Memupuk Kepercayaan

Menolak, itulah reaksi pertama yang pada umumnya dilakukan oleh seseorang apabila ada orang yang belum dikenalnya meminta bantuan untuk dipinjami uang. Terlebih jika nominal uang itu cukup besar. Namun sungguh berbeda jika hal itu menimpa pada seorang Muslim. Itulah yang terjadi pada seorang saudara yang saat ini tengah mencoba belajar untuk mengabdi pada instansi pemerintah di lingkungan Kementerian Keuangan.

Kisah itu bermula saat Wahid, seorang adik Kelas yang sama-sama pernah menempuh pendidikan di Sebuah Sekolah Tinggi Kedinasan di Tangerang menelepon salah seorang sahabat saya, sebut saja namanya adalah Ahmad. Ia mengatakan kepada Ahmad bahwa seniornya waktu ia masih SMA sedang butuh uang 5 Juta rupiah untuk pengobatan ibunya. Ahmad tanpa berpikir panjang mencoba membantunya. Ia ambil semua uang yang ia miliki baik cash maupun yang ada di tabungannya. Namun usaha yang ia lakukan hanya mampu terkumpul 4 juta rupiah. Maka uang itu pun ia transfer ke senior Wahid. Wahid Mengatakan bahwa seniornya tersebut hanya akan meminjam 1 minggu saja, Akhirnya setelah satu minggu berlalu, senior Wahid tadi menelepon Ahmad, tidak untuk membayar hutangnya namun ia ingin meminjam lagi kepada Ahmad sejumlah 10 Juta untuk operasi ibunya, karena penyakit ibunya tambah parah.

Ahmad adalah pribadi yang tidak bisa membiarkan saudara sesama muslim menderita, masalah yang menimpa orang lain itu adalah masalah baginya. Maka tanpa berpikit panjang, Ahmad mengambil semua uang yang ia investasikan di beberapa jebis usaha. Tepat 10 juta rupiah ia dapatkan dari mengambil semua investasinya itu. Ia kirimkan uang itu kepada senior Wahid. Tiga hari berlalu sejak Ahmad mengirimkan uang 10 Juta, senior Wahid menelpon lagi meminta bantuan kepada ahmad uang 10 juta dengan alasan yang sama. Kali ini Ahmad sedikit ragu, karena di samping ia sudah tidak punya uang, mulai muncul rasa was-was dalam dirinya. Namun ia selalu yakin akan hadist dari Rasulullah SAW, barang siapa menolong saudara sesama muslim, maka Allah akan menolongnya saat di hari kiamat. Maka ia pun meminjam Uang kepada beberapa sahabat-sahabat dekatnya. Dengan izin Allah SWT, terkumpullah uang 10 juta rupiah. Maka ia kirim uang tersebut kepada senior Wahid.

Dua bulan berselang sejak hari dimana Ahmad mengirim uang 10 Juta untuk yang kedua kalinya, namun tidak ada tanda-tanda senior Wahid akan membayar hutang-hutangnya. Ahmad mulai ragu, tapi ia tidak pernah sekalipun menagih uangnya secara langsung, ia hanya bertanya kondisi ibu senior Wahid, apakah sudah baik atau belum. Namun hingga kini hutang itupun tetap belum di lunasi karena memang senior Wahid tersebut sedang dilanda berbagai cobaan yang menyebabkan ia belum bisa menepati janjinya tersebut.  Senior Wahid sangat ingin membayar hutangnya pada Ahmad, namun  Allah berkehendak untuk  menguji ukhuwah dan kesabaran di antara keduanya. Ahmad hanya bisa bersabar dan hanya yakin akan janji Allah SWT. Ia tidak ingin ada yang mengatakan bahwa sudah hilang rasa kepercayaan antara sesama muslim.

Ahmad melakukan semua hal diatas karena berharap ridho Allah, cukup itu saja. Maka apapun kemungkinan yang terjadi ia sudah menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT. Percaya, kata ini cukup mewakili apa yang ia lakukan. Percaya dan keyakinan yang mendalam kepada Allah telah menggerakkan hatinya untuk meminjami uang kepada saudaranya dalam rahim iman, walaupun ia belum mengenalnya. Percaya kepada Allah membuatnya menjadi lebih tenang. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan  membuat ia tidak menyesal.  Percaya akan sesama  muslim membuat ia menjadi pribadi yang mudah menolong muslim lainnya.

Teringat sebuah kisah di zaman sahabat, yang telah diceritakan kembali dengan apik oleh ustad Salim A. Fillah dalam bukunya, Dalam Dekapan Ukhuwaah. Didalam salah satu kisah di dalamnya diceritakan tentang seorang sahabat Rasulullah SAW. Seorang Salman Al-Farisi bersedia menjadikan dirinya sebagai jaminan atas sebuah Qisash, dari seorang pemuda yang belum dikenalnya sama sekali. Pemuda tadi akan menerima qisash karena telah membunuh seseorang, namun sebelum tiba waktu qisash ia meminta izin untuk menyelesaikan amanah yang belum ia selesaikan. Dibutuhkan orang yang mau menjaminkan dirinya, dan Salman lah yang mau menjadi penjaminnya. Kematian, adalah konsekuensi yang akan di terima oleh Salman apabila sampai pada waktu pelaksanaan qisash, sang pemuda belum kembali. Walaupun kisah tersebut telah di abadikan dengan akhir yang baik, ada sebuah pesan menarik yang dapat kita ambil saat Umar bin Khattab bertanya mengapa Salman rela menjadikan dirinya sebagai penanggung kesalahan orang yang belum ia kenal sama sekali. Inilah jawaban Salman yang patut kita renungkan baik-baik, “Sungguh jangan sampai orang bicara bahwa tidak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.”

Maka sebuah keniscayaan bumi ini akan damai, andai seorang muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap muslim lainnya. Tidak ada lagi perpecahan, tidak ada lagi saling merasa benar. Kepercayaan kepada Allah dan hari akhir yang tertancap kuat  pada diri seorang muslim adalah salah satu hal yang menandakan bahwa ia adalah orang yang beriman. Maka mempertahankan kepercayaan kepada Allah adalah hal yang mutlak. Dan dengan itu maka apapun yang menimpa seorang muslim, maka ia akan selalu terima dengan syukur. Karena sungguh kepercayaan  akan  berbuah keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Allah. Dan itulah hakikat  iman yang sebenarnya.