Memahami ‘Dar Al Islam’

A. Pengertian Dar Al Islam

Dar Al Islam disebut juga dengan beberapa istilah di antaranya khilafah al islamiyah (kekhalifahan Islam), imarah al mu’minin (kepemimpinan kaum beriman), dan juga disebut dengan ad daulah al islamiyah (negara Islam). Dar Al Islam secara bahasa diartikan rumah Islam, rumah (dar) dalam pengertian bahasa Arab artinya bangunan yang memiliki halaman dan penghuni. Secara istilah yang dimaksudkan dengan dar al islam saat ini adalah negara Islam, lawannya adalah dar al kufr, negara kafir atau negeri kafir atau disebut juga dar al harb, negeri kafir yang tidak memiliki ikatan damai dengan negara Islam.

Para ulama memberikan definisi dan batasan tentang dar al islam berikut beberapa pandangan mereka :

  1. Para ulama Asy Syafi’iyah mengatakan dar al islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslimin seperti Baghdad dan Bashrah, atau para penduduknya masuk Islam seperti Madinah dan Yaman, atau ditaklukkan secara paksa seperti Khaibar dan Mesir, atau ditaklukkan dengan damai seperti Makkah, maka wilayah itu milik kita dan kaum kafir diwajibkan membayar jizyah. (Qamus al Fiqhi)
  1. Menurut para ulama Hanabilah (pengikut Imam Ahmad rahimahullah) bahwa negara Islam adalah semua negeri yang dibangun kaum muslimin atau ditaklukkan seperti Bashrah dan negeri-negeri wilayah Syam. (Qamus al Fiqhi)
  1. Pendapat madzhab Hanafiah, As Sarkhasi berkata: “ … Semua tempat yang kaum Muslimin tidak merasa aman di dalamnya maka itu adalah dar al harb.   Sesungguhnya dar al Islam adalah nama untuk sebuah tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin, tandanya adalah dengan amannya kaum Muslimin … dan tidak bisa disebut sebuah negeri itu dar al Islam kecuali bila kekuasaan kaum kafir yang memerangi kaum muslimin (ahlul harb) telah lepas semua dari situ ” (Syarhus Siyar)

Ini adalah tiga pendapat yang satu sama lain saling menguatkan dengan makna yang serupa. Inti dari ketiga pendapat di atas adalah bahwa sebuah wilayah bisa disebut dar al islam bila dimiliki kaum muslimin, baik karena dibangun kaum muslimin, ditaklukkan oleh kaum muslimin, atau penduduknya masuk Islam, maka itu adalah dar al islam dan tandanya adalah kaum muslimin merasa aman di situ, ini adalah pendapat mayoritas ulama. Selanjutnya sebagian ulama menilai sebuah negara itu dar al islam atau bukan dengan lebih menekankan pada penerapan syari’at Islam sebagai sebuah ukuran. Di antara pendapat mereka adalah :

  1. Asy Syarbini dalam kitab Al-Iqna’ didefinisikan tentang darul harb (negara kafir yang tidak tidak memiliki perjanjian damai) adalah: “ bila hukum kafir yang lebih dominan di situ.”
  2. Al-Kisani dalam Bada’i’ush Shanai’ berkata: “Tidak ada perselisihan di kalangan para sahabat kami bahawa dar al kufr akan menjadi dar al Islam dengan realitas hukum-hukum Islam yang berlaku padanya.”
  3. Ibnul Qayyim dalam Ahkamu Ahliz Zimmah berkata: “dar al Islam adalah tempat yang diduduki kaum muslimin dan berlaku hukum Islam padanya. Dan kalau tidak berlaku hukum Islam padanya, bukanlah sebagai dar al Islam walau berdekatan dengan dar al Islam.”
  4. Dalam definisi lain, sebagian pengikut madzhab Hanafiah berpendapat, “Darul harb akan menjadi negara Islam dengan berlakunya hukum kaum muslimin di situ, seperti mendirikan solat Jumaat dan id-id, walau orang kafir asli ada di situ.” (Ad-Durarul Hikam).

