Menanamkan Akhlaq Mulia Pada Anak

“Setiap anak adalah suci” sabda sang nabi, “Orangtuanya lah yang akan membentuknya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi”.

Jika kita mencermati sabda Rasulullah ini, lekat-lekat kita akan menemui juga dalam teori filsafat empirisme yang diusung oleh John Locke yang kelak mempelopori aliran psikologi behaviorisme. Teori tersebut bernama “tabularasa” yang berarti meja lilin yang putih, Menunjukan bahwa  anak adalah bersih seperti selembar kertas putih bersih. Kemudian lingkungan sekelilingnya yang kan membentuk perilakunya. Hingga dalam teori psikologi behavioristik dikenal dengan fungsi f(x)= B (E,O), B adalah perilaku (behavior), E adalah lingkungan (Environment), O adalah Individu (organism). Sehingga dalam sabda beliau yang lain, Rasulullah menyebutkan “pilihlah tetangga sebelum memilih rumah, pilihlah teman sebelum menempuh perjalanan” menunjukan arti pentingnya lingkungan terhadap pembentukan perilaku seseorang. Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa

Begitu juga dalam membentuk karakter (akhlaq) seorang anak. Fungsi lingkungan adalah faktor tak terelakan. Maka keluarga adalah sebuah lingkungan pertama yang akan mempengaruhi dan membentuk karakter perilaku anak. Dan orang tua adalah figure penting pembentuk lingkungan yang kondusif  sebagai pembentuk karakter anak. Dan untuk membentuk karakter perilaku serta penanaman nilai pada anak. Berikut ini penulis nukilkan beberapa metode nabawi- metode nabi, dalam membentuk perilaku anak.

Dengan Kisah-Kisah

“Ajarkanlah sastra” ujar Umar Ibn Al Khaththab, “Kepada anak-anakmu agar mereka menjadi pemberani.” Mengajarkan sastra, kisah-kisah hikmah penuh pesan moral adalah sesuatu yang sangat menarik bagi anak. Metode dogeng, bercerita, akan lebih mudah diterima anak. Dan  metode ini cukup efektif menanamkan konsep-konsep ke dalam ruang fikir anak-anak. Seorang bijak mengatakan “show it don’t tell it” tunjukan saja jangan mengatakan. Maksud dari menunjukkan disini adalam memberikan gambaran kepada anak. Kemudian anak diminta membuat kesimpulan apa yang bias diambil dari kisah tersebut. Mengajarkan anak untuk berlaku jujur misalnya. Akan teramat sukar ketika orang tua mengajarkan “jujur” secara definitif kepada anak. Karena konsepsi tentang “jujur” masih belum terbangun dalam ruang berfikir anak. Maka metode yang terbaik dalam mengjarkan perilaku “jujur” adalah dengan mengisahkan cerita-cerita yang termaktub didalamnya unsur-unsur kejujuran. Misalnya tidak berbohong, berkata sebenarnya. Dengan metode cerita ini, suatu pengjaran akan lebih mudah terserab oleh anak-anak karena saat itu anak merasa senang. Dan pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dilakukan  ketika hati dalam perasaan senang.

Berdialog Langsung Pada Inti Persoalan

Satu hal yang menarik dari agama islam adalah kejelasan dalam setiap aturan. Qulil Haq au kaana murron, katakanlah yang benar meski itu pahit. Apa-apa yang mendatangkan keburukan dan bahaya atau madharat pastilah sesuatu yang terhukumi haram dan harus dijauhi dan ditinggalkan.  Maka frase dan kalimat yang digunakan dalam hal ini adalah bentuk kalimat larangan, yang bisanya berawal dari kalimat “jangan.” Cukup menarik membahas bagian ini, ketika para motivator ataupun konsultan parenting dalam sesinya mengatakan agar tidak menggunakan kata “Jangan”. Seperti halnya “jangan bayangakan gajah berkaki dua dan berbelalai merah” namun justru yang hadir dibenak adalah bayangan gajah berkaki dua dan bebelali merah. Sehingga  kemudian  terbentuk persepsi bahwa kata “jangan” adalah haram diucapkan oleh seorang orangt tua kepada anak. Tapi tunggu ! Mari sejenak kita kembali kepada Al-Quran, dalam surah luqman ayat ke 13.  Luqman adalah salah seorang hamba Allah yang terbaik, ia  memberikan  dasar pengajaran kepada anak tentang pondasi keimanan dan diawali dengan kata “jangan.” “yaa bunayya, Laa tusyrikbillahi., wahai anakku Janganlah kalian mempersekutukan Allah.”

Tanpa mengecilkan teori yang dibangun dan diangkat oleh para praktisi parenting. Tapi sungguh ada sebuah teori yang lebih agung. Teori yang termaktub dalam alquran. Maka untuk beberapa kondisi terkadang kalimat larangan justru menjadi solusi. Kalimat larangan biasanya menunjukkan akan adanya bahaya besar jika hal tersebut dilakukan. Seperi halnya adalah perbuatan syirik ia akan mendatangkan bahaya yang besar di akhirat.  Contoh lain saat anak bermain dengan pisau yang tajam. Adalah salah ketika orang tua mengatakan “ nak kemarikan pisaunya” bias jadi juistru anak akan memainkan pisaunya sehingga membahayakan orang lain. Tapi saat dikatakan “nak, jangan bermain pisau!” kalimat ini akan langsung menghentikan aktivitas anak dari bermain pisau.

Berbicara Sesuai dengan Kadar Akal Anak

Khatibun naas bi qadri uqulihim, bicaralah kepada manusia berdasar kepada kadar akalnya” demikian sabda Rasulullah. DR.  Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid dalam kitabnya Manhaj Tabiyyah An Nabawiyyah Lith Thifi yang diterjemahkan menjadai Propethic Parenting, menjelaskan seperti halnya makhluq hidup yang lain, anak-anak memiliki keterbatasan yang tidak mampu dilampauinya: akal dan pikirannya sedang dalam masa pertumbuhan. Jika dalam teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget, menytakan adanya pentahapan perkembangan kognisi pada anak; tahap sensori motor (lahir hingga 2 tahun), tahap pra operasional (2 th hingga 7 tahun), tahap operasional kongkrit (7 th hingga 11 th), dan tahap operasional formal ( 11 tahun keatas). Masing-masing tahap memiliki ciri dan metode tersendiri dalam pengajarannya. Pada  tahap sensori motor misalnya, anak akan mampu mempelajari sesuatu dengan segala sesuatu yang terindera dan serta bejar tentang permanensi objek. Kemudian pada tahap berikutnya, pra operasional; memiliki kecakapan motorik. Contoh kongkritnya adalah ketika mengajarkan kepada anak tentang perilaku hidup jujur. Maka cara pengajaran adalah dengan bukti-bukti perilaku yang menunjukkan adanya kejujuran. Baru ketika telah tebentuk konsep tentang kejujuran di ruang fikir anak, kita bisa mengenalkan tentang jujur secara definitif, pada tahap operasional formal, dimana anak-anak  telah berkembang penalaran abstraknya.

Oleh: Ardhianto Murcahya, S.Psi. , Solo
FacebookBlogTwitter