Motif dan Alasan Konspirasi Terhadap Mursi

“Muhammad Mursi kini ditahan, namun kesalahan satu-satunya hanyalah karena ia terpilih menjadi presiden bagi negaranya.”

Inilah komentar Surat Kabar Inggris The Telegraph tentang kudeta militer atas presidennya 30 Juni lalu, setelah setahun lamanya ia memimpin. Mursi adalah presiden sipil pertama yang terpilih melalui pemilu bersih dan jujur.

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, apakah ada skenario rahasia pihak militer dan intelijen Mesir serta kekuatan eksternal, yang sengaja memberi peluang kepada Ikhwanul Muslimin dengan naiknya Mursi menjadi penguasa, di saat kondisi negara dilanda berbagai krisis, kemudian adegan ditutup dengan meruntuhkan IM?

Atau mungkin militer datang sebagai juru penyelamat bagi Mesir dari kekuasaan IM yang telah menyebabkan keterpurukan ekonomi, layanan publik, dan keamanan, serta merjerumuskan Mesir ke dalam perang saudara?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, penting kiranya membahas struktur militer Mesir yang diklaim sebagai kekuatan no. 1 di Mesir. Untuk lebih singkat, kita hanya akan membahas sejarah kontemporer militer sejak terbentuk di era Muhammad Ali sampai saat ini.

Pada tahun 1820, Muhammad Ali mendatangkan perwira-perwira Perancis untuk melatih perwira negara Al Mamalik dengan model dan sistem militer Eropa. Selanjutnya perwira-perwira ini bertugas melatih tentara Mesir. Secara perlahan perwira-perwira Mesir berhasil menggantikan perwira-perwira Al Mamalik. Pada mulanya, ada dua masalah yang muncul:

Pertama, fenomena indisipliner.

Kedua, perbedaan agama perwira Perancis dengan peserta latihan.

Sebagai solusi, Muhammad Ali mengatasi kedua masalah tersebut dengan licik dan kasar. Tindakan ini membuahkan beberapa hasil penting, yang sekaligus menjadi ciri utama militer Mesir. Di antaranya:

Pertama, Disiplin dan Kepatuhan Tinggi

Sejak saat itu militer Mesir jadi sangat disiplin, kaku, dan terlalu tunduk, bahkan sampai merendahkan martabat tentara. Pendidikan militer kemudian menjadi mimpi buruk bagi setiap keluarga Mesir, jika putranya berada di masa pendidikan. Akibat kekakuan dan kedisplinan yang berlebihan ini protes dan pembangkangan terhadap instruksi atasan dianggap sebagai pelanggaran besar di dunia militer.

Kedua, Sekularisme adalah Ideologi Militer

Untuk mengatasi kebencian generasi pertama militer Mesir terhadap pelatih Perancis mereka, Muhammad Ali menjadikan Sekularisme sebagai ciri dominan bagi orientasi militer Mesir, bahkan bagi seluruh Bangsa Mesir.

Meskipun banyak perwira Mesir yang terpengaruh dengan arus kebangkitan Islam, terutama di masa-masa puncak kekuatannya di era empat puluhan dan tujuh puluhan. Akan tetapi tetap saja ideologi keislamannya bercampur dengan inkonsistensi. Ini disebabkan kondisi habitat militer yang terisolir, jauh dari lingkungan tarbiah islamiah. Jauh dari suasana ibadah dan ketaatan.

Di awal mula berdirinya Ikhwanul Muslimin, mereka berusaha menembus militer dan berhasil merekrut sejumlah perwira. Tetapi tetap saja program tarbiah mereka tak mampu mengasah konsistensi para perwira tersebut. Saat IM ditimpa ujian pertama, mayoritas perwira tersebut meninggalkannya dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi masing-masing. Bahkan saat militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 1952, mereka justru lebih kejam terhadap IM, dan melancarkan tekanan yang jauh lebih dahsyat dari petinggi militer lainnya. Para perwira tersebut memaksa diri terlibat dalam politik dan menyusup ke lembaga-lembaga pemerintahan. Mereka juga mengibarkan bendera Sekularisme dan memaksakannya kepada rakyat Mesir, setelah berhasil melumpuhkan kekuatan-kekuatan Islam, terutama IM.

