Pencitraan Dahlan Iskan

Sewaktu jadi presiden, SBY sering dianggap suka bikin pencitraan — dan sekarang Jokowi. Tapi suhu di bidang itu adalah Dahlah Iskan.

Mungkin karena dia orang media, dia tau persis bagaimana cara membangun citra di depan publik. Citra yang dia ingin bangun adalah adalah tokoh penerobos, merakyat, berpengawasan kuat kepada bawahan.

Maka, dia naik ojek saat menghadiri rapat di menteri di Istana Bogor, 23 Des 2011; memikulkan karung sembako milik seorang ibu di acara pasar murah PT Telkom di kelurahan Makassar, Jaktim, April 2012; turun dari kendaraannya dan membuka paksa pintu tol Ancol, lalu ikut mengatur lalulintas; menginap di gubuk reyot milik seorang petani dan ikut menanam dua-tiga batang benih padi.

Masih ada beberapa contoh lagi.

Dan citra itu pun terbangun. Banyak yang kagum. Sempat muncul slogan “Dahlan Iskan for President”.

Orang yang saban hari bergelut dengan pekerjaan ‘mencitrakan’ orang, secara sengaja atau tidak, saya salah satunya, akan tau bahwa tindakan-tindakan Dahlan itu ‘by scenario’.

Dia tau dia diiringi sejumlah wartawan, tentu saja di antara mereka adalah wartawan Jawa Pos, anak buahnya, yang segera ‘dapat berita’ kalau dia naik KRL, makan nasi-soto stasiun, lalu naik ojek. Begitu dia manggul karung, kok para wartawan sudah ada di sekelilingnya? Saat dia menginap di gubuk reyot di kampung, kok media-media pada tahu?

Untuk kunjungan-kungjungan tertentu di mana dia akan ‘beraksi’, dia membawa seikat dua ikat wartawan.

Perkara PLN bray-pret dan merugi selama di bawah kepemimpinannya menjadi tak penting, tenggelam oleh citra yang sudah terbentuk. Terciptalah kalimat yang sering dipakai para pendukung tokoh saat ini: “PLN-nya yang bobrok, Dahlan Iskan tak salah.”, “BUMN-nya yang korup, Dahlan Iskan tak salah.”

Idolaku tak boleh salah. Yang salah iblis dan setan.

Sewaktu dia menjabat menteri BUMN, kinerja BUMN tak lebih baik dari periode sebelumnya, bahkan lebih memble. Tapi kemampuan memimpin tak penting. Yang penting adalah kemampuan membangun citra.

“Wah, itu prasangka. Itu ‘negative thinking’,” begitu mungkin pandangan sebagian orang yang mencoba tak berprasangka.

Ya baik-baik saja. Tapi persoalannya, Dahlan tak naik KRL kalau tak ada media; tak menginap di gubuk reyot kalau tak ada ‘saksi’. Dan tindakannya mengintervensi petugas pintu tol tak diikuti dengan kebijakan dan pengawasan pengelolaan pintu tol itu dalam jangka panjang. Keadaan tak berubah.

Koran ‘Rakyat Merdeka’ yang lumayan dikenal di kalangan masyarakat bawah itu hasil permainan citra juga. Dahlan masuk ke Harian Merdeka, koran perjuangan milik almarhum B.M. Diah dan istrinya Herawati Diah, nyaris tanpa keluar duit. Dia hanya menyediakan ruang kantor redaksi dan mencetak koran itu. Untuk itu pun harian Merdeka (lama) tetap harus bayar.

Kecewa dengan cara Dahlan, Herawati berniat menarik kembali Harian Merdeka miliknya. Tapi Dahlan sudah tau lebih awal keputusan Herawati, maka dia menambahkan kata ‘Rakyat’ pada harian itu menjadi ‘Rakyat Merdeka’, dan memaklumkan bahwa harian Rakyat Merdeka bukan Harian Merdeka.

Koran itu cepat mendapat nama karena nama ‘Merdeka’-nya – nama koran pelaku sejarah perjuangan yang memiliki pelanggan tradisional-fanatik. Dan Dahlan berhasil mengambil nama itu untuk kepentingannya. Koran aslinya, Merdeka, sekarang sudah almarhum akibat langkah jitu Dahlan itu.

Apa boleh buat, citra yang dia bangun kini menabrak dirinya sendiri. Kita pegang prinsip praduga tak bersalah, bahwa Dahlan tidak (belum terbukti) melakukan tindak pidana korupsi. Dan alasan paling masuk akal untuk ini adalah bahwa dia tidak tau apa yang dilakukan para bawahannya. Ini membuyarkan citra yang dia bangun selama ini sebagai figur yang berpengawasan kuat ke bawah, dengan rajin turun tangan langsung – sidak di kereta, membuka pintu tol, menginap di gubuk reyot.

Ternyata, sebenarnya, dia tidak tahu apa yang dilakukan bawahannya dalam penggunaan anggaran, padahal dia pemengang KPA (Kuasa Penggunaan Anggaran). Dan pernyataannya : “Saya terima dakwaan ini dengan penuh tanggung jawab.” Tidak memulihkan citranya yang memburam itu.

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini? Ini: Tindakan, ucapan, sikap yang bersifat ‘dandanan’ akan suatu saat luntur, kusam dan bahkan robek. Ketika itulah diri asli si pedandan terlihat berbeda, karena semua dandanan tidak melekat tubuh – fisik dan non-fisik.

Tapi bila tindakan, ucapan dan sikap itu adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita sendiri, dari kesejatian kita, maka dia tidak luntur dan kusam. Tentu kita harus menampilkan yang baik-baik untuk orang lain, tapi pada proses selanjutnya, yang kita tampilkan itu harus menjadi bagian dari diri kita sendiri, melekat dan menyatu – bukan dandanan.

Berbusanalah yang baik, untuk selanjutkan kita jadikan busana itu akhak kita. Kata akhlak (bahasa Arab) adalah isim masdar (gerund) dari kata dasar halaqa yang artinya menciptakan; jadi isim maf’ul makhluq (ciptaan). Jadi akhlak adalan kemakhlukan, kesejatian ciptaan Tuhan.