Purnama Tersenyum di Langit Busan

Udara dingin seakan enggan berhenti menyelip menelusuri ruang sempit di antara rajutan benang-benang sweaterku. Tanpa memberikan kesempatan sedikit pun bagi mataku untuk berkedip, udara dingin itu telah menjangkau ruas-ruas tulangku. Tiga tahun penantianku tiba juga. Akhirnya hari ini aku menginjakkan kedua kakiku di daerah sisa-sisa Kerajaan Silla. Konon Kerajaan Silla berhasil menaklukkan dua kerajaan besar seterunya, yaitu Goguryeo dan Baekje. Takluknya dua kerajaan tersebut mengakhiri masa tiga Kerajaan di Korea dan dimulailah era Silla Bersatu.

Sudah satu jam lebih berlalu setelah pesawat yang kutumpangi mendarat di Bandara Internasional Incheon. Tidak mengherankan jika Bandara Internasional Incheon memiliki predikat bandara terbaik di dunia. Rangka baja saling bersilang dan membentuk pola yang teratur di langit-langit terlihat begitu jelas dari tempat dudukku. Arsitektur bandara yang sangat indah dan berbagai fasilitas yang lengkap membuat hati kecilku kagum. Lingkungan bandara yang begitu bersih dan terjaga semakin membuatku terpukau.

Aku masih duduk sendiri ditemani secangkir teh gingseng hangat yang baru saja aku beli dari sebuah mesin minuman. Selang beberapa detik setelah tegukan terakhir teh gingsengku, aku dapat melihat dari kejauhan sosok seseorang yang aku nanti-nantikan. Gaya berjalannya, warna sepatunya, jaket tebal yang dikenakannya, dan tas pinggangnya. Tidak ada yang berubah darinya. Hampir dua tahun kami berpisah.

“Kakaaaak!” Aku berteriak dan segera berlari. Sangat cepat. “Fatiiiihhhh!” Kakakku tidak mau kalah keras teriakannya. Kira-kira tiga langkah lagi jarakku dengan Kak Salman, aku langsung melompat. Kak Salman serta merta menangkapku dalam pelukan hangatnya. Pelukan Kak Salman sangat kuat, sampai-sampai aku agak sulit untuk menghela nafas.

“Assalamu’alaikum, Kakaaakk!”

“Wa’alaikumsalam Fatih! Alhamdulillah ya Allah, kamu sampai juga di sini!” Jawab Kak Salman. Mata kami mulai berkaca-kaca.

“Fatih, kakak kangen banget sama Ibu,” kata Kak Salman, “InsyaAllah tiga bulan lagi Ibu akan tinggal di sini bersama kita, Fatih!” Terlihat senyum bahagia di wajah Kak Salman. Aku pun ikut tersenyum.

“Kita kabarin Ibu dulu ya, Tih, kasih tahu Ibu kalau kamu sudah sampai!” Ujar Kak Salman seraya mengambil telepon genggam dari saku kanan celananya.

Sekitar lima jam kami tempuh perjalanan untuk sampai di kampusku di Kota Busan. Selama perjalanan, Kak Salman banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya di Korea. Sedikit banyak apa yang diceritakan Kak Salman membuatku kagum sekaligus terkejut. Dari masalah perkembangan teknologi yang begitu pesat, fasilitas transportasi yang begitu memadai, kebiasaan mabuk orang Korea, dan sampai masalah banyaknya peristiwa bunuh diri.

Sudah satu minggu sejak aku berada di sini. Hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah. Satu minggu merupakan waktu yang cukup bagiku untuk beradaptasi sebelum memulai perkuliahan di semester pertama ini. Di hari pertama ini aku mengikuti mata kuliah Desain Penelitian.

Tidak lama setelah aku memasuki kelas, datanglah seseorang mengenakan jas hitam dan sebuah syal abu-abu melingkari lehernya. Wajahnya masih terlihat muda hanya saja beberapa helai rambut berwarna putih sudah menghiasi kepalanya. “Tampaknya setiap tahun semakin banyak mahasiswa asing yang melanjutkan studinya di kampus ini,” ujar Profesor Kim Tae Ho membuka kelas. Mahasiswa kampus kami memanggilnya Prof. Kim. Istrinya merupakan seorang aktivis gereja tapi Prof. Kim sendiri entah beragama apa.

