Maisyah Payah, Dakwah Goyah

Jangan pernah menyepelekan masalah maisyah! Sebab, jika aspek ini lemah, bisa berpengaruh terhadap dakwah. Ada begitu banyak aktivis dakwah yang dahulu mungkin adalah kader andalan, cerdas, dan aktif berdakwah kemana-mana tapi setelah menikah ternyata ada banyak perubahan.

Sebut saja Firman (bukan nama sebenarnya), sekarang pakaiannya lusuh, gaya bicara ngelantur, dan sikapnya aneh. Malas ibadah, sering mengganggu anak-anaknya dan hubungan dengan tetangga juga jadi berantakan. Setelah di telisik, ternyata sudah dua bulan terakhir maisyahnya amburadul. Sejumlah pekerjaan dan usaha yang dijalaninya kandas di tengah jalan. Kondisi ini semua membuat istrinya tidak tahan dan menuntut cerai.

Ada lagi kasus yang hampir sama menimpa Andi (bukan nama sebenarnya). Kesulitan ekonomi yang melilit membuatnya sering lupa diri. Tanpa sebab yang jelas, guru SD ini sering memukul istrinya. Yang lebih parah, ia juga pernah memukuli mertuanya sampai masuk ICU. Terang saja istrinya tidak terima dan menuntut cerai. Jadilah rumah tangga muslim dengan empat anak ini seperti kapal pecah. Ekonomi keluarganya morat-marit, penghasilan dari mengajar kalau ditotal tidak lebih dari Rp 500.000. Di tengah harga-harga yang terus melambung tinggi jelas angka segitu tidak cukup. Inilah yang membuatnya pusing tujuh keliling. Istrinya pernah coba-coba membantu dengan jualan sayuran di pasar, tapi kekurangan yang harus ditutupi sang istri terlalu banyak.

Kasus-kasus seperti di atas kadang membuat kita terheran-heran, mengapa mereka seperti kehilangan daya kreatifitas? Kalau di lihat dari pendidikannya, keduanya punya pendidikan yang lumayan. Firman sarjana, dan Andi diploma. Setidaknya dengan bekal pendidikan tersebut mereka bisa mencukupi kebutuhan primer. Apalagi selama ini guru ngajinya banyak memberikan motivasi yang berkaitan dengan jihad, yang berarti harus sungguh-sungguh, termasuk mencari penghidupan.

Kekurangan ekonomi memang menjadi problem klasik umat Islam. Persoalan ini seperti menemui jalan buntu. Pasalnya, para pelaku dakwah sendiri sebagian besar termasuk kelompok yang mengalami kekurangan. Bisa kita lihat, berapa persen aktivis dakwah/dai yang mendanai dakwahnya dari kantong sendiri. Jangakan proyek dakwah yang besar, semacam dakwah ke pelosok terpencil yang butuh biaya transportasi, untuk yang rutin saja sebagian besar masih mengandalkan “amplop” dari jama’ah.

Idealnya seorang dai itu memang harus punya usaha sendiri, agar tidak bergantung pada jamaah yang di dakwahi. Seorang dai dituntut untuk memiliki penghasilan lebih, karena selain harus mencukupi kebutuhan rumah tangga ia harus mendanai dakwahnya sendiri. Dalam dakwah dikenal prinsip sunduquna juyubuna, dana dakwah dari kantong sendiri.

Berbagai kondisi para aktivis yang jelas berbeda dengan masyarakat kebanyakan (katakanlah dalam hal pakaian untuk istri dan anak perempuan) ini harus menjadi perhatian para aktivis dakwah. Tak hanya dituntut kerja keras, tapi juga kreatifitas. Di tengah kegiatan-kegiatan dakwahnya, setiap aktivis harus jeli menangkap peluang ekonomi yang ada. Firman dan Andi mungkin tidak perlu stress seandainya mereka mau menggali potensi dirinya sebagaimana yang dilakukan Indra (bukan nama sebenarnya). Di tengah kesibukan mengajarnya di sebuah SMP, dia nyambi beternak ikan hias dengan modal 3 akuarium. Kini di rumahnya bertengger ratusan akuarium penuh ikan. Penghasilannya pun tak main-main, minimal 25juta per bulan. Lebih besar dari gajinya sebagai guru. Kegiatan ini sama sekali tidak mengganggu aktifitas mengajarnya karena bias dilakukan di sela-sela kesibukannya sebagai guru.

Ketekunan memang akan menjadi penentu keberhasilan. Namun sayang, ketekunan seringkali masih menjadi masalah umat Islam. Mayoritas muslim masih gagal dalam berbisnis. Salah satu faktor penyebabnya adalah kultur masyarakat yang cenderung menjadi pegawai daripada pengusaha. Akibatnya mereka tidak memiliki sense of enterpreunership atau jiwa wirausaha.

Bisnis adalah bidang yang harus digeluti dengan sungguh-sungguh. Namun yang terjadi, masyarakat kita melakukannya dengan sambil lalu saja. Tanpa perencanaan dan tanpa planning yang jelas, akibatnya sering kandas di tengah jalan. Sungguh, etos kerja yang buruk! Banyak yang gagal berbisnis juga disebabkan karena lemahnya networking.

Menurut Ateng Kusnadi, SE, presiden direktur Ahad Net Internasional, akibat penjajahan panjang yang dialami bangsa Indonesia ini membentuk mental budak para penduduknya. Mereka lebih senang jadi pegawai negeri, bekerja pada perusahaan orang lain asal menghasilkan uang besar. Padahal kalau kita sadar, sikap semacam itu membuat kita tetap di bawah.

Membuka usaha sendiri memang butuh keberanian. Karena beresiko rugi, sehingga banyak orang lebih memilih jadi pegawai. Tapi, jika punya tekad yang kuat dan serius menjalaninya tak ayal keberhasilan akan ditemui. Sekarang ini, sudah saatnya cara pandang umat Islam yang salah terhadap bisnis harus dirubah.

Wallahu a’lam