Pasca runtuhnya kekuasaan militer tahun 1967, para petinggi militer memberi peluang kepada beberapa ulama Al Azhar untuk masuk ke lingkungan militer. Tujuannya adalah untuk memulihkan semangat dan moralitas para prajurit, agar siap kembali merebut kekuasaan.  Banyak perwira yang terpengaruh dengan suasana islami yang memasyarakat di Mesir pasca kekalahannya. Bahkan sebagian mereka berafiliasi ke Jama’ah Islamiah/Jihadiah dan berpartisipasi dalam pembunuhan Anwar Sadat. Tetapi, pengaruh Islam atas para perwira ini hanya terbatas pada ketaatan pribadi, dan hal ini diperbolehkan asal tetap menjaga nilai-nilai Sekularisme  sebagai ideologi dasar militer.

Lembaga intelijen militer bertugas mengawasi kehidupan pribadi setiap perwira. Siapa saja terdeteksi terkena wabah dakwah Islam langsung akan dipensiunkan. Militer juga menjaga keasrian forum-forumnya, semua orang yang berjenggot atau bercadar di larang bergabung bersama mereka.

Sudah jadi rahasia publik bahwa Marsekal Besar Muhammad Ath Thantawi sangat menjaga shalatnya, terutama shalat Shubuh. Namun ia pernah berkata: “Siapa saja aktivis Islam yang berpikir untuk berkuasa, pasti lehernya akan ditebas.”[1]

Surat Kabar Shorouk, pernah mengangkat ungkapan seorang petinggi militer setahun lalu, sebelum Mursi terpilih. Ia berkata: “Kudeta adalah aksi bunuh diri, tetapi kami siap melakukannya demi menghadang berdirinya negara agama di Mesir.”[2]

Ketiga, Sibuk Berbisnis

1,5 tahun yang lalu Reuters mengeluarkan laporan tentang kekayaan petinggi militer. Laporan tersebut mengungkapkan sekitar sepuluh perwira rendah dan menengah yang telah pengsiun atau masih aktif, merasa muak dengan meningkatkannya kekayaan segelintir perwira senior, sedang mayoritas perwira lainnya terus bersaing.

Seorang perwira berpangkat Mayor mengungkapkan kepada Reuters, “Para perwira militer juga menderita seperti umumnya rakyat Mesir, terutama dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Kekayaan militer terkonsentrasi di tangan beberapa oknum. Seorang perwira harus mencapai pangkat tertentu, agar mendapat bagian dari kekayaan tersebut.”

Dari Mana Kekayaan Tersebut, Sementara Sumber Daya Mesir Sendiri Terbatas?

Dalam sebuah konferensi pers yang belum pernah terjadi sebelumnya dan diadakan oleh Mayor Jenderal Mahmud Nashr, Asisten Menteri Pertahanan Urusan Keuangan, pada 27 Maret 2012. Sang Mayor berbicara tentang aktivitas ekonomi militer yang mampu membuatnya mandiri secara finansial, dan tidak bertumpu lagi pada negara, sedang surplusnya dijual kepada sipil. Hanya surplus ini yang tunduk pada pengawasan negara dan dikenai pajak.

Ia mengakui bahwa beberapa keputusan selama masa transisi tidak benar, sebab diputuskan pada saat yang kurang tepat. Namun, pernyataan paling berbahaya adalah ungkapannya: “Kekayaan militer tidak termasuk harta negara, kami tidak akan mengizinkan negara campur tangan, karena hanya akan merusaknya. Kami akan berperang membela proyek-proyek kami, dan tidak akan mundur dari konfrontasi ini. Hasil keringat yang terkuras sejak 30 tahun lalu, takkan ada yang boleh merusaknya. Siapa pun tidak akan boleh menyentuh proyek-proyek angkatan bersenjata.”

Pernyataan ini mengungkap aspirasi dasar dewan militer, bahwa anggaran dan proyek-proyek militer bersifat independen, dan tidak memungkinkan adanya intervensi dari lembaga politik manapun. Mereka beralasan kapabilitas lembaga sipil tidak bisa dipercaya untuk mengelola anggaran tersebut.

