Kongres 57 PBB, Ancaman Kedaulatan Bangsa dan Penghinaan terhadap Rakyat

Komisi Perempuan PBB ( Commission on the Status of Woman) mengadakan pertemuan pada tanggal 4-15 Maret 2013 di kantor pusat PBB di New York. Pertemuan ini bertujuan mengevaluasi negara-negara dalam merealisasikan konvensi-konvensi tentang perempuan dan anak (seperti konvensi CEDAW, piagam Beijing dan lain-lain).

Pada setiap kongres akan diusung piagam baru berupa hasil-hasil kesepakatan (Agreed Conclusion) yang dimaksudkan untuk memperkuat pelaksanaan piagam tersebut oleh Negara-negara secara utuh dan sesegera mungkin. Entah kenapa, pertemuan-pertemuan penting yang membahas instrument internasional yang sangat serius seperti ini seolah luput dari media masa. Hasil pertemuan ini akan manjadi seperti undang-undang internasional yang akan mengontrol perilaku manusia dan dunia seluruhnya, diseluruh lini kehidupan, baik social budaya, politik, melalui konfrensi internasional yang melahirkan sejumlah dokumen dan konvensi yang wajib dilaksanakan oleh seluruh Negara peserta yang menandatanginya. Dan tentunya yang akan mewakili pemerintah Indonesia pada kongres tahunan ini adalah menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Sebagaimana diketahui, piagam-piagam tersebut (seperti konvensi CEDAW, Piagam Beijing, dll) tidak menghormati perbedaan agama dan budaya penduduk bumi, dan malah mengusung budaya baru yang sarat dengan hal-hal yang menyalahi syariat. PBB juga memaksakan penandatangan konvensi tersebut kepada Negara-negara lewat tekanan ekonomi seperti memberikan berbagai bantuan dengan syarat penandatangan, rativikasi dan penerapannya. Selain itu, PBB juga melakukan tekanan politik yang luar biasa. Dan lewat konvensi-konvensi tersebut, PBB membuka jalan untuk mengintervensi privasi kehidupan berkeluarga bahkan sampai ke persolan hubungan suami istri yang sangat privasi, begitu pula hubungan bapak dan anak-anaknya dengan dalih melindungi perempuan dan anak gadis dari kekerasan.

Persatuan Ulama Muslim Internasional “International Union for Muslim Scholars (IUMS)” yang merupakan representasi dari seluruh ulama umat islam memandang bahwa penegakan keadilan dan pemberian hak-hak fitrah perempuan merupakan bagian persolan masyarakat itu sendiri yang terdiri dari dua unsur dasar yaitu laki-laki dan perempuan. Dari dasar pemahaman ini, perhatian khusus terhadap hak-hak perempuan diberikan berdasarkan prinsip saling melengkapi dan keseimbangan serta pembagian peran yang dimaksudkan untuk mewujudkan kebaikan, kebahagiaan dan keharmonisan dalam keluarga yang merupakan inti bagi masyarakat yang bahagia. IUMS mengamati bahwa beberapa kongres PBB terkadang mengarah pada hal yang merusak dan mengancam keluarga. Salah satunya yang sedang berlangsung saat ini yakni kongres 57 tanggal 4-15 Maret 2013 di New York).

Kongres yang sedang berlangsung ini (kongres 57 tanggal 4-15 Maret 2013 di New York) akan diusung sebuah piagam dengan tema: “Elimination and Prevention of All forms Violence Against Women and Girls” atau “Menyingkirkan dan Mencegah Seluruh Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Gadis” ternyata tidak sesuai dengan makna judul sebenarnya. Untuk lebih jelas memahami bahaya piagam baru yang akan diusung dalam kongres ini, cukup kita ketahui bahwa “kekerasan terhadap perempuan” menurut PBB adalah mencakup berbagai bentuk perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran dan dalam penetapan hukum.

Dan berikut hasil kajian dari Komite Islam Internasional untuk Perempuan dan Anak (IICWC) terkait kongres yang sedang berlangsung saat ini bahwa PBB menganggap seluruh hal berikut sebagai kekerasan terhadap perempuan yang harus dihapus:

  1. Pengkhususan peran keibuan bagi perempuan dianggap tidak menghasilkan upah, menyebabkan pemiskinan terhadap perempuan dalam keluarga sementara laki-laki mendapat keutamaan karena bekerja diluar rumah dan mendapatkan penghasilan;
  2. Menganggap kepemimpinan laki-laki dalam keluarga (al-qowamah) merupakan kekerasan terhadap perempuan;
  3. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh syariat islam untuk saling melengkapi, seperti: hukum pernikahan, hukum perceraian, poligami, iddah, mahar, hukum waris dan lain-lain;
  4. Hak suami dalam menggauli istrinya, dimana PBB memasukan hubungan legal (syar’i) antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi atas keinginan suami tanpa kehendak istri atau pada waktu-waktu yang tidak disukai istri dianggap sebagai pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape). Dan jika suami menyentuhnya maka hal tersebut dainggap pelecehan seksual Semua hal tersebut terkandung dalam “kekerasan seksual” menurut perspektif PBB;
  5. Batasan-batasan wajib bagi kebebasan seksual perempuan dan gadis remaja, menolak pemikiran kendali seutuhnya perempuan terhadap jasadnya, melarang remaja putri mengubah jenis kelaminnya jika ia menghendaki (Undang-undang sanksi tindak kriminal perzinahan dan penyimpangan seksual);
  6. Wali remaja putri saat menikah
  7. Tidak diberikannya alat kontrasepsi, tidak ada toleransi terhadap penyimpangan seksual sebagai cara untuk terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkan;
  8. Pernikahan anak gadis di bawah usia 18 tahun;
  9. Tidak diberikannya nasab yang legal bagi anak hasil perzinahan (nasab bapak yang berzinah);

