Pengertian Najis dan Hukum-hukumnya

A. Pengertian

1. Bahasa

Secara bahasa najis bermakna al qadzarah ( القذارة ) yang artinya adalah kotoran.

2. Istilah

Sedangkan secara istilah, najis menurut definisi Asy Syafi’iyah adalah:

“Sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat tanpa ada hal yang meringankan.”[1]

Dan menurut definisi Al Malikiyah, najis adalah:

Sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan shalat bila terkena atau berada di dalamnya.”[2]

B. Hukum-hukum Terkait Najis

Ada beberapa ketetapan hukum syariah yang perlu untuk diperhatikan terkait dengan benda-benda najis atau terkena najis.

1. Tidak Berdosa Menyentuh Najis

Berbeda dengan ketentuan najis pada agama-agama samawi sebelumnya, yang mengharamkan umatnya bersentuhan dengan benda-benda najis, dalam syariat Islam, seorang muslim tidak berdosa bila tersentuh najis atau menyentuhnya dengan sengaja.

Konon dalam agama Yahudi Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan ketentuan yang amat keras tentang najis. Di antaranya, bila seseorang terkena najis pada pakaiannya, maka pakaiannya itu tidak bisa lagi disucikan untuk selama-lamanya. Jadi pakaian itu harus dibuang, atau bagian yang terkena najis harus dirobek, dan ditambal dengan kain baru.

Dan bila najis itu tersentuh pada badan, maka kulitnya harus dikelupas, lantaran benda yang terkena najis tidak bisa selamanya disucikan.

Sedangkan seorang muslim tidak diharamkan untuk bersentuhan dengan benda-benda najis, asalkan bukan sedang menjalankan ibadah ritual yang membutuhkan kesucian dari benda najis.

Profesi sebagai petugas kebersihan menjadi halal dalam agama Islam, meski setiap hari bergelimang dengan najis.

Demikian juga seorang muslim boleh bekerja sebagai penyembelih hewan, meski setiap hari tangannya bersimbah dengan darah dan kotoran. Dan menjadi petugas mobil tinja juga tidak haram, meski setiap hari bergelimang dengan isi septik tank.

2. Syarat Ibadah

Seorang muslim baru diwajibkan untuk mensucikan dirinya dari benda-benda najis yang terdapat pada badan, pakaian dan tempatnya, manakala dia akan melakukan ibadah ritual tertentu.

Karena suci dari najis adalah syarat sah dalam ritual beribadah, dimana seseorang tidak sah menjalankan shalat bila badan, pakaian atau tempat shalatnya tidak suci dari najis.

Maka pada saat itulah dibutuhkan cara berthaharah yang benar, sebagaimana yang diajarkan dalam ketentuan syariat Islam.

3. Haram Dimakan

Meski boleh bersentuhan dengan benda-benda najis, namun seorang muslim haram hukumnya untuk memakan, meminum atau mengkonsumsi benda-benda yang jelas-jelas hukumnya najis, meski dengan alasan pengobatan.

Keharaman mengkonsumsi benda-benda najis merupakan kriteria nomor satu dalam daftar urutan makana haram.[3]

Dalil yang menjadi dasarnya pengharamannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. (QS Al A’raf: 157)

Piring Bekas Orang Kafir

Piring, gelas dan alat-alat makan bekas orang kafir terkadang menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah suci atau tidak?

Sesungguhnya ludah dan tubuh orang kafir itu suci dan bukan benda najis, sehingga kalau masalahnya hanya semata-mata makanan bekas orang kafir, tidak ada masalah dalam hal kesuciannya ,sebagaimana kisah dalam hadits berikut ini.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata’Ke kanan dan ke kanan’.” (HR. Bukhari)

Namun yang jadi masalah adalah bila orang kafir itu memakan makanan yang dalam pandangan syariah hukumnya najis, seperti khamar, anjing, babi, bangkai atau hewan-hewan lain yang diharamkan, apakah alat-alat makan bekas mereka itu lantas digeneralisir secara otomatis selalu menjadi najis, walaupun secara zahir tidak nampak?

Dalam hal ini, umumnya para ulama tidak mengharamkannya bila tidak nampak secara zahir sisa bekas benda-benda najis di dalam alat-alat makan bekas mereka.

Umumnya mereka hanya hanya memakruhkan bila seorang muslim makan dengan wadah bekas orang kafir yang belum dibersihkan atau disucikan. Sehingga hukumnya tetap boleh dan makanan itu tidak menjadi haram.

Semua itu hukumnya boleh bila hanya sekedar berdasarkan rasa ragu saja. Namun bila jelas-jelas ada bekas najisnya secara kasat mata, maka haram hukumnya memakan dari wadah itu, kecuali setelah disucikan.

4. Haram Digunakan Beristijmar

Beristinja’ adalah mencusikan dan membersihkan sisa bekas buang air kecil atau buang air besar. Bila menggunakan benda selain air, disebut dengan istilah istijmar.

Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita beristijmar dengan menggunakan benda-benda najis, seperti kotoran hewan atau tulang bangkai, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits berikut ini:

Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kita beristinja’ dengan tahi atau tulang. (HR. Muslim Abu Daud dan Tirmizy)

5. Haram Diperjual-belikan

Pada dasarnya secara umum benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan hadits berikut ini:

Dari Abu Daud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat orang-orang Yahudi, lantaran telah diharamkan lemak hewan, namun mereka memperjual-belikannya dan memakan hasilnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun dalam detail-detaiknya, ternyata para ulama agak sedikit bervariasi ketika menetapkan tentang boleh tidaknya. Di antara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, kalangan yang mengharamkan jual-beli sebagian dari benda najis dan menghalalkan sebagian lainnya, bila memang bermanfaat dan dibutuhkan.

a. Kotoran Hewan

Dalam pandangan mazhab Al Hanafiyah pada dasarnya benda najis itu haram untuk diperjual-belikan, namun bila bisa diambil manfaatnya, hukumnya boleh.[4]

Kotoran hewan adalah benda najis, maka haram diperjual-belikan. Namun bila yang diperjual-belikan adalah tanah, namun tercampur kotoran hewan, dalam pandangan mazhab ini hukumnya boleh. Karena yang dilihat bukan kotoran hewannya, melainkan tanahnya.

Artinya, kalau semata-mata yang diperjual-belikan adalah kotoran hewan, hukumnya masih haram. Tetapi kalau kotoran hewan itu sudah dicampur dengan tanah sedemikian rupa, meski pada hakikatnya masih mengandung najis, namun mereka tidak melihat kepada najisnya, melainkan kepada tanahnya.

Sedangkan mazhab Asy Syafi’iyah secara umum tetap mengharamkan jual-beli kotoran hewan, walaupun sudah dicampur tanah dan untuk pupuk.

b. Kulit Bangkai

Kulit bangkai hukumnya najis karena itu juga menjadi haram untuk diperjual-belikan. Namun bila kulit itu sudah disamak, sehingga hukumnya menjadi suci kembali, hukumnya menjadi boleh untuk diperjual-belikan. Dasarnya adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Janganlah kamu mengambil manfaat bangakai dari ihab (kulit yang belum disamak) dan syarafnya. (HR. Abu Daud dan At Tirmizy)

Kulit hewan yang belum dilakukan proses penyamakan disebut ihab ( إھاب ). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bila kulit itu berasal dari bangkai, tapi hukumnya menjadi boleh bila telah mengalami penyamakan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Dari Abdullah bin Abbas dia berkata,”Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.” (HR. Muslim)

Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci. (HR. An-Nasai)

Namun ada juga pendapat ulama yang tetap menajiskan kulit bangkai, meski telah disamak, yaitu sebagian ulama di kalangan mazhab Al Malikiyah. Sehingga dalam pandangan mereka, jual-beli kulit bangkai pun tetap diharamkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al Kharasyi dan Ibnu Rusydi Al Hafid. Ibnu Rusydi menyebutkan, meski bahwa penyamakan tidak ada pengaruhnya pada kesucian kulit bangkai, baik secara zhahir atau pun batin.[5]

Mazhab Asy Syafi’iyah juga melarang jual-beli kulit bangkai, karena hukumnya najis dalam pandangan mereka.

c. Hewan Najis dan Buas

Meski termasuk hewan najis, namun karena bisa bermanfaat, dalam pandangan mazhab ini, boleh hukumnya untuk memperjual-belikan anjing, macan atau hewan-hewan buas lainnya, bila memang jelas ada manfaatnya.

Di antara manfaat dari hewan buas ini adalah untuk berburu, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memang membolehkan umat Islam berburu dengan memanfaatkan hewan buas.

(Dihalalkan bagimu buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).(QS Al Maidah: 4)

Sedangkan anjing hitam atau sering diistilahkan dengan al kalbul ‘aqur (الكلب العقور), ada nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memperjual-belikannya, bahkan ada perintah buat kita untuk membunuhnya.

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Lima macam hewan yang hendaklah kamu bunuh dalam masjid, yaitu tikus, kalajengking, elang, gagak dan anjing hitam. (HR. Bukhari Muslim)

Namun dalam pandangan mazhab Asy Syafi’iyah, hewan-hewan yang buas itu tetap haram untuk diperjualbelikan, meski bermanfaat untuk digunakan dalam berburu.

d. Khamar

Termasuk yang dilarang untuk diperjual-belikan karena kenajisannya adalah khamar, dimana umumnya para ulama memasukkan khamar ke dalam benda najis. Dan memang ada dalil yang secara tegas mengharamkan kita meminum serta memperjual-belikannya.

Yang telah Allah haramkan untuk meminumnya, maka Allah juga mengharamkan untuk menjualnya. (HR. Muslim)

e. Daging Babi

Termasuk juga ikut ke dalam keumuman larangan dalam hadits ini adalah daging babi. Daging babi itu haram dimakan, maka otomatis hukumnya juga haram untuk diperjual-belikan.

6. Haram Ditempatkan Pada Benda Suci

Termasuk yang dilarang untuk dilakukan dalam syariat Islam adalah menghina tempat-tempat suci dengan benda najis, seperti haramnya memasukkan benda-benda najis ke dalam masjid. Juga haramnya menempelkan benda najis ke mushaf Al Quran yang suci dan mulia.[6]



[1] Al Qalyubi ‘alal Minhaj, jilid 1 halaman 68

[2] Asy Syarh Al Kabir jilid 1 halaman 32

[3] Silahkan lihat jilid ke-9 dalam buku Seri Fiqih Kehidupan.

[4] Fathul Qadir wal Inayah bi Hamisyihi, jilid 5 hal. 202

[5] Ashalul Madarik Syarhu Irsyadis Salik, jilid 1 hal. 55

[6] Hasyiyatu Ibnu Abidin jilid 1 hal. 116, Mughni Al Muhtaj jilid 1 hal. 27,

________________________________

Rujukan: Fiqih dan Kehidupan, Ahmad Sarwat, Lc., MA.