Pengalaman Sudah Cukup

Coup d’Etat. Revolusi. Putsch. Pronounciamiento. Junta. Nama boleh bermacam-macam tapi artinya sama: penggulingan kekuasaan pemerintah yang sah. Itulah kudeta. Karena intinya adalah pengambilalihan kekuasaan, tentu saja kudeta bukanlah sebuah kerja yang sederhana. Apalagi jika berharap agar sebuah kudeta sukses. Kadang sebuah kudeta yang dirancang rapi bisa gagal bila faktor-faktor yang memperlancar jalannya kudeta tidak terjadi. Karena itu, kudeta sangat membutuhkan berbagai iklim yang kondusif agar proses perebutan kekuasaan terjadi.

Kondisi masyarakat yang gelisah, keadaan sosial ekonomi yang carut marut, pertikaian antar elit politik di tengah suasana kemandegan politik, ketegangan yang memuncak antar kelompok masyarakat, delegitimasi dan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan, serta keinginan sekelompok elit politik dan militer untuk mengubah keadaan, semuanya adalah faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kelancaran sebuah upaya perebutan kekuasaan. Bila berbagai kondisi itu muncul secara bersama-sama di masyarakat, kemungkinan besar sebuah upaya kudeta akan segera terjadi.

“Kudeta adalah campuran bahaya dan peluang,” kata Edward Luttwak dalam bukunya, Coup d’Etat. Orang-orang yang tidak terlibat jauh dalam sebuah rezim yang berkuasa biasanya akan menganggap kudeta sebagai sebuah peluang. Mereka bisa menerima kudeta sambil merundingkan imbalan posisi, atau bahkan mereka memanfaatkan suasana instabilitas untuk kemudian melancarkan kudeta lanjutan dan merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri. Namun, mereka yang jauh terlibat dengan rezim lama akan menganggap kudeta sebagai sebuah bahaya. Meskipun demikian, tindakan mereka bisa bermacam-macam. Ada yang sekadar berdiam diri sampai krisis reda, ada yang melarikan diri ke luar negeri, ada pula yang dengan gagah berani melawan kudeta, tapi ada pula yang kemudian berbalik menjadi pendukung kudeta.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah cukup berpengalaman dalam urusan kudeta. Pengalaman pertama anak bangsa ini adalah usaha kudeta yang dikenal dengan nama Peristiwa 3 Juli 1946. Pada peristiwa itu Ahmad Soebardjo, Iwa Kusumah Sumantri dan Panglima Divisi Yogyakarta, Jenderal Mayor Soedarsono mencoba memaksa presiden Soekarno untuk membubarkan kabinet serta menyerahkan kekuasaan politik dan militer kepada kelompok mereka. Alasannya, pemerintah telah menangkap para pemimpin oposisi, termasuk Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan pada 17 Maret 1946.

Namun upaya kudeta yang diawali dengan penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir itu gagal karena strategi para pengambil alih kekuasaan kurang jitu. Bahkan Soedarsono ditangkap di istana tanpa perlawanan setelah “diapusi” atau ditipu Letkol Soeharto, anakbuahnya sendiri. “Saya mau diapusi. Tidak ada jalan lain. Selain balas ngapusi dia,” kata Soeharto dalam bukunya: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Pengalaman kedua adalah peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa ini kemudian bahkan sangat mempengaruhi perjalanan politik militer bangsa ini. Hari itu, tentara berunjuk rasa dengan menghadapkan meriam ke Istana. “Peristiwa itu merupakan titik tolak hilangnya kepercayaan TNI terhadap kejujuran politisi sipil,” kata TB Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang kala itu, kepada majalah Tempo di tahun 1986.

Saat itu, aksi TNI AD benar-benar all out. “Sebagai komandan brigade, saya diminta Pak Nas mengorganisasikan pasukan untuk menguasai Kota Jakarta,” kata Letjen (pur) Kemal Idris sepuluh tahun lalu. Kemal saat itu masih berpangkat mayor berumur 29 tahun. Ia mengerahkan 5 batalyon infanteri, satu batalyon kavaleri, dan satu batalyon artileri udara. “Saya taruh di situ meriam dengan moncong ke arah Istana. Tapi dengan sudut elevasi yang kalau ditembakkan betul, tidak akan mengenainya,” kata Kemal.

Saat itu, pukul 10.30, rombongan 15 pejabat TNI-AD di Istana, dipimpin KSAD Kol. A.H. Nasution. Mereka menyampaikan pernyataan tertulis, mendesak kepala negara membubarkan DPRS, dan membentuk DPR. Tapi, upaya ini gagal. Para demonstran bubar setelah “dinasehati” Presiden Soekarno yang menolak membubarkan Parlemen. Beberapa pimpinan pemberontakan itu pun sudah dilobby dan dihadapkan presiden terlebih dahulu sehingga manuver mereka keburu gembos.

