Memahami ‘Empat Musim’ dalam Keluarga

Seorang ibu rumah-tangga, yang sekaligus karyawati sebuah kantor, mengeluhkan ketidaknyamanan hubungannya sebagai suami-istri. Ibu tersebut menuliskan panjang lebar tentang kondisi rumah tangganya dalam inbox Facebook saya bahwa ia dan suaminya sedang dalam “bad communication” (komunikasi yang jelek).

Sang suami hanya sibuk dengan urusan kantornya, dan sang istri pun demikian juga. Bila mereka pulang ke rumah, sudah sama-sama capeknya. Sang suami menghabiskan waktunya di depan laptop atau televisi, setelah mengantuk, masuk kamar tidur dan tidur. Meskipun masih ada “basa-basi” sedikit, namun kemesraan yang dulu mekar dan semerbak bak bunga yang indah, kini terasa hilang. Ekspresi cinta yang sering ia berikan dan komunikasi yang sering ia lontarkan, sangat berkualitas,”Sayang, I love you..”, sudah tidak terdengar lagi.

Padahal perjalanan pernikahan telah di laluinya selama 10 tahun dengan 4 anak yang cantik dan gagah. Ibu itu pun mengatakan bahwa ia sudah melakukan semuanya yang terbaik (minimal menurutnya), tapi respon yang diberikan suami tidak seperti di awal-awal pernikahan, penuh kehangatan, penuh kasih-sayang dan saya pun merasakan hidup berdua terasa begitu indah. Tapi saat ini, ia merasakan semakin sebel pada suaminya. Demikian Ibu tersebut menutup kalimat demi kalimat yang telah dikirim dalam inbox Facebook saya.

Sahabat Golden Family Indonesia yang berbahagia,

Sungguh, interaksi suami-istri dalam sebuah keluarga selalu berubah-ubah. Ya, seperti juga hati kita. Bukankah pernikahan itu menyatukan dua pikiran dan dua perasaan? Benar. Perubahan sikap dan perilaku, naik-turunnya emosi, memperlakukankan dengan baik atau buruk pasangan satu dengan yang lainnya, akan terjadi di sepanjang perjalanan pernikahan.

Dalam kondisi seperti ini, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual harus kita aktifkan, sehingga ekspresi cinta dan kualitas komunikasi bisa terwujud secara terus menerus dan terasa indah. Bila tidak, ego kita justru yang akan mendominasinya. Kita diberikan Tuhan telinga, tapi tidak digunakan untuk mendengarkan (maunya perkataannya saja yang harus didengar), diberikanNya mata tapi tidak digunakan untuk mengamati, dan di berikanNya hati, tapi tidak digunakan untuk memahami. Akibatnya Suami tidak memahami “pesan” yang disampaikan Istri dan sebaliknya. Akibatnya, silahkan terka sendiri…

Kondisi-kondisi seperti ini, menurut peneliti DR.Gary Chapman dilambangkan dengan 4 musim pernikahan, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin.

Beliau juga mengatakan bahwa perubahan-perubahan kondisi pernikahan seperti diatas kadang-kadang terjadi diluar dari kendali kita, atau ada perubahan yang kita inginkan tetapi terjadi diluar perkiraan kita. DR.Gary juga mengatakan bahwa respon yang kita berikan pada saat menghadapi situasi dan masalah tersebut akan menentukan “musim” yang akan terjadi dalam pernikahan. Menurut penelitiannya, kebanyakan pasangan pernikahan merespon setiap masalahnya tergantung dari rangsangan dari luarnya. Kalau rangsangan dari luarnya baik maka ia pun akan merespon baik, dan sebaliknya, sehingga respon-respon seperti ini sifatnya sangat reaktif, bukan pro aktif. Bukankah respon reaktif adalah respon yang biasa dilakukan oleh hewan reptil?

