Menikah di Jalan Dakwah

Pernikahan, sungguh bukan hal yang sederhana dan mudah. Sesederhana mendapatkan teman berbagi cerita, mendapatkan orang yang siap menanggung/melayani kita, memberi nafkah, maupun melahirkan anak, atau semudah membangun rumah dan mengisinya dengan berbagai perabot rumah tangga, belanja untuk menunjang kebutuhan hidup, mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan maupun rutinitas harian belaka.

Bukan, bukan itu. Sungguh, jauh lebih dari itu, terutama bagi seorang pejuang dakwah. Ia membawa visi dan misi yang jauh melampaui usianya, zamannya, dunianya. Menikah adalah menggenapkan separuh DiinuLlah, membangun dan melalui sebuah gerbang yang kan mengubah kehidupannya. Ia menikah karena hendak membangun peradaban Islam – menegakkan syahadat di bumi Allah. Ia menikah dengan menyusun satu demi satu pondasi idealisme. Dari “idealisme saya” menjadi “idealisme kita” yang melahirkan sumbangsih bagi dakwah, karya-karya nyata bagi ummat.

Akan tetapi, hei! Alangkah tidak sesederhana mengatakannya. Di saat idealisme melambung tinggi menuju tempat-tempat terjauh yang dapat dijangkau oleh dakwah, tetapi pondasi “idealisme kita” belum kuat, apakah yang akan terjadi? Friksi-friksi itu tak dapat terhindar! Saudaraku, mengertilah, kita tak bisa sembarang menghakimi “Setelah menikah kok fulan/fulanah hilang dari peredaran ya?”, “Kok bisa-bisanya ia meninggalkan amanah yang ada?”, “Dia kok lebih mementingkan urusan pribadi (keluarga)nya sih?” dan cibiran-cibiran serupa lainnya yang naudzubillah secara tidak sadar malah mengecilkan makna ikatan suci pernikahan yang melahirkan sebuah amanah baru yang lebih mendalam perkaranya, yang mungkin pernah kau bayangkan mengenainya namun tak dapat kau jiwai sebelum kau mengalaminya.

Mengertilah saudaraku,bahwa di dalam diri seorang mujahid-mujahidah yang ber’azzam untuk dakwahnya, sesungguhnya bara idealisme itu tak pernah mati atau meredup. Ia hanya sedang bertransformasi dengan wujud yang tak pernah terbayangkan olehmu yang belum mengalaminya. Ia – mereka – sedang mengasah pijakannya agar menjadi batu loncatan yang meledakkan momentum luar biasa menuju perubahan yang adidaya bagi dakwah dengan senantiasa mengharap ridho Allah SWT. Sungguh saudaraku, ada kekhawatiran dalam diri mereka.

“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)

Pun senantiasa mereka camkan,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)

Mengertilah saudaraku, bahwa jauh di dalam diri mereka, terjadi pergulatan paradigma, ego, emosi, rasa, harapan, realita, prioritas, idealisme, keyakinan, dan semua itu sedang mereka perjuangkan dalam ikhtiar mereka dengan tetap menjunjung dakwah di mana pun, di atas bumi yang sedang mereka pijak. Doa-doa, sujud-sujud panjang mereka untuk seluruh saudara-saudara seperjuangan di manapun, serta keyakinan dan tawakal yang tak habis-habisnya bahwa Allah masih menjaga mereka di dalam barisan-barisan para mujahid yang senantiasa berjuang mengibarkan panji-panji Islam. Bahwa Allah memberkahi pernikahan mereka.

Apakah pernah kau bertanya terhadap dirimu sendiri, “Apa yang bisa saya bantu bagi saudara/saudari saya ini agar ia tetap dapat berkontribusi bagi dakwah di dalam barisan ini?” ataukah kau memilih berpikir, “Saya mengerti, dunianya sekarang memang sudah berbeda, biarkanlah ia menjalani hidup barunya, kita tak perlu mengharap lebih darinya.” atau yang lebih ekstrem, “Ya, dia sekarang sudah berbeda, lebih baik tak perlu lagi dilibatkan.” Apakah kau puas dengan hanya dapat “mengerti” kondisinya sekarang tanpa berusaha merangkulnya kembali?

Apakah kau membayangkan betapa rindu mereka berada di dalam satu barisan dengan orang-orang shalih yang senantiasa mengingatkan mereka akan lezatnya berukhuwah,nikmat saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran serta saling menanggung peluh dan air mata saudara-saudara seperjuangan dalam menyerukan Islam?

Satu hal yang perlu kau ingat, mereka adalah manusia. Ada saatnya mereka merasa tak berdaya untuk menopang diri dari beratnya perjanjian yang hanya tersebut tiga kali dalam Al-Qur’an ini. Terkadang, mereka ingin sekali menangis, mengadu, tetapi kepada siapa? Dan untuk apa? Ini adalah harga dari pilihan yang secara kesatria telah mereka putuskan. Inilah ujian dari Allah yang memang harus mereka jalani saat ini. Mereka sedang bertahan dalam perjanjian kepada Sang Rabb. Mereka tak pernah berniat untuk mengumbar pahit yang sedang mereka rasakan untuk menarik simpati maupun mencari-cari pembenaran untuk membuat posisi mereka nyaman apalagi untuk sekedar membela diri dari cibiran maupun pujian yang beredar di sekeliling mereka karena mereka yakin bahwa mereka harus tetap teguh dalam menghadapinya. Ini adalah bagian yang juga harus mereka lalui untuk dapat naik ke derajat yang lebih mulia. RadhiAllahu ‘anhum wa radhu anh.

“Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku lantaran ketidaktahuan mereka”, (Abu Bakar RA)

Maka dari itu saudaraku, jika ada di antara kita, saudara-saudari kita yang telah menggenapkan separuh Diinnya, kuatkanlah mereka dengan berhusnuzhon terhadap mereka, bayangkanlah wajah mereka dalam doa-doa kita, tetaplah menyemangati mereka dalam menghidupkan bara-bara perjuangan menuju kemenangan hakiki di dalam hati mereka. Karena sungguh, amat berharga satu tatapan penuh cinta karenaNya, seulas senyum, maupun sekedar ajakan untuk berkumpul bersama dalam barisan ini kembali meskipun saat itu mereka tengah menunaikan amanah mereka di tempat lain.

Oleh: Nesya Eka Putri, Depok
Facebook