“Sebelum aku memulai kelas ini, aku ingin bertanya kepada kalian. Apa arti kehidupan bagi kalian?” Tanya Prof. Kim.

Setiap mahasiswa memiliki jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan beliau. Dan, sepertinya Prof. Kim ingin segera mengatakan apa arti kehidupan menurut pendapatnya.

“Menurut saya, kehidupan ini adalah omong kosong! Saya kuliah bertahun-tahun, menjadi dosen, menjadi professor, kamu tahu, setelah itu saya mati! Mati dan menjadi tanah! Selesai! Bukankah hidup itu omong kosong? Pada akhirnya kita menjadi tiada! Hanya sebongkah tanah!”

“Kamu, Steve Nash, kamu Kristen?” Tanya Prof. Kim kepada seorang mahasiswa berambut pirang yang belum aku kenal.

“Iya, Prof. Kim! Saya seorang Kristiani,” jawab Steve.

“Mengapa kamu memilih agama Kristen?” Lanjut Prof. Kim.

“Kamu, Fatih! Kamu pasti seorang Muslim, bukan? Aku bisa menerka dari nama depanmu, Muhammad!”

“Kenapa kamu memeluk agama Islam?”

“Agama semua omong kosong! Kalian pasti percaya tuhan! Tuhan juga omong kosong!”

Seolah-olah semua mahasiswa di ruang kelas itu menerima begitu saja kata-kata Prof. Kim. Sunyi senyap. Tanpa suara. Kiranya ada yang menelan ludah saat itu pastilah terdengar. Tanpa basa-basi lagi beliau langsung memulai perkuliahan.

Aku sama sekali tidak fokus mengikuti kuliah Prof. Kim. Pertanyaan demi pernyataan yang beliau utarakan masih terus berputar-putar di kepalaku. Kenapa aku Islam? Kenapa juga Steve beragama Kristen? Dan kenapa banyak juga orang yang berpindah keyakinan?

“Akhirnya kau tanyakan juga masalah ini, Fatih!” Jawab Kak Salman mendengar keluh kesahku atas peristiwa di kelas Prof. Kim tadi pagi.

“Prof. Kim dalam kebingungan yang sangat. Hanya saja dia belum dapat menerima kenyataan dan kebenaran,” Kak Salman melanjutkan kata-katanya.

“Kau pun sesungguhnya berada dalam kebingungan, Fatih. Sudah seharusnya manusia-manusia yang berfikir akan bertanya tentang masalah ini.”

“Nabi Ibrahim pun demikian. Bayangkan, beliau hidup sekitar 4500 tahun yang lalu!”

“Maksud Kak Salman, tidak ada alasan bagi kita yang hidup di zaman ini untuk tidak memikirkan masalah Tuhan?” Tanyaku memotong penjelasan Kak Salman.

“Tepat! Itu yang hendak kakak sampaikan.”

“Apakah kamu sempat berpikir Tuhan itu tidak ada? Atau kamu pernah juga beranggapan bahwa jika Tuhan ada, dia ‘bermain dadu’ untuk semesta ini?”

“Alam semesta ini sangat teratur, Fatih. Inilah yang kita sebut sebagai desain. Bagaimana planet dan bintang berputar mengelilingi orbit, bagaimana sel-sel berkembang, bagaimana darah dari jantung dialirkan ke seluruh tubuh, pernah kamu bertanya siapa yang mengatur itu semua? Manusia yang lemah inikah yang mengatur benda-benda langit di atas sana? Manusia yang lemah inikah yang mengatur pergerakan elektron dalam mengitari inti atom? Terlalu bodoh manusia untuk tidak meyakini ada sesuatu yang sangat dasyat di balik semua ini. Terlalu bodoh manusia untuk hidup dan menjalani kehidupan tanpa adanya bimbingan Tuhan!”

“Nabi Muhammad pun pernah mengalami kebingungan. Dan beliau menemukan jawabannya!” Aku semakin terpukau dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Kak Salman. Aku bergeming. Seolah Kak Salman berhasil menghipnotis diriku untuk tetap fokus.

“Rasul mengalami kebingungan?” Sanggahku.

“Kamu tentu sudah hafal surat Adh Dhuha, Fatih. Apa kamu tidak mempelajari tafsirnya? Fatih, di surat itu diceritakan bagaimana Rasul mengalami kebingungan. Atau jangan-jangan kamu juga tidak membaca terjemahannya?” Kali ini Kak Salman membuatku malu. Untuk beberapa saat aku tidak berani menatap kedua matanya.

