Mengenang Syaikh Wahbah Az Zuhaili

Allahummaghfirlahu warhamhu wafu anhu. Tiba-tiba beranda facebook saya dipenuhi berita-berita tentang wafatnya Syeikh Dr. Wahbah al-Zuhaili. Namanya Jodoh, Kematian dan juga Krisis moneter itu ada persamaan, mereka bisa datang secara tiba-tiba tanpa permisi.  Oleh karena itu, untuk mengenang beliau, saya menulis seklumit saja tentang riwayat hidup dan buah karyanya.

Syeikh Wahbah dikenal sebagai pakar Fiqh Kontemporer di abad ke 20. Lahir pada tahun 1932 M di Damaskus, Suriah. Ayahnya bernama Musthafa al-Zuhaili adalah seorang petani yang sederhana. Pasca tamat dari studi doktoral di Universitas al-Azhar-Kairo, Syeikh Wahbah menjadi dosen di Damaskus, menghadiri seminar internasional di berbagai negara dan menjadi tim redaksi di jurnal dan beberapa majalah.

Pada tahun 2014 beliau masuk daftar 500 tokoh Muslim berpengaruh di dunia (The Muslim 500: The Worlds 500 Most Influential Muslims, 2014/15, hal 103). Tokoh berpengaruh kebanyakan melakukan sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya. Menurut kesaksian murid-muridnya, Syeikh Wahbah meluangkan waktu sekitar 15 jam per hari untuk menulis dan membaca. Sehingga beliau mampu membuahkan karya-karya yang monumental setingkat ensiklopedi (Nuim hidayat, Budaya ilmu, hal 132). Karya monumentalnya adalah al-Fiqhul islami wa Adillatuh dan Tafsir al-Munir.

Sosok Syeikh Wahbah pertama kali saya ketahui bermula pada 11 Januari 2011. Kala itu beliau mengisi Kuliah tamu Islam dan Tantangan Peradaban Modern di UIN Malang.   Dalam kuliah tamu tersebut, Syeikh Wahbah menyatakan, untuk menjadi mufti tidaklah mudah. Menurutnya, seorang mufti harus mengetahui maqashidus syariah (tujuan syariah).

“Maqashidus syariah merupakan takaran untuk memilih pendapat yang tepat di antara perbedaan pendapat yang ada. Sayangnya, sebagian orang yang mengaku ulama justru lemah dalam penguasaan ilmu ini,” katanya.

Selanjutnya pada tahun 2013 saya kembali bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran brilian beliau. Adalah sahabat saya dari alumni Universitas al-Ahqaf-Yaman, Ahmad Nuh Tamang yang ketika dia menyelesaikan tesisnya tentang Kafaah di Kalangan Kader Inti PKS. Dia merujuk ke al-Fiqhul Islami wa Adillatuh. Nuh Tamang mengutip pendapat Syeikh Wahbah tentang Kafaah dalam pernikahan.

Dalam pandangan Syeikh Wahbah al-Zuhaili, Kafā`ah dianggap penting dalam perkawinan karena ini menyangkut kelangsungan hidup antara pasangan suami istri. Yaitu terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam kehidupan suami-istri sehingga dalam kacamata ‘urf  pihak perempuan dan walinya tidak dipermalukan dengan pernikahan tersebut.

Beralih ke pembahasan  Tafsir al-Munir. Tafsir ini berjumlah 16 jilid dan diterbitkan oleh Darul fikr Lebanon. Di Indonesia, terjemahan kitab tersebut diterbitkan oleh Gema insani sebanyak 15 jilid. Pendekatan yang digunakan di dalam Tafsir al-Munir antara lain:

1. Linguistik, menguraikan aspek Gramatikal dan Balaghahnya.

2. Hukum, menggunakan analisis hukum dalam arti luas (bukan fiqh) sebagai domain pendekatannya.

3. Sosiologis, selalu mendekatkan pemahaman ayat kepada realitas kehidupan sosial.

Dilihat dari segi metodenya Tafsir al-Munir menggunakan metode analitik (tahlili). Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari sistimatikanya yang mengikuti sistematika mushaf dan dibahas secara mendalam dan menyeluruh atau dalam bahasa syeikh Wahbah bayan madlulat al-ayat bi diqqah wa syumulah (penjelasan ayat-ayat secara detail/teliti dan mencakup) dengan melibatkan hampir seluruh instrumen tafsir, baik instrumen primer, sekunder maupun komplementer (Jurnal al-Fikr, Vol 14 Tahun 2010, hal 35-36).

Selamat jalan Syeikh, semoga Allah swt menempatkan Anda ke dalam Surga-Nya.

Wallahu a’lam bishowwab

Fahd Ahmad Arifan