Komitmen dalam Dakwah

Menjadi aktivis dakwah itu enak. Bisa selalu sibuk, semua kegiatannya merupakan hal-hal yang diridhai Allah, banyak teman bahkan banyak saudara yang siap saling membantu dalam kebaikan dan takwa.

Ahmad, sebut saja namanya begitu, tidak setuju dengan pendapat saya. Menurutnya, menjadi aktivis itu melelahkan. Mengurus kuliah saja sudah menguras waktu dan tenaga, bagaimana pula jika ditambah mengurusi dakwah yang kegiatannya 24 jam sehari, tujuh hari sepekan?

Saya jawab, cinta membuat semua kesibukan itu terasa mengasyikkan. Tanpa cinta, upaya yang menghabiskan waktu dan tenaga memang terasa melelahkan. Dengan cinta, segala keletihan berubah menjadi keasyikan. Semakin keras berupaya, semakin asyik rasanya. Seperti naik roller coaster atau arung jeram, semakin menantang semakin diminati.

Badrun, juga bukan nama sebenarnya, tidak setuju dengan pendapat saya. Menurutnya, cinta itu mudah datang dan pergi. Kadang kita aktif dengan penuh semangat dan cinta, kemudian esoknya menjadi sangat malas dan bosan.

Saya jawab, itu namanya bukan cinta tetapi mood. Orang yang mud-mudan (moody) memang cepat berubah-ubah. Seperti bandul pendulum. Kadang mengayun ke kanan menjadi sangat rajin berdakwah. Sebentar kemudian minatnya menurun, sampai ke sudut kiri, terjerumus dalam dosa-dosa. Kemudian menyesal, kembali aktif, kemudian bosan, kembali malas dan seterusnya. Saya katakan, obat bagi orang yang moody adalah disiplin dalam arti ‘memaksakan diri’. Jangan ikuti kemalasan. Lawan kemalasan itu, kalau perlu bunuh dan gali kuburan buatnya dalam-dalam. Lalu paksakan diri untuk kembali aktif.

Kata Tarman, “Ia tidak bisa menikmati dakwah kalau caranya harus dengan memaksa diri begitu.”

Saya jawab, orang-orang yang sedang ber-mood negatif memang harus mengabaikan aspek kenikmatan atau keasyikan pada  awal aktifitasnya. Cukup menyadari bahwa dakwah ini adalahwajib, lalu paksakan diri. Sebentar kemudian, insya  Allah, rasa malas itu akan hilang; bisa jadi karena menyaksikan sahabat yang berjuang keras, atau memandang wajah ceria anak-anak yatim yang menerima santunan, atau ketika pengurus masjid mengucapkan terima kasih sambil mendoakan kebaikan dengan tulus. Paksakan diri untuk langkah pertama, insya Allah langkah-langkah berikutnya menjadi nikmat dengan ridhaNya. Percaya dan coba sajalah. In ahsantum, ahsantum lianfusikum, jika kamu berbuat baik, maka sebenarnya kamu sedang berbuat baik untuk dirimu sendiri… (QS Al Isra’: 7).

Tsaurah setuju dengan pendapat saya, tetapi ia nyeletuk,“Ada masanya kita kecewa dengan dakwah. Meski sebenarnya kita sangat mencintai dakwah, beberapa hal terasa sangat mengecewakan. Misalnya ketika dakwah tampak dikemudikan menuju arah yang keliru.”

Saya katakan, munculnya kekecewaan setelah cinta yang menggelora merupakan saat-saat ujian komitmen, ujian kesetiaan. Banyak orang diberi karunia sehingga bisa jatuh cinta kepada dakwah, tetapi tidak sanggup mempertahankan cintanya ketika kekecewaan atau kecemburuan datang. Aktif