Pondasi Dakwah dan Tarbiyah Rasulullah

Di antara fodasi dakwah dan tarbiyah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap para sahabat adalah, “Memurnikan dakwah dari segala kepentingan duniawi dan dari manfaat-manfaat yang tidak kekal.”

Semua rasul diutus untuk mengumandangkan syi’ar ini :

وما أسألكم عليه من أجر إن اجري إلا على رب العالمين

“Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (QS. Asy Syu’ara : 127)

Ayat ini diserukan oleh semua nabi, dan diucapkan pula oleh Nabi Nuh Nabi Hud, Nabi Shaleh, dan Nabi Syu’aib as. dalam Surat Asy-Syu’ara.

Sesungguhnya jiwa manusia itu akan merasa segan atas orang yang biasa memberikan sesuatu kepadanya, maka dari itu tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah.

Allah akan murka jika engkau tidak meminta kepada-Nya. Sedangkan anak Adam, ketika diminta dia marah

Para Nabi dan para da’i wajib menjauhkan diri dari keduniaan manusia, sehingga mereka mau menerima da’wahnya.

Karena itu tak pernah sekalipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjanjikan fasilitas duniawi kepada salah seorang pengikutnya atau ingin segera orang yang diajaknya itu masuk Islam dan beriman kepadanya

Dahulu, ketika beliau melewati keluarga Yasir yang tengah mendapat siksaan, maka beliau hanya mengucapkan :

“Bersabarlah wahai keluarga Yasir, Karena sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga.”

Tidak pernah beliau membujuk dan menjanjikan kepada mereka harta dunia, kekuasaan, jabatan ataupun kepemimpinan.

Karena itulah ketika beliau mengemukakan da’wahnya kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah dan berdiri salah seorang diantara mereka yang bernama Buhairah bin Farras, seraya berkata, “Bagaimana jika kami berbai’at kepadamu atas perkaramu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang-orang yang menentangmu, apakah urusan itu akan menjadi milik kami sesudahmu?”

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya menjawab, “Perkara itu milik Allah, Dia menempatkan di tempat manapun yang dikehendaki-Nya.”

Mendengar jawaban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu maka bani ‘Amir menolak da’wahnya, padahal pada waktu itu beliau benar-benar membutuhkan pertolongan salah seorang diantara mereka.

Allah Rabbul ‘Izzati tidak memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa agama ini akan mendapat kemenangan lewat perantaraan tangannya.

“Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). Atau Kami memperlihatkan kepadamu (adzab) yang telah Kami (Allah) ancamkan kepada mereka. Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka.” (QS. Az Zukhruf : 41- 42)

Namun Rasulullah merasa yakin bahwa agama ini akan menang meskipun panjang masanya.

Pada waktu Bai’atul Aqabah Kedua bagi golongan Anshar, beliau bersabda, “Aku membai’at kalian atas dasar Kalian melindungiku seperti halnya kalian melindungi istri-istri kalian dan anak-anak kalian.”

Mereka bertanya, “Apa yang kami dapatkan ya Rasulullah, jika kami penuhi bai’at tersebut?”

Beliau menjawab, “Surga.”

Mereka berseru, “Jual beli yang menguntungkan, kami tidak akan membatalkan dan tidak akan minta dibatalkan.”

Bagi mereka yang bekerja untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi perlu mengetahui perkara ini. Bahwa da’wah itu hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang hatinya bersih dari segala tendensi, jika tidak demikian maka da’wah itu akan berubah menjadi tangga bagi orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dan menjadi ajang bisnis bagi sekelompok kaum.

Dan mereka harus tahu, bahwa uluran tangan mereka kepada para penguasa dan para hartawan akan menjatuhkan da’wah mereka di hati penguasa dan para hartawan dan menanamkan bibit kebencian dalam hati rakyat jelata pada diri mereka dan da’wah mereka.

Maka dari itu orang-orang “Mushlih” (yang memperbaiki kerusakan) sangat menjauhkan diri mereka dari dunia pada penguasa dan para pejabat. Mereka mengatakan, “Sejelek-jelek ulama adalah mereka yang paling dekat dengan para penguasa. Dan sejelek-jelek pemimpin adalah mereka yang paling jauh dari ulama.”

Tatkala Allah ‘Azza wa Jalla menguji para sahabat lalu mereka bersabar atas ujian tersebut, dan Allah mengetahui akan kekosongan jiwa mereka dari segala ambisi dan Dia tahu bahwasanya mereka tidak mengharapkan balasan di dunia ini sepanjang eksistensi mereka, dan Allah tahu bahwa mereka menjadi orang-orang yang dapat dipercaya menjaga syari’at-Nya, maka Allah pun memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi, dan meletakkan “amanah yang besar” itu diantara kedua tangan mereka.

Ustadz Ibnu Hasan Ath Thabari