Dalam pandangan ke dua dari sebagian ulama ini, mereka memberi batasan bahwa negara disebut dar al islam bukan hanya dimiliki atau dikuasai kaum muslimin tetapi harus berlaku juga syari’at Islam di dalamnya. Ketiga pandangan ulama selain Asy Syarbini hanya menjelaskan secara umum bahwa realitas hukum Islam harus berlaku di situ tanpa merinci apakah harus semuanya atau sebagiannya sebab semakin jauh dari jaman Rasul s.a.w selalu ada saja syariat Islam yang ditinggalkan. Sedangkan Asy Syarbini menegaskan bahwa sebuah negara disebut negara Islam bila mayoritas hukum Islam yang berlaku di situ, bila sebaliknya maka itu disebut dengan negara kafir harbi.

B. Tuntunan Sunnah tentang Dar Al Islam

Menurut Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim bin Isma’il Al Isma’ili Al Jurjani (w. 371 H) :dalam kitab I’tiqad Aimmatil Hadits beliau berkata :

“Dan mereka (para ulama ahli hadits) melihat bahwasanya dar al Islam, bukan dar al harb berbeda dengan kaum mu’tazilah, adalah selama di dalam negeri itu boleh dikumandangkan adzan dan iqamat secara terang-terangan dan para penduduknya bisa melaksanakan sholat di dalamnya secara bebas dan aman.”

Artinya selama negeri itu adalah negeri milik kaum muslimin dan tanda kepemilikan adalah adanya kebebasan dan keamanan dalam menjalankan urusan kaum muslimin termasuk ibadahnya, dalam hal ini batasannya adalah selama masih bisa melaksanakan sholat berjama’ah secara terang-terangan dengan adzan dan iqamat yang dilakukan terang-terangan maka negeri itu masih disebut dar al islam, walaupun tidak semua syari’at Islam berlaku di dalamnya karena untuk mendapati negeri yang seluruh syari’atnya berlaku di dalamnya terutama setelah sekian jauh dari jaman kenabian maka itu adalah sulit dan ini sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Dari Anas bin Malik bahawa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa menyerang musuh di waktu fajr akan terbit sambil mendengarkan dengan saksama suara azan. Bila baginda mendengar azan, baginda tidak menyerangnya dan bila tidak mendengarnya baginda menyerangnya.” (H.R Muslim)

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahawa suara azan boleh menahan serangan kepada para penduduknya, kerana itu tanda keIslaman mereka.” (Syarh Muslim). Dari sini di dapat keterangan bahwa pembatas antara negeri Islam (dar al Islam) dengan negeri kafir yang tidak terikat ikatan damai (dar al harb) adalah panggilan azan.

Dari Isham al-Muzani, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila mengirim pasukan mengatakan: Bila kalian melihat masjid atau mendengar azan jangan membunuh seorang pun.” (HR Abu Daud no.2634 dan Tirmizi no. 1549. Hadits ini didhaifkan oleh Syeikh al-Albani dalam Dha’if Sunan Abu Daud no. 565).