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka piagam yang baru akan mencakup tuntutan sebagai berikut:

  1. Mengganti kepemimpinan laki-laki dalam rumah keluarga (al-qowamah) dengan partnership, pembagian peran yang merata dalam keluarga antara laki-laki dan perempuan (nafkah, penjagaan anak dan urusan rumah tangga);
  2. Sama dalam hukum-hukum pernikahan seperti diabaikannya hal-hal berikut: nafkah laki-laki untuk keluarganya, iddah, mahar, poligam, dan dibolehkannya pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim, dll);
  3. Laki-laki dan perempuan sama dalam warisan;
  4. Pengabaian izin suami untuk safar (perjalanan istri), bekerja, keluar rumah atau menggunakan alat kontrasepsi;
  5. Mencabut kewenangan suami untuk menceraikan dialihkan kepada hakim serta pembagian harta gono-gini pasca perceraian;
  6. Memberikan kewenangan istri untuk mengadukan suaminya dengan tuduhan: pemerkosaan atau pelecehan seksual. Dan lebih khusus lagi sanksi hukum yang akan diberikan kepada sang suami sama dengan pelaku pemerkosaan yang bukan suaminya (orang asing);
  7. Memberikan kebebasan seksual sepenuhnya kepada remaja putri, selain kebebasan memilih kecenderungan seksualnya dan kebebasan memilih jenis pasangannya (yaitu kebebasan memilih melakukan hubungan seksual yang alami atau yang menyimpang), menggunakan alat kontrasepsi disertai penambahan batas minimum untuk menikah menjadi diatas 18 tahun;
  8. Menyediakan sarana-sarana pencegahan kehamilan untuk remaja putri (seperti kondom), memberikan pelatihan cara penggunaannya, serta membolehkan aborsi untuk menyingkirkan kehamilan yang tidak diinginkan (atas nama hak-hak kebebasan seksual dan reproduksi);
  9. Menyamakan sepenuhnya hak-hak pezinah dengan istri sah, dan antara anak-anak hasil zinah dengan anak-anak yang sah;

Dalam majelis tersebut juga akan dievaluasi pelaksanaan piagam yang telah dikeluarkan Majelis 53 dengan judul “Pembagian Utuh Seluruh Peran Pengasuhan antara Laki-Laki dan Perempuan “. Dan menjadi focus pembagian tugas dan tanggung jawab di rumah antara laki-laki dan perempuan (peran pengasuh dan nafkah) adalah terkait kesalah pahamanan arti “al-qowamah” yang salah satunya adalah tanggung jawab penuh laki-laki untuk menafkahi keluarganya.
Juga akan dihasilkan berbagai ketetapan berdasarkan usulan beberapa Negara yang berkisar pada dua tuntutan utama yang sama yakni: persamaan gender (gender equality), pemberdayaan perempuan (women empowerment).

Secara khusus usulan tersebut disampaikan oleh Amerika, beberapa Negara Eropa dan jepang. Selain itu, PBB juga menggunakan otoritasnya untuk mendesak Negara-negara menandatangi protocol opsional CEDAW, yang memberikan hak intervensi langsung dalam urusan internal pemerintah dan merujuk pemerintah tersebut ke pengadilan criminal internasional (ICC) jika terjadi pengaduan adanya undang-undang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (seperti UU waris, poligami, perwalian,dll) yang alam perspektif PBB termasuk undang-undang diskriminasi/ discriminatory law. Dan sikap PBB tersebut melanggar kedaulatan Negara dan penghinaan terhadap kehendak rakyat.

Tentunya kita sebagai bangsa yang berdaulat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama samawi serta berbudaya luhur harusnya menolak semua hal yang bertentangan dengan agama-agama samawi baik yang terdapat pada piagam-piagam sebelumnya seperti CEDAW, Beijing, dll atau piagam selanjutnya yang sedang maupun akan dibahas dan ditandatangani. Dan menyerukan kepada delegasi pemerintah peserta kongres untuk merespon harapan publik untuk menggunakan hukum islam dan mereservasi piagam-piagam tersebut serta menolak menandatangi tambahan pada piagam-piagam tersebut yang bertentangan dengan syariat islam yang diusulkan oleh berbagai Negara untuk menjadi undang-undang.

Selain itu, delegasi pemerintah diharapkan menolak menandatangi piagam yang sedang dibahas dalam pertemuan 57 komisi perempuan PBB dan tidak mengabaikan reservasi yang dibuat saat penandatanganan kesepakatan-kesepakatan tentang hak-hak perempuan dan anak serta keterlibatan dalam penandatangan opsional protokolat apapun yang dilampirkan pada kesepakatan-kesepakatan konvensi internasioanl tersebut merujuk kepada Alim ulama (cendekiawan) demi menjaga jati diri dan kedaulatan bangsa.

Oleh: Zahra, Tangerang Selatan
Blog

Ditulis oleh: Habibah Soleman