Menjadi Nahkoda Keluarga Terbaik

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

» خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي «

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam berinteraksi dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Saudaraku,
Hadits di atas menjadi parameter kualitas suami sebagai nahkoda dalam memandu perjalanan bahtera keluarga. Apakah ia menjadi nahkoda keluarga yang baik atau sebaliknya, menjadi pemimpin keluarga yang buruk.

Dalam kitabnya ‘Tuhfat Al Ahwadzi’, syarh Sunan Tirmidzi, al-Mubarakfuri mengomentari hadits di atas dengan ucapannya, “Karena kesempurnaan iman akan mengantarkan seseorang kepada kebaikan akhlak dan mendorong berbuat baik kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, karena istri adalah tempat mencurahkan kasih sayang disebabkan kelembutan dan kelemahan fisiknya.”

Imam Syaukani menegaskan dalam karyanya ‘Nail Al Authar’, “Pada hadits ini terdapat penandasan bahwa suami yang paling pantas disifati dengan kebaikan adalah suami yang terbaik dalam mempergauli istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, memberi warna manfaat dan menghindarkannya dari segala ragam mudharat.

Jika seorang suami bersikap demikian, maka dia adalah orang yang terbaik, namun sebaliknya jika ia buruk dalam menampilkan sikap, maka dia telah terlempar dalam status suami yang buruk.

Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau saksikan seorang suami bila bertemu dengan istrinya maka ia menjadi orang yang buruk perangainya, pelit dalam memberi nafkah, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, royal dan hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang diukirnya.

Suami yang bersikap demikian, maka ia telah terhalang dari taufiq (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perilaku tersebut.”

Saudaraku,
Sesak dada ini bahkan seperti terbakar ulu hati ini kala membaca surat kabar bahwa ada seorang suami yang berbuat aniaya atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Terlebih terhadap istri pendamping hidupnya. Yang selama ini telah membuktikan kesetiaannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang luas. Siang dan malam. Pagi dan petang. Suka dan duka. Ber-ada dan tiada. Dalam tawa dan air mata. Melewati musim yang berbeda lagi berwarna.

Pertanyaannya adalah siapa yang memilih dia menjadi pendamping hidup kita? Bukankah kita sendiri? Dan dengan penuh percaya diri, kita melafadz-kan ijab Kabul di depan wali dan saksi serta khalayak yang tak sepi

Salah dalam memahami keinginan pasangan, kurang merasakan apa yang dirasakan olehnya, kekhilafan kecil dan keseiramaan hati yang terkadang memudar, wajah istri yang selalu cemberut, sering memicu konflik dan kemelut dalam keluarga.

Ketika hal ini tidak dipahami oleh suami, sering menjadi penyebab keretakan dalam rumah tangga, sehingga kemarahan meledak, kata-kata kasar mengalir, perabot dapur kadang menjadi kambing hitam.

Para suami,
Kalau kita menyaksikan dengan mata kepala bagaimana sulitnya keadaan istri kita saat mengandung buah hati kita. Perjuangan antara hidup dan mati saat melahirkannya. Ribetnya menyusui dan tetek bengeknya. Dan seterusnya.

Cobalah sesekali kita melakukan pekerjaan rutin istri kita sehari-hari. Tentu waktu satu pekan sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga bukanlah pekerjaan sepele dan ringan. Memasak, mencuci pakaian, mengganti popok si kecil. Belum lagi kakaknya yang pipis di sana sini. Dan lain sebagainya, bukan pekerjaan ringan.

Saudaraku,
Oleh karena itu, bersyukurlah kita kepada Allah swt yang telah mengaruniakan kita istri pendamping hidup. Ia hadir untuk kita sayangi, dan bukan untuk disakiti. Ia telah mencurahkan kasih sayangnya kepada kita, kenapa kita membentaknya, memarahinya, menghancurkan barang-barang miliknya dan melukai perasaan serta menjadikan hatinya hancur berkeping-keping? Bagaimana tanggung jawab kita di hadapan-Nya nanti pada hari kiamat?

Buktikanlah, bahwa kita adalah nahkoda keluarga yang bijaksana. Kita adalah sosok suami dambaan istri dan anak-anak kita. Yang menegur dengan cinta. Menasihati dengan senyum. Dan bukan dengan amarah membara. Seolah-olah dia adalah musuh dalam selimut kita.

Renungkanlah perkataan Fudhail bin Iyadh, “Aku bisa merasakan bahwa diri ini berada dalam maksiat dari sikap istri dan kendaraan yang aku tumpangi.” (Min Akhlaq al-Salaf, Ahmad Farid).

Nasihat senior tabi’in ini menyadarkan kita bahwa ada korelasi yang sangat erat antara kondisi keimanan dan keshalihan kita dengan sikap istri, anak-anak dan kendaraan milik kita.

Jika kita melihat istri kita tidak menghadirkan seular senyuman terindah dan tidak menyiapkan teh hangat ber-merek sari wangi cinta saat kita datang dari tempat kerja dengan membawa selaksa keletihan dan segumpal, sadarilah bahwa ada masalah dengan kepribadian kita. Ada error dalam laptop cinta kita. Ada debu-debu dosa dan kotoran maksiat dalam dinding hati kita.

Jika kita merasakan bahwa anak-anak berubah sikapnya. Tiada keceriaan saat bersua dengan kita. Tidak menuruti perintah dan keinginan kita. Membantah ucapan kita. Dan yang senada dengan itu. Ketahuilah bahwa kita sedang berada di zona yang berbahaya. Arena dosa dan maksiat. Tapi mungkin kita tidak menyadarinya.

Jika kita sering kesal dengan kendaraan milik kita. Berjalan lambat tak seperti keinginan kita. Mogok saat kita berkejaran dengan waktu. Sering keluar masuk tempat service. Sadarilah bahwa ada yang salah dalam kehidupan kita. Ada yang kurang pas dengan kepribadian kita. Perlu berbenah dan memperbaiki diri.

Saudaraku,
Dahulu Rasulullah s.a.w bisa berlomba lari dengan Aisyah dan istri-istri beliau yang lain. Jelas bukan untuk meraih piala dalam lomba tersebut. Tapi beliau ingin mengalirkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati istri-istri beliau. Demikian pula untuk merekatkan cinta dalam keluarga beliau.

Di masa kita sekarang, hampir-hampir kita tidak pernah lagi mendengar ada seorang suami berlomba lari dengan istrinya, termasuk kita. Yang ada pada saat ini ialah seorang istri yang lari terbirit-birit ketakutan karena dikejar suaminya yang sedang marah membara.

Terakhir saudaraku,
Renungkanlah perkataan Ahmad bin Harb, “Jika terhimpun pada diri seorang istri enam perkara, maka akan memantul keshalihannya secara sempurna; memelihara shalat lima waktu, menta’ati suaminya, perilakunya membuat Rabb-nya ridha terhadapnya, memelihara lisannya dari ghibah dan adu domba, zuhud terhadap kemewahan dunia dan sabar dalam menghadapi tribulasi hidup.”

Saudaraku,
Apakah kita telah menjelma menjadi sosok nahkoda keluarga yang terbaik? Tanyakanlah kepada istri dan anak-anak kita, karena mereka yang paling mengenal kita luar-dalam.

Mudah-mudahan kita telah memiliki sosok istri sebagaimana yang telah digambarkan oleh Ahmad bin Harb rahimahullah. Dan hanya kita yang mampu mengukurnya.

Ya Rabbana, jadikanlah istri dan anak-anak kami penyejuk mata hati kami. Dan jadikanlah kami imam bagi para suami yang muttaqin. Amien.