“Jika kamu ingin menemukan jawabannya, ikutilah bagaimana Nabi Muhammad melangkah! Jika kamu ingin mengikuti Rasul, pahamilah Quran! Ingat, Fatih, pahami! Selain membaca teks Arab cobalah pahami makna yang tersimpan di dalamnya! Rasulullah adalah the living Qur’an! You know that, don’t you?

Sederhana sekali petunjuk yang disampaikan oleh Kak Salman. Dan jawaban itu dekat dengan kita. Quran!

“Ummat Islam saat ini terjebak dalam pemahaman bagaimana mempelajari Al Quran dan mengikuti sunnah Rasul.”

“Fatih, pernahkah kamu mendengar cerita tentang Bani Israil?” Tanya Kak Salman antusias.

“Jika kamu membaca surat Al Jumu’ah, Allah mengibaratkan orang-orang Bani Israil yang mengetahui Taurat tetapi tidak mengamalkannya sebagai seekor keledai yang membawa kitab-kitab,” sambung Kak Salman tanpa menunggu jawaban dariku.

“Sahabat Rasul, Ibnu Abbas, menjelaskan bahwa Bani Israil dalam memperlakukan Taurat hanya sebatas membaca dan menghafalkan saja. Sedihnya, keadaan seperti keadaan Bani Israil tersebut ternyata terjadi juga pada ummat Islam saat ini, Fatih.”

“Apa yang ada di benak para orang tua ketika ingin memberikan pendidikan Al Quran kepada anak-anaknya?”

“Hanya sebatas membaca dan menghafal, tanpa ada proses pemahaman terhadap Al Quran itu sendiri, Fatih! Ingat itu! Ini juga tugas kita untuk menyadarkan saudara-saudara kita agar mereka berusaha untuk memahami Al Quran dan Sunnah!”

“Yang lebih menyakitkan hati kakak adalah, ummat Islam saat ini, terlebih lagi para remaja muslim, membaca dan menghafal Al Quran saja sudah enggan. Belum lagi mushaf-mushaf Al Quran yang hanya tersimpan pada rak-rak buku mereka. Bagaimana mereka ingin memahami makna dan mempelajari tafsirnya? Kita mengaku pengikut Rasul, tapi bagaimana kita memperlakukan Al Quran dan Sunnah?”

“Kita mengaku cinta kepada Allah, tapi kita mengabaikan Al Quran!”

“Aku teringat perkataan Ibnul Qayim, ‘Jika kamu ingin mengetahui seberapa besar cinta Allah kepadamu, maka lihatlah cintamu kepada Al Quran di hatimu!’

Air mata Kak Salman mengalir perlahan dan mulai membasahi pipi. Aku peluk Kak Salman dengan erat. Tanpa terasa air mataku pun sudah jatuh dari pelupuk. Dalam pelukan itu Kak Salman berbisik, “Kakak bersyukur, Fatih, kamu menanyakan masalah ini.”

“Terima kasih, Allah! Engkau memberikan seorang kakak seperti Kak Salman walaupun Kak Salman bukan kakak kandungku. Ampuni dan rahmatilah kedua orang tua Kak Salman, Ya Rahman! Berikanlah mereka tempat terbaik disisi-Mu, Ya Rabb!” Ujarku dalam hati.

Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kak Salman sudah terlelap di kamarnya. Aku mengambil buku tafsir Al Quran yang sore tadi aku pinjam dari Kak Salman. Kubuka perlahan. Di halaman pertama kudapati tulisan tangan Kak Salman.

Katakanlah (Muhammad), ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran : 31)

Aku merenungi kehidupan masa laluku. Ya Allah, betapa banyak ayat-ayat Engkau yang belum aku pahami. Ya Rabb, betapa banyak jejak Rasul yang belum kuikuti. Betapa banyak waktu yang telah tersiakan selama ini. Aku sungkurkan wajahku. Aku bersujud. Menangis. Dan bertambah khusyu’. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kamaa shalaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim fil ‘alamin Innaka hamidummajid. Dan, malam ini, kulihat purnama seakan tersenyum padaku di langit sana. Di langit Busan.

Oleh: Muhammad Hilmy Alfaruqi; Korea Selatan
Facebook   – Twitter – Blog