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Awthar menjelaskan, “Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa mendapati mendapati masjid dalam sebuah negeri boleh dijadikan alasan untuk membatalkan serangan. Dan boleh menjadi tanda keIslaman penduduknya walau tidak ada didengar azan di situ. Kerana Nabi memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dengan sebab dua perkara: adanya masjid dan suara azan. ”   Adapun pendapat yang mengatakan bahwa negara Islam dilihat dari realitas hukum Islam yang berlaku di dalamnya – selain Asy Syarbini – maka ini bersifat umum, artinya tidak semua hukum syari’at harus tegak secara sempurna baru sebuah negara bisa disebut dar al islam, ini adalah sesuatu yang ideal dan itu terjadi di jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan jaman keempat khalifah rasyidah (Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a, dan Ali r.a). Setelah itu selalu ada saja hukum yang lepas dari pelaksanaannya, di setiap jaman dan semakin jauh dengan jaman Rasulullah semakin lebih banyak lagi yang lepas sampai kemudian kembali nanti pada hadirnya yang kedua kalinya era khilafah ala minhajinnubuwwah menjelang akhir jaman. Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan batasan minimal bahwa sebuah negara masih bisa disebut dar al islam selama masih bisa dikumandangkan azan, iqamat, dan sholat secara terang-terangan, sebab untuk mencapai segala sesuatunya ideal adalah hal yang sulit di setiap masa. Tentang ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberitakan :

Diriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili r.a bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Akan lepas tali Islam sesimpul demi simpul, jika telah lepas satu simpul maka manusia akan meninggalkan simpul yang lainnya, dan yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir adalah sholat. ” (H.R Ahmad, Baihaqi, At Thabrani, Hakim dalam Mustadrak, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya.)

Artinya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengetahui sebelum wafatnya bahwa syari’at Islam akan lepas dari pangkuan ummat Islam baik lepas pelaksanaannya tapi undang-undang tertulisnya ada atau lepas pelaksanaan dan undang-undangnya sekaligus, bahkan beliau mengatakan itulah yang pertama kali lepas. Tetapi walaupun begitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menganggap negara yang tidak melaksanakan syari’at Islam otomatis disebut sebagai darul kufr sampai nampak dengan jelas bahwasanya sholat sudah tidak bisa ditegakkan lagi secara terang-terangan di negeri tersebut, tanda sholat tidak bisa ditegakkan lagi secara terang-terangan adalah dengan tidak adanya azan. Bila suatu negara telah jelas melarang adzan dan sholat di negeri itu, maka jelaslah dan tidak ada udzur sama sekali untuk mengatakan bahwa itu adalah darul kufr. Artinya Rasulullah memberi jarak batasan dar al islam dari yang paling ideal yaitu di era beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan khalifah rasyidah sampai yang paling minimal, tetapi masih bisa disebut dar al islam walaupun sangat tidak ideal, tidak lantas membawa dar al islam pada satu contoh yang ideal saja dan itu susah, kecuali nanti menjelang hari akhir akan ada lagi yang seperti itu.

C. Realitas Keislaman di Indonesia

Dilihat dari penjelasan di atas, jelas sekali bahwa Indonesia adalah dar al islam walaupun syari’at Islam tidak tegak secara sempurna di negeri ini, karena itu kewajiban kita lah untuk menyempurnakannya. Tetapi walaupun syari’at tidak tegak secara utuh, tapi pokok-pokok syari’at telah tegak di sini seperti dibolehkannya sholat bahkan presiden dan menterinya ikut sholat berjama’ah khususnya di sholat jum’at dan hari raya, nikah harus sesuai syari’at Islam, sudah ada undang-undang zakat, presidennya muslim, menteri-menterinya mayoritas muslim, dakwah tidak dilarang, hukum waris sudah ada hukum waris Islam walau belum dijadikan satu-satunya acuan hukum waris, selain itu negeri ini juga telah bebas dari penjajahan kaum kafir dan menjadi milik kaum muslimin, tinggal yang belum seperti hudud, qishash dan hukum-hukum jinayat yang lainnya, serta bagian-bagian lain yang menjadi kewajiban negara untuk melaksanakannya.

Dan realitasnya, banyak orang tidak mengerti Islam itu hanyalah karena kebodohan semata walaupun ada yang benar-benar ingkar, sehingga yang diperlukan justru adalah melakukan pengajaran dan pembinaan keislaman di kalangan masyarakat yang sekarang ini sudah mulai jarang. Wallahu a’lam bish shawab.

Ustadz Rudi Wahyudi, SIP