terlalu sibuk dengan tubuhnya itu, maka banyak kaum perempuan yang lalai dengan intelektualitasnya. Boleh dibilang inilah posisi ‘skak-mat’ bagi kaum perempuan. Sebab, ketumpulan akal tersebut membuatnya semakin ‘lugu’ di hadapan para lelaki hidung belang. Di mana-mana, kaum feminis selalu menebar mimpi akan lahirnya generasi perempuan yang seksi, bebas dan cerdas. Tentu saja, ini cuma mimpi.

Sekali lagi, kaum feminis lalai memperhitungkan keberadaan kaum lelaki. Mereka lupa bertanya, “Bagaimana kaum lelaki memandang perempuan yang mengumbar keseksian semacam itu?” Pada hakikatnya pandangan lelaki hanya terbagi dua saja: yang beriman akan merasa jijik, dan yang tidak beriman akan menganggapnya mainan. Perempuan semacam itu bukanlah ‘manusia’ di mata lelaki, melainkan hanya objek tak berakal. Lelaki yang beriman menganggap mereka sebagai makhluk bodoh yang mau saja merendahkan dirinya sedemikian rupa, sedangkan mereka yang tidak beriman dan pragmatis-manipulatif akan memandangnya sebagai alat permainan yang sangat mengasyikkan.

Sebagai catatan akhir, patut kita pertimbangkan kisah pengepungan Bani Qainuqa’ di Madinah pada jaman Rasulullah saw dahulu. Masalah bersumber ketika beberapa pemuda Yahudi dari Bani Qainuqa’ mempermainkan seorang Muslimah. Salah seorang di antara mereka mengikat kain pakaian Muslimah tersebut. Ketika ia hendak berjalan, terbukalah sebagian auratnya. Para pemuda bejat itu pun tertawa, dan sang Muslimah berteriak cukup keras.

Seorang pemuda Muslim menanggapi teriakan saudarinya itu. Dengan sigap ia membunuh salah satu dari pemuda-pemuda Yahudi tadi. Akan tetapi, ia pun akhirnya terbunuh karena dikeroyok oleh lawannya. Berita pun sampai ke telinga Rasulullah saw dan Bani Qainuqa’ pun dikepung. Karena mereka telah menodai kehormatan seorang Muslimah, dan mereka melindungi orang-orang yang bersalah, maka seluruh Bani Qainuqa’ diusir dari Madinah.

Inilah peradaban Islam. Setiap perempuan dijunjung tinggi harga dirinya, karena mereka pun tahu cara menghargai dirinya sendiri. Harga diri seorang Muslimah adalah harga diri seluruh umat Muslim, dan menghina seorang Muslimah berarti menghina seluruh umat Muslim. Hanya dalam peradaban Islam-lah terjadi pengepungan dan pengusiran satu kabilah lantaran terjadinya pelecehan terhadap seorang perempuan.

Hanya dengan Islam-lah perempuan bisa memperoleh kemuliaan yang sudah sewajarnya ia dapatkan. Istri-istri Rasulullah saw dikenang sebagai “Ummul Mu’minun”, artinya “Ibunya orang-orang yang beriman”. Demikian juga ustzh. Yoyoh Yusroh, kini dikenang banyak orang dengan sebutan “Bunda Yoyoh”. Mereka adalah Muslimah yang dikenang karena keimanan, martabat dan intelektualitasnya, dan dikenang oleh umat Muslim dengan penuh kehangatan.

Bagaimana nasibnya kaum perempuan yang hidup dengan ‘menjual auratnya’ sendiri? Bagaimana mereka akan dikenang? Akankah sejarah mencatatnya dengan penuh kebanggaan? Akankah ada yang mengingatnya?

 

Interesting Links :

  • Tanggapan DR. Adian Husaini terhadap Sumanto Al Qurtuby: http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7:islam-progresif-dan-seks-bebas-&catid=1:adian-husaini
  • Statistik pemerkosaan di berbagai negara: http://www.nationmaster.com/graph/cri_rap-crime-rapes