Dua hari sebelum pernyataan sang mayor, sebuah laporan yang diterbitkan oleh Los Angeles Times menyebutkan bahwa investasi militer mencapai 10 sampai dengan 40 % dari ekonomi Mesir.

Surat Kabar Barat lainnya, melaporkan gerakan ekonomi yang dijalankan oleh militer secara lebih detail. Laporan tersebut menyebutkan, bahwa sesuai perjanjian Camp David seharusnya militer mengurangi jumlah pasukannya. Daripada memberhentikan ratusan ribu tentara, militer berinisiatif  mendirikan pabrik untuk mempekerjakan mereka. Pabrik-pabrik tersebut kini telah memproduksi apa saja, mulai dari amunisi, sampai panci masak, pemadam kebakaran, dan peralatan makan.

Militer juga mengelola perbankan, pariwisata, pertanian, SPBU, pusat penyulingan air, perusahaan konstruksi dan perusahaan impor. Perusahaan-perusahaan milik militer terbebas dari pajak, sedang tenaga pekerjanya adalah para tentara dengan gaji antara 17 s/d 28 USD per bulan. Militer juga menanggung makan dan perawatan kesehatan mereka.[3]

Ciri Keempat Militer Mesir, Tunduk kepada Amerika

Poin terpenting dari Camp David tahun 1979 adalah bahwa tentara Mesir berada langsung di bawah pengawasan  Amerika, untuk memastikan mereka steril dari ide anti Israel atau menghambat kepentingan Amerika. Caranya, militer Mesir diikat dengan bantuan senjata dan dana sekitar 1,3 miliar USD setiap tahunnya. Termasuk juga program latihan kontinu untuk perwira-perwira Mesir. Program tersebut bertujuan mengawal pemikiran serta ideologi militer, memodifikasi dan mengarahkannya sesuai kehendak Amerika.

Selama 1/3 abad, Amerika berhasil menjinakkan militer Mesir melalui bantuan-bantuan, yang dimanfaatkan untuk memperbarui peralatan dan melatih pasukannya, dengan tetap menjamin keunggulan Israel dan kepentingan Amerika.

Keempat ciri utama militer ini; disiplin, Sekularisme, bisnis, dan ketundukan kepada AS sangat mempengaruhi psikologi perwira-perwira Mesir. Mereka menjadi kombinasi antara ketaatan mutlak sesuai jenjang komando militer, kebencian terhadap aktivis dan pergerakan Islam, serta ketamakan pada materi dan kekayaan. Kendati demikian, masih ada dari mereka yang peduli terhadap keamanan nasional Mesir.

Dokumen Wikileaks tentang telegrap Amerika tahun 2008 mengungkapkan bahwa Marsekal Ath Thantawi, mantan Menteri Pertahanan Mesir berkomitmen bahwa militer Mesir tidak akan terlibat dalam perang apapun. Ia juga sering mengungkapkan perasaan kurang senang terhadap monopoli AS dalam penanggulangan terorisme.

Intinya, militer Mesir sangat mengetahui garis merah pembatas, dan mereka tidak akan pernah melanggarnya.

Politisasi Militer Mesir

Selama sejarahnya, sering kali militer ikut bermain dalam kancah politik Mesir, meski peran ini sangat bervariasi dalam setiap dekade.

Revolusi Urabi menjadi saksi atas peran militer. Pada tahun 1881, Ahmad Urabi memimpin revolusi melawan Taufik Pasha. Sebagai aksi protes terhadap intervensi Eropa dalam urusan internal negara, dan ditolaknya tuntutan militer. Tentara Inggris langsung saja menumpas pasukan Urabi, dan menjajah Mesir tujuh puluh tahun lamanya. Perwira-perwira Mesir digantikan dengan perwira Inggris. Namun, lambat laun perwira-perwira Mesir kembali memimpin.

