Muraqabah

Kaitannya dengan tempat persinggahan muraqabah ini, Allah telah befirman,“Dan, Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 52).

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (Al-Mukmin: 19).

Masih banyak ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, melihat, mendengar, mengawasi yang lahir maupun yang batin dan bahwa Allah senantiasa beserta manusia, di mana pun mereka berada. Di dalam hadits Jibril disebutkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ihsan. Maka beliau menjawab, “Jika engkau menyembah Allah seakan-akan melihat- Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Muraqabah artinya pengetahuan hamba secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya.

Muraqabah merupakan ubudiyah dengan asma’-Nya Ar-Raqib, Al-Hafizh, Al-Alim, As-Sami’ dan Al-Bashir (Maha Mengawasi, Menjaga, Mengetahui, Mendengar dan Melihat). Siapa yang memahami asma’ ini dan beribadah menurut ketentuannya, berarti dia telah sampai ke tingkat muraqabah.

Pengarang Manazilus-Sa’irin, mengatakan, “Muraqabah artinya terus-menerus menghadirkan hati bersama Allah.

Ada tiga derajat muraqabah:

Pertama

Muraqabah Allah terhadap perjalanan kepada-Nya secara terus-menerus, memenuhi hati dengan keagungan Allah, mendekat kepada Allah sambil membawa beban dan pembangkit kesenangan. Jika hati sudah diisi keagungan Allah, maka ia akan mengesampingkan pengagungan terhadap selain-Nya dan tidak mau berpaling kepada-nya.

Pengagungan ini tidak akan terlupakan jika hati bersama Allah, di samping juga mendatangkan cinta. Setiap cinta yang tidak disertai pengagungan terhadap kekasih, menjadi sebab yang menjauhkannya

dari kekasih. Dalam derajat ini mengandung lima perkara: Perjalanan kepada Allah, kelanjutan perjalanan ini, hati yang bersama Allah, pengagungan- Nya dan berpaling dari selain-Nya.

Jika sudah ada kedekatan hati dengan Allah, maka akan menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, yang tidak bisa diserupakan dengan kesenangan di dunia dan tidak dapat dibandingkan, karena ini merupakan salah satu keadaan dari para penghuni surga. Di antara orangyang memiliki ma’rifat berkata, “Pada saat tertentu dapat kukatakan, ‘Sekiranya para penghuni surga seperti keadaan saat ini, tentu mereka dalam kehidupan yang sangat menyenangkan.”

Tidak dapat diragukan bahwa kesenangan dan kenikmatan inilah yang membangkitkannya untuk terus mengadakan perjalan kepada Allah, berusaha dan mencari keridhaan-Nya. Siapa yang tidak merasakan kesenangan dan kenikmatan ini, atau sebagian di antaranya, maka hendaklah dia mencurigai iman dan amalnya. Karena iman itu mempunyaikemanisan. Siapa yang tidak dapat merasakan manisnya manis, hendaklah kembali untuk mencarinya, dengan mencari cahaya yang bisa mendatangkan manisnya iman.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyebutkan rasa iman dan cara mendapatkan manisnya iman. Rasa ini dikaitkan dengan iman. Sabda beliau,“Yang dapat menikmati rasa iman adalah yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul.”

Beliau juga bersabda,

“Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, yangdia mencintainya hanya karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke nerdka.”

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika engkau tidak mendapatkan kemanisan dan kesenangan dari suatu amal dalam hatimu, maka curigailah ia. Karena Allah adalah Maha Penerima syukur. Artinya, Allah pasti akan memberi pahala kepada seseorang di dunia karena amalnya, berupa kemanisan yang dirasakan di dalam hati, kesenangan dan kegembiraan. Jika dia tidak merasakannya, berarti amal itu disusupi syetan.”

Kedua

Muraqabah Allah terhadap penolakan penentangan, yaitu dengan berpaling dari bantahan. Ini merupakan muraqabah Allah terhadap dirimu untuk sifat yang khusus, yaitu yang mengharuskan adanya pemeliharaan zhahir dan batin. Memelihara zhahir ialah menjaga semua gerakan zhahir, dan memelihara batin artinya menjaga lintasan sanubari, kehendak dan gerakan-gerakan batin, yang dari gerakan batin inilah muncul penentangan terhadap perintah Allah. Batin harus dibersihkan dari segala syahwat dan kehendak yang bertentangan dengan perintah-Nya, dibersihkan dari segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak-Nya, dibersihkan dari segala syahwat yang bertentangan dengan pengabaran-Nya, dibersihkan dari segala cinta yang mencampuri cinta kepada-Nya. Inilah hakikat hati yang sehat dan inilah hakikat pembebasan diri orang-orang yang memiliki ma’rifat dan orang-orang yang taqarrub kepada Allah.

Adapun sebab penentangan yang harus dihindari hamba adalah bantahan atau sanggahan. Sebagaimana yang banyak terjadi di kalangan manusia, bantahan ini ada tiga macam:

– Membantah asma’ dan sifat-sifat Allah dengan berbagai dalih yang disebut ketetapan akal oleh para pelakunya, yang pada hakikatnya adalah hayalan-hayalan batil. Mereka membantah sifat-sifat Allah yang ditetapkan terhadap Diri-Nya dan juga merubah kalimat Allah dari tempatnya.

– Membantah syariat dan perintah-Nya dengan mengandalkan pikiran dan analogi-analogi yang mereka buat, sehingga mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Mereka juga membantah hakikat-hakikat iman dengan perasaan dan khayalan-khayalan mereka. Mereka juga membantah syariat Allah dengan menerapkan hukum-hukum ciptaan manusia sebagai ganti hukum Allah dan Rasul-Nya.

-Mereka juga membantah perbuatan, qadha’ dan qadar Allah. Tentu saja semua ini merupakan bantahan orangorang yang bodoh.

Ketiga

Muraqabah azal untuk menerima panji tauhid dan muraqabbah isyarat azal yang muncul di setiap saat dan berlaku untuk selama-lama-nya.

Artinya, mempersaksikan makna azal, yaitu sifat terdahulu yang menjadi sifat Allah dan yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya atau yang mendahului-Nya. Jika seorang hamba memahami makna azal dan mengetahui hakikatnya, maka pada saat itu tampak panji tauhid, lalu dia siap menerimanya, sebagaimana prajurit yang siap menerima panji pasukan perang.

Sedangkan makna muraqabah isyarat azal yang muncul di setiap saatdan berlaku untuk selama-lamanya, bahwa Allah yang azali juga memiliki sifat yang abadi, mempunyai bentangan hidup antara keduanya.