Perempuan, Belanja, dan Kartu Kredit

Seharusnya keinginan dan kebutuhan berjalan selaras.

Seharusnya prioritas pun menjadi yang utama dalam pemenuhan kebutuhan.

Tapi, mengapa kadang mereka tak seiring sejalan dan seolah saling melupakan satu sama lain?

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. (Qs. Al Furqaan 67)

Banyak yang bilang, perempuan pandai mengelola keuangan. Tapi tidak sedikit pula yang bilang, bahwa perempuan juga pandai menghabiskan tabungan. Pernyataan ini membuat saya tersenyum kecut merasa tersindir. Karena penyebutan kata perempuan. Yang berarti saya juga perempuan.

Disebut pandai mengelola keuangan. Mungkin bagi mereka yang dapat mencukupi kebutuhan berdasar prioritas, mengalokasikan yang harus dibayar dan dapat menyisakannya untuk disimpan. Meskipun pemasukan cenderung pas-pasan. Dan yang disebut menghabiskan tabungan adalah pemasukan berlimpah, tapi masih saja membayar tagihan ke banyak pihak.

Beberapa survey kecil di sekitar membuktikan, bahwa kendala utama perempuan kurang mampu mengolah keuangannya sendiri dikarenakan gaya hidup. Konteks gaya hidup disini lebih diartikan pada gaya hidup yang berlebihan namun pemasukan yang serba kekurangan. Ironisnya mereka yang terjebak dalam kondisi ini, memilih hutang konsumtif, dan kartu kredit sebagai salah satu solusinya. Saya menyebutnya hutang berkelas, maksudnya untuk ‘yang ingin dianggap’ kelas ke atas dengan membayar cicilan bunga yang semakin naik ke atas pula.

Di pusat perbelanjaan, stand-stand bank yang menawarkan kartu kredit banyak dipenuhi perempuan. Belum lagi kalimat menawarkannya yang khas yaitu “memberikan kemudahan dalam berbelanja”. Maka semakin saja menarik perhatian para perempuan yang hobi berbelanja. Untuk kaum adam mungkin perbandingannya lebih kecil daripada kaum hawa. Tapi entahlah jika kaum adam ternyata lebih memilih untuk langsung mengunjungi bank tersebut , supaya terhindar antrian panjang kaum hawa yang sedang asyik menyimak dengan baik penjelasan tim Customer Service bank tersebut.

Berbagai macam diskon dan fasilitas jasa ditawarkan. Mulai dari potongan harga jika membeli dengan memakai katu kredit dari bank “X”, yang nantinya jika menggunakan kartu tersebut poin akan bertambah lalu dapat ditukar dengan berbagai macam hadiah yang dapat membuat calon nasabah nya supaya tergoda lalu memutuskan kartu kredit mana yang akan digunakan. Mereka yang sudah menggunakan kartu kredit tersebut lupa, bahwa sebenarnya mereka bukan mendapat hadiah melainkan mereka membayarnya melalui cicilan bunga yang mencekik leher. Belum lagi untuk calon nasabah yang suka bepergian, mereka dapat menggunakan fasilitas teletravel, yang hanya dengan memesan ‘by phone’ maka tiket sudah ditangan. Atau fasilitas tarik tunai dari kartu kredit ke rekening nasabah melalui ATM dengan logo tertentu. Dan tentu saja masih dengan bunga berlipat yang tak jauh beda dengan rentenir jika prinsip yang mereka terapkan berdasar riba’.

Tidak sedikit yang menjadi korban “kecanggihan” dari kartu kredit. Banyak yang tidak sanggup membayar cicilan. Lalu memutuskan untuk menutup kartu tersebut dan hanya membayar cicilan tunggakan beserta bunganya saja. Seorang teman yang memakai kartu kredit, mengakui menyesal menggunakannya. Kemudahannya dalam berbelanja dengan kartu kredit, membuat perempuan itu tidak dapat mengontrol dirinya. Ia tidak lagi mampu mengukur kemampuannya dalam berbelanja. Yang kebutuhan sudah tidak lagi prioritas, yang keinginan malah jadi prioritas. Atau yang seharusnya cukup membeli satu, karena ada diskon dari merchant apabila menggunakan kartu kredit tersebut, maka barang yang dibelinya lebih dari satu. Sampai suatu saat ia terkaget begitu menerima tagihan yang membengkak berlipat-lipat. Terbukti bahwa kartu kredit sama sekali tidak memberikan kemudahan dalam berbelanja atau pun bertransaksi tetapi malah memberi kesusahan di akhirnya. Ya begitulah sistem riba’ bekerja di kehidupan kita.

Saya bukan tidak setuju dengan bank non-syariah, tetapi jika ada bank syariah, kenapa memilih sistem riba’ untuk mengelola keuangan kita?

Lalu kenapa juga kita memilih kartu kredit, jika isi tabungan masih bisa di debit? Atau jika tidak ada yang di debit, berarti Allah menganjurkan kita “puasa” dulu untuk mengendalikan hawa nafsu. Agar kelak ketika Allah memberikan kita rezeki berlebih, nafsu sudah terkuasai.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba’, dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Qs. Ali ‘Imran:130)

Hidup adalah pilihan. Jika ingin berkah, mulailah dengan memilih gaya hidup syariah. Maka, hindari riba’ dan sebaiknya tinggalkan budaya berhutang konsumtif untuk mencapai Ridho Nya.