Di era tiga puluhan dari abad ke-20, kelas menengah dari masyarakat Mesir dimasukkan ke dalam korps perwira. Mayoritas mereka terpengaruh dengan pemikiran yang berkembang di Mesir. Banyak perwira yang bergabung dengan partai dan organisasi rahasia masa itu. Selanjutnya muncul Gerakan Perwira Merdeka, dan sebagian aggotanya adalah perwira IM. Pada tahun1952 gerakan ini melakukan kudeta, menyebabkan dinonaktifkannya perwira-perwira dari IM, dan terjadi konflik antara IM dengan organisasi lain.

Setelah kondisi militer stabil, banyak perwira yang terjun ke lembaga-lembaga negara, sehingga banyak posisi dan jabatan penting yang dipegang oleh militer. Fenomena ini menyeret negara kepada kemunduran drastis pada tahun 1967. Pelajaran terpenting yang dipetik oleh petinggi militer dari konfrontasi ini adalah bahwa militer tidak seharusnya terlibat urusan politik.

Ini terbukti pada beberapa peristiwa kritis selanjutnya, seperti kekacauan tahun 1977, dan pemberontakan keamanan pusat tahun 86. Pada kedua peristiwa ini, militer turun tangan mengamankan konflik kemudian langsung kembali ke baraknya, tanpa mengambil posisi dan jabatan negara. Semua ini didukung dua faktor utama; militer fokus pada kondisi internal dan tidak campur tangan dalam politik, serta eksistensi perwira di pusat kekuasaan politik.

Namun di akhir era rezim Mubarak, kebobrokan hampir merata di lembaga-lembaga negara, ditambah tersiarnya berita tentang niat Mubarak mewariskan kekuasaaan kepada putranya. Maka militer mencari siasat untuk menggagalkannya. Militer merasa terbantu dengan revolusi 25 Januari, maka secara diam-diam mereka mulai bergerak melalui badan intelijen. Target utamanya Menteri Dalam Negeri yang merupakan tangan kanan Mubarak sekaligus wakil politiknya dari Partai Nasional Demokratik.

Dengan membakar Kantor Mendagri dan Partai Nasional, militer berhasil mengamputasi sayap militer dan politik Mubarak. Sikap pura-pura netral pihak militer dan lembaga intelijen yang dipimpin oleh Sulaiman menyebabkan Mubarak kehilangan semua pendukungnya. Ia sendiri siap menerima solusi apa saja asal tetap berkuasa hingga akhir masa jabatannya, dan militer pun menyetujuinya. Namun, dikarenakan tuntutan rakyat yang begitu keras, militer akhirnya memaksa Mubarak untuk mundur. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Dewan Militer, dan muncullah Abdul Fattah As Sisi, Direktur Intelijen Militer, karena peran besarnya pada revolusi 25 Januari.

Ancaman Besar Abdul Fattah As Sisi

Peran As Sisi baru kelihatan pasca revolusi, meski sebenarnya ia mulai berperan sejak setahun sebelum revolusi 25 Januari 2011. Marsekal Ath Thantawi menugasinya merancang rencana darurat tentang peran apa yang bisa dimainkan militer jika transisi kekuasaan dari Mubarak kepada putranya Jamal benar-benar terjadi.  Dalam draft rencara darurat tersebut, skenario dimulai dengan pemindahan kekuasaan pada Mei 2011, yang akan disertai dengan aksi protes. Sehingga pihak militer terpaksa turun tangan untuk menggagalkan skenario tersebut. Namun setelah revolusi 25 Januari, langkah yang diambil militer berubah total.

Abdullah As Sinawi mengungkapkan: Lima bulan sebelum Mursi berkuasa, aku bertanya kepada seorang petinggi militer, siapa yang akan menjadi Menteri Pertahanan selanjutnya?” Ia menjawab dengan semangat, “Dia yang berada di hadapanmu sekarang,” sambil menunjuk ke arah Abdul Fattah As Sisi, Direktur Intelijen Militer, yang saat itu duduk tepat di sampingnya.

