Perjuangan Ibumu… dan Juga Bapakmu

Di penghujung kajian Tafsir al-Aisar Surat al-Qalam Ahad kemarin di Masjid al-Fattah, kami sampaikan tentang betapa pengorbanan perempuan (istri) begitu besar bagi suami dan anak-anaknya; yang seringkali tidak dihargai oleh suami dan anak-anaknya.

Ego lelaki seringkali dipelihara bahkan disuburkan benar-benar oleh empunya. Kajian-kajian tematik lebih suka mengupas kesalahan dan kekurangan wanita (istri), dan para bapak-bapak menyukai itu seolah kemenangan mereka sudah dekat, sementara para istri bermuhasabah. Itulah ego dan arogansi lelaki. Dan boro-boro kesalahan dan kekurangan pria dikupas di kajian untuk pembenahan.

Padahal mereka berdua sama-sama manusia yang pasti punya ‘default’ pernah bersalah; dan kadang berupa tabiat gender.

Laki-laki meskipun memang berjuang mencari nafkah, namun di dalam rumah mereka adalah kucing-kucing unyu yang manja. Mereka tak mampu dan tak tahan asuh anak-anak kala menduda, tetapi betapa mampunya seorang janda mengasuh anak tanpa pria. Sedari kecil para ibu sudah berjuang mendidik anak-anak, dan setelah besar para ayahlah yang berbangga dan anak-anak hebat didikan ibu-ibu dinisbatkan pada ayah-ayah. Sementara ibu-ibu hanya tersenyum bahagia; karena bagi mereka, “Tidak perlu saya terkenal; karena saya mendidik mereka bukan agar saya menjadi terkenal.”

Dan betapa normal pria yang sudah menikah sangat manja terhadap istrinya. Dahulu di masa bujang begitu mandiri, dan setelah menikah menjadi sangat manja. Ini wajar. Nah, dari kewajaran ini, maka baiknya yang sudah menikah jangan merendahkan para bujangan dengan alasan ‘bujangan suka menggalau’. Justru setelah menikah, pria pun masih suka menggalau. Menggalau jika istrinya dilirik orang. Menggalau jika istrinya kurang mempersiapkan ini itu. Menggalau jika istrinya sedang haid (‪#‎eh‬). Menggalau jika safar. Menggalau jika begini begitu. Banyak momentum galau juga rupanya.

Bedanya, galaunya pria menikah: ada salurannya. Sementara galaunya pria bujangan: belum tentu ketemu salurannya.

Alhamdulillah, penulis dahulu bukan tipikal galauers karena lawan jenis. Jika Anda bujangan yang masih suka sedih-sedihan, maksimalkan hobi Anda. Hobi saya membaca, maka memperkaya bacaan dan ilmu -alhamdulillah- yang memudahkan diri untuk mengenyahkan kosakata ‘galau’ dari kamus batin saya.

Anak-anak pun perlu tahu, bahwa sebelum ibumu berjuang demi kamu, bapakmu sudah berjuang terlebih dahulu, untuk menghalalkan…ibumu.