Padahal dalam dirinya ada seperangkat “instrument” yang bisa diaktifkan untuk memberi respon yang selalu baik, meskipun rangsangan dari luarnya tidak baik. Bukankah setiap respon kebaikan pasti menghasilkan kebaikan pula? Demikian infomasi dari kitab suci.

Musim Semi

DR. Gary Chapman mengatakan bahwa pernikahan yang memasuki Musim Semi adalah awal dari sebuah pernikahan, penuh keceriaan membangun kehidupan baru bersama sang kekasih hati. Berbagai pengalaman dalam perjalanan pernikahan musim ini benar-benar akan dilewatinya dengan penuh kesenangan dan selalu optimis. Selalu “positive thinking”. Dalam musim ini, “ketajaman” pasangan dalam berkomunikasi sangat bagus, tutur katanya yang indah dan santun, “Sayang…masak apa hari ini?” (komunikasi verbal) maupun non verbal seperti wajahnya nampak ceria, tatapan mata penuh kesejukan dan kasih.

Musim Panas

Musim panas dilambangkan sebagai kondisi pernikahan yang sedang bahagia, kedua pasangan merasakan kepuasan yang mendalam, seluruh komitmen-komitmen terlaksana dengan baik. Kedua pasangan saling peduli dalam menjalankan roda kehidupan keluarganya. Di musim ini, rata-rata pasangan belum mencapai puncak finansialnya, boleh jadi mereka belum memiliki anak sebagi buah pernikahan.

Musim Gugur

Musim gugur dilambangkan sebagai kondisi pernikahan yang mulai terasa adanya saling mengabaikan satu dengan yang lainnya. Di awal musim gugur ini, pernikahan masih ada keindahan. Pasangan rata-rata tidak “peka” telah terjadi “suatu” perubahan antara suami-istri, mungkin karena orang lain masih melihat betapa bahagianya pasangan keluarga ini. Di sini kecerdasan emosi sangat berperan.

Bila dibiarkan, kondisi seperti ini akan mengalami kekosongan emosi dan ketidakharmonisan pasangan semakin terasa berat. Bila pasangan pernikahan mengalami musim ini, saran saya, segera mencari “pertolongan” agar bisa kembali ke musim semi dan musim panas, karena bila terlambat, biasanya pasangan akan sadar ketika kondisi telah memasuki musim dingin (membeku).

Musim Dingin

Sebuah kondisi pernikahan yang penuh dengan pertengkaran-pertengkaran lalu tidak ada komunikasi dan tidak ada ekspresi cinta antara suami-istri. Semuanya jadi “beku”, dingin seperti es. Tanda-tanda yang lainnya adalah adanya kekerasan, sikap dan tutur kata yang tidak layak didengar. Dan ketika ada salah satu pasangan yang mencoba membicarakan hubungan mereka, biasanya berakhir dengan argumentasi yang menyakitkan dan tidak berujung pada penyelesaian.

Bila pernikahan memasuki musim dingin ini, saran saya, jangan menyerah, lihat orang-orang yang hidup di Kutub Utara dan Selatan, mereka tidak pernah menyerah bahkan mereka membuat perlindungan-perlindungan seperti mantel tebal, model rumah salju, dan lain-lain. Kita harus membuat “perlindungan” agar tidak terjebak dalam musim dingin dalam pernikahan dengan tetap fokus pada konteks seperti masa-masa awal pernikahan yang begitu indah. Jangan biarkan “pikiran” kita diganggu oleh konteks yang lain. Konteks yang kita pegang diantaranya adalah keputusan “Misi Keluarga” yang telah kita pilih dan sudah kita rancang di awal pernikahan.

Sebaiknya dibuka kembali catatan misi tersebut. Bila muncul “konteks” yang tidak mendukung terwujudnya misi yang kita sudah sepakati (suami-istri), maka singkirkanlah.

 

Twitter              :@amirzuhdi

Facebook         : http://www.facebook.com/dr.amir.zuhdi

Email                 : [email protected]