Ia merekomendasikan As Sisi berangkat dari beberapa pertimbangan, di antaranya As Sisi adalah anggota Dewan Militer termuda. Militer sangat membutuhkan darah muda untuk mengimbangi gebrakannya yang selama ini terkesan lamban, karena dipimpin jenderal-jenderal tua. Sudah saatnya generasi tua menyerahkan komando kepada generasi muda. Untuk mengembalikan kedisiplinan angkatan bersenjata, menjaga keamanan nasional, dan meningkatkan mutu pendidikan militer sebagai persiapan menghadapi peristiwa apa saja yang mungkin terjadi.

As Sinawi menambahkan, di sela-sela wawancara yang tidak untuk dipublikasikan namun disaksikan oleh tiga jurnalis senior ini, seorang pemimpin senior militer menegaskan: “Ini bukan pendapat pribadiku, akan tetapi Marsekal Ath Thantawi juga berpikiran sama.” [4]

Berita yang kemudian dipublikasikan oleh As Sinawi, dikuatkan oleh The Wall Street Journal. Dalam laporannya dinyatakan bahwa Marsekal Ath Thanthawi mengajukan nama As Sisi kepada penasehat bidang terorisme Obama, bahwa dialah yang akan menjadi Menteri Pertahanan Mesir selanjutnya.

Dengan kepercayaan ini, As Sisi memonopoli berbagai sikap atas nama militer selama revolusi. As Sisi mengajukan skenario asumsi situasi di meja pertemuan, dan skenarionya untuk mengatasi situasi biasanya selalu menang. Sebagian dari skenario itu bahkan langsung ia ajukan kepada Marsekal Ath Thanthawi, dan biasanya Ath Thanthawi langsung mengambil keputusan tanpa meminta pendapat Dewan Militer.[5]

Yang cukup menarik perhatian adalah kenaikan pangkat As Sisi terbilang sangat cepat dibandingkan petinggi militer lainnya. Normalnya seorang perwira militer berbakti minimal satu atau satu tahun setengah baru bisa naik pangkat. Tetapi hanya dalam enam bulan, As Sisi sudah mendapat amanat lebih tinggi. Rahasianya adalah hubungan dekatnya dengan Marsekal Ath Thanthawi.

Pujian Ath Thanthawi atas As Sisi menjadi buah bibir di kalangan militer, dan memberikan nilai plus baginya. Ath Thanthawi pernah berkata: “Dalam hidupnya, As Sisi hanya melakukan tiga aktifitas, yakni shalat dan membaca Al-Qur’an, bekerja, dan berolah raga.”

Ath Thanthawi memilihnya sebagai Menteri Pertahanan, sedang ia sendiri menjabat sebagai Kepala Informasi dan Keamanan militer, dua posisi yang menambah erat hubungan keduanya. Ini juga menciptakan wibawa tersendiri bagi As Sisi di kalangan perwira. Laporan yang ia tulis, dengan mudah menjatuhkan atau mengangkat kedudukan seorang petinggi militer. Dalam tempo yang cukup singkat, ia mendapat hadiah kedua dari Ath Thanthawi, yakni diangkat menjadi Direktur Intelijen Militer.[6]

As Sisi VS Aktivis Islam

Sejak awal revolusi, semua file dibagikan kepada anggota Dewan Militer. Ath Thanthawi menyerahkan file Ikhwanul Muslimin dan kaum islamis kepada As Sisi. Ia bertugas berkomunikasi dan membuat kesepakatan dengan mereka.

Semenjak masa transisi sampai naiknya Mursi, As Sisi selalu berusaha meyakinkan kaum Islamis bahwa ia adalah bagian dari mereka dan bahwa ia juga mengusung ide reformasi dan perubahan.

Penulis pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin senior Jama’ah Islamiah,[7] yang sejak lama kontra rezim Mubarak. Saya bertanya kepadanya tentang As Sisi. Menurut ceritanya ia telah mengenal As Sisi sejak tahun 1981, saat itu As Sisi masih berpangkat Letnan I, sedang pemimpin senior ini berpangkat Letnan Kolonel. Ia juga termasuk salah seorang perwira yang ditahan akibat terlibat dalam pembunuhan Anwar Sadat. Beberapa bulan kemudian ia dikejutkan dengan secarik kertas dari As Sisi yang bertuliskan: “Mengapa kalian terlalu terburu-buru?”

Ia melanjutkan, setelah As Sisi menjabat Menteri Pertahanan di era Mursi, aku mengunjunginya di kantor Menhan. Aku bertanya kepadanya: “Apa yang kalian perbuat terhadap Mursi?” As Sisi menjawab: “Selama tiga puluh tahun kami melindungi Mubarak yang berideologi nasionalisme. Sekarang yang berkuasa mengusung ideologi kita, kira-kira apa yang akan kami lakukan kepadanya?”

Berbagai sumber juga menyebutkan bahwa As Sisi memiliki hubungan istimewa dengan kaum islamis, bahkan ia sering menghadiri majlis Dr. Salim Al Awa. Sehingga kaum islamis merasa dekat dengan As Sisi, bahkan menganggapnya bagian dari mereka.

Kendati sejak November 2012 As Sisi dengan tegas menyatakan berbeda persepsi dengan istana negara, namun kaum islamis masih saja mempercayainya.

Dr. Umaymah Kamil,[8] penashet Mursi urusan wanita dan keluarga yang juga merupakan salah seorang petinggi IM menceritakan: “Penampilan As Sisi terlihat sangat menipu. Ia berpura-pura familiar dan dekat dengan siapa saja. Namun di hari Senin, saat memberi ultimatum, ia sangat berbeda.

Murad Ali,[9] Juru Bicara Partai Hurriyah wal ‘Adalah mengatakan: “Sejak lama militer memutuskan akan melengserkan Mursi, dan As Sisi tidak bersedia menerima kesediaan Mursi mengajukan konsesi apapun.” Ia menambahkan: “Kami lalai. Kami tak menyangka pengkhinatannya sampai sebegini parah.”

New York Times menulis,[10] pada tanggal 21 Juni As Sisi mengumumkan bahwa konflik sosial antara massa pro dan kontar Mursi semakin buruk, hal ini menuntut militer turun tangan. Ketika Mursi menanyakannya tentang pernyataan ini, ia berkilah bahwa ia hanya bertujuan meredam ketegangan beberapa perwira tinggi militer. Ia cuma berusaha menyerap kemarahan mereka. Mendengar penjelasan ini, Mursi tidak lagi menyadari bahwa kudeta sudah sangat dekat.

Mantan Jubir Kepresidenan, Yasir Ali, menceritakan situasi pasca ultimatum 48 jam As Sisi. Ia mengungkapkan: “Pasca ultimatum tersebut, As Sisi berangkat ke istana negara, setelah shalat berjama’ah yang diimami Mursi selesai, saya bertanya kepada As Sisi, mengapa harus mengeluarkan ultimatum seperti ini, sebab rakyat akan mengira kita tidak sejalan. Dengan enteng ia menjawab: “Jangan beri mereka kesempatan membuat kita berbeda pendapat.”

Artinya, tipuan As Sisi atas presiden terus berlanjut hingga 48 jam sebelum kudeta.

Basim Audah,[11] mantan Menteri Bulog yang mengundurkan diri pasca kudeta menyatakan, bahwa ia mengenal As Sisi selama enam bulan menjabat sebagai menteri. As Sisi adalah tipe orang yang suka berpikir dan menimbang terlebih dahulu sebelum membuat perencanaan, untuk kemudian mengambil keputusan. Apa yang kita lihat sekarang, bukanlah hasil karya satu hari. Namun telah didahului dengan rencana matang dan berbagai kesepakatan siap aksi selama beberapa minggu, bahkan beberapa bulan sebelumnya.

Artinya, mekipun Mursi mengetahui konspirasi sejak dini, tetap saja ia tidak memiliki banyak pilihan. Sebab, As Sisi telah menguasai militer melalui lembaga intelijen dan lembaga kenegaraan lainnya yang sama-sama memusuhi kaum Islamis, seperti polisi, media, kehakiman, dan lembaga eksekutif.

Mursi telah berusaha mendekati beberapa perwira tinggi militer, tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, para perwira militer sangat menjunjung tinggi disiplin militer.

Lantas, Apa Motif Konspirasi As Sisi?

New York Times,[12] menyimpulkan bahwa motif langsung dari perubahan ini adalah sikap Mursi yang secara tegas menolak intervensi Amerika. AS mengusulkan agar Mursi mundur dari pemerintahan dan menerima pemerintahan baru, dengan gubernur dan menteri-menteri baru, yang memiliki otoritas legislatif penuh.

Pada detik-detik akhir jabatannya dan di bawah penjagaan ketat militer, Mursi dihubungi oleh Menlu sebuah negara Arab, yang menawarkan solusi akhir demi menyelesaikan konflik dengan para jendral.  Para penasehat menegaskan bahwa Menlu Arab tersebut bertindak sebagai negosiator untuk Washington. Setelah itu, Isham Al Haddad, Penasehat Politik Presiden berpindah ke ruang sebelah dan menyampaikan penolakan Mursi kepada Dubes AS, Anne Patterson. Sebelum kembali, Isham sempat berbicara dengan Suzan Rice, Penasehat bidang Keamanan Nasional. Dan setelah itu, militer langsung memulai aksinya.

Penerjemah pembantu berujar: “Mama akan segera memberi instruksi untuk menghentikan semua permainan ini pada jam yang telah ditentukan.” Ini adalah sindiran terhadap negara Barat sponsor konspirasi ini dengan sebutan ‘Mama Amerika’.

Mengapa Amerika Melakukan Semua Ini?

Pada awalnya, Amerika bertaruh atas Mursi setelah Ikhwanul Muslimun mengirimkan pesan yang dapat membuat Amerika tenang. IM berjanji bahwa mereka siap menjaga kepentingan Amerika di wilayah Timur Tengah, menjamin keamanan Israel, dan siap berpartisipasi dalam kampanye memerangi terorisme. Amerika menginginkan pemerintah model Erdogan untuk dunia Arab, yang mampu menetralisir Jama’ah Jihadiyah dan menyuguhkan model demokrasi yang tidak berbenturan dengan peradaban Barat.

Beberapa lama kemudian, pusat-pusat riset Barat menyimpulkan bahwa Mursi adalah model pemimpin Islam radikal, dan lebih dekat dengan pemikiran Sayyid Qutb. Keraguan AS semakin meningkat saat krisis Ghaza terjadi, dimana Mursi ikut campur sehingga Hamas  keluar sebagai pemenang. Mursi juga maju beberapa langkah seolah bertindak sebagai pemimpin dunia Islam,  setelah menyampaikan pidato tegasnya di Taheran. Rasa takut dari badai revolusi kemudian merambah dengan cepat ke negara-negara sekutu Amerika di Timur Tengah. Ditambah lagi keluhan Israel akan keberhasilan Mursi. Intinya, pemerintahan Mursi harus segera diakhiri dengan metode yang telah dipaparkan di atas.

Namun, senjata malah makan tuan. Kaum islamis langsung menyadari konspirasi ini. Sekarang mereka berperan sebagai pemrakarsa yang berusaha mengubah skala hegemoni lokal, regional, dan internasional. Mereka berhasil memimpin gerakan di lapangan. Masyarakat yang dulunya antipati akibat distorsi media yang cukup dahsyat, kini berbalik simpati kepada mereka. Panji Islam akan berkibar, lalu menebar ke segala penjuru dunia, dengan izin Allah Ta’ala.

Hasan Ar Rasyidi

______________________________

[1] Shorouk, 02/04/2012.

[2] ibid

[3] Reuters, 14/04,2013.

[4] Shorouk, 20/08,2012.

[5] Fajr, 12/05/ 2013.

[6] ibid

[7] Wawancara Penulis dengan pemimpin senior, Januari 2013.

[8] Anatolia Agency, 10/07.2013.

[9] The Guardian, 05/07, 2013.

[10] Morsi Spurned Deals، Seeing Military as Tamednewyorktimes– By DAVID D. KIRKPATRICK and MAYY EL SHEIKH, 06/07/ 2013.

[11] ElShaab, Senin, 15/07/2013.

[12] New York Times, 06/07/2013.