Peristiwa G 30 S/PKI adalah pengalaman kudeta ketiga bagi bangsa Indonesia. Dibandingkan dengan dua kudeta sebelumnya, G 30 S/PKI adalah upaya penggulingan kekuasaan terbesar. Sebab, selain didukung PKI –satu dari empat kekuatan politik terbesar saat itu– kudeta juga didukung pasukan bersenjata dan “perwira berpikiran maju” seperti Letkol Untung, Brigjen Soepardjo, Kolonel Abdul Latief dan lain-lain. Selain itu, kudeta juga memakan korban 6 jenderal dan seorang perwira pertama,

Meski Untung Putsch berdampak paling luas, umur kudeta hanya sehari. Hal itu terjadi setelah kekuatan Angkatan Darat lainnya di bawah koordinasi Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil memukul mereka. Bahkan, menurut sejarawan Belanda WF Wertheim, Soeharto kemudian melancarkan counter coup yang disebutnya sebagai Kudeta Merangkak, dengan memanfaatkan Surat Perintah 11 Maret. Praktis, setelah terjadi dualisme kepemimpinan, perlahan-lahan Soeharto mengeliminasi kekuasaan Soekarno.

Jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada 21 Mei 1998 sesungguhnya juga merupakan sebuah kudeta, meskipun sang penguasa Orde Baru saat itu “hanya” menyatakan berhenti menjadi Presiden. Krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik dan krisis kepercayaan akhirnya berujung pada longsornya legitimasi pemerintahan Soeharto. Upaya Soeharto untuk tetap menegakkan kekuasaan gagal setelah pilar-pilar yang selama ini menyokong Orde Baru –ABRI, Birokrasi, dan Golkar— saling bertikai dan mengkhianati dirinya.

Persaingan antar faksi –Panglima TNI Jenderal Wiranto versus Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto– telah melemahkan kondisi internal ABRI. Ketika didesak mahasiswa, Ketua Golkar Harmoko meminta Soeharto mundur. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, dialah yang mendorong Soeharto agar tetap menjadi Presiden. Di kalangan birokrat, 14 menteri dipimpin Ginandjar Kartasasmita tak mau lagi menjadi menteri di Kabinet Reformasi Soeharto. Maka ketika rakyat –dengan membawa berbagai kepentingan– menuntut Soeharto mundur, seluruh pilar andalannya runtuh dan jatuhlah dia.

“Kudeta parlementer” terjadi ketika pertanggungjawaban Bacharuddin Jusuf Habibie ditolak dalam Sidang Umum MPR pada 19 Oktober 1999. Lewat voting yang dipimpin Amin Rais, MPR memutuskan bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak dengan komposisi suara 355 suara menolak, 322 menerima, 9 suara abstain, dan 4 suara dinyatakan tidak sah. Kekalahan itu sangat menyesakkan Habibie karena 40 orang anggota Golkar berkhianat dan memilih menolak pertanggungjawaban Habibie. Karena kekalahannya itu Habibie menyatakan tidak bersedia maju memperebutkan kursi presiden.

Penggulingan Abdurrahman Wahid dari tampuk kekuasaannya pada Juli 2001, juga sebuah kudeta parlementer. Saat itu, enam pimpinan partai politik sepakat menaikkan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan Wahid dalam Sidang Istimewa MPR. Semua bermula dari krisis kepercayaan yang melanda pemerintahan Wahid akibat munculnya skandal korupsi dan gratifikasi yang diduga melibatkan Wahid dan orang-orang di sekitarnya.

Wahid lalu mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen, namun dilawan partai-partai politik di DPR dengan menggelar sidang Istimewa untuk menjatuhkannya. Saat itu, militer berada di belakang Megawati. Bahkan Panglima Kostrad Jenderal Ryamizard Ryacudu merancang aksi apel pasukan yang mirip dengan upaya Kemal Idris pada 17 Oktober 1952. Puluhan tank dan panser digelar di lapangan Monas, dengan moncong terarah ke Istana.

Memang baru itu pengalaman bangsa ini dalam bidang rebut-merebut kekuasaan. Jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin. Di sana, antara tahun 1930-1971 saja telah terjadi 87 kali kudeta militer yang berhasil. Tapi paling tidak, pengalaman itu menunjukkan bahwa kemungkinan untuk melancarkan kudeta adalah sebuah keniscayaan. Pengalaman pun menunjukkan bahwa di setiap upaya kudeta, militer punya peran yang cukup besar.

Tapi kini, masihkah ada orang senekat Soedarsono, Kemal Idris dan Untung?

Hanibal W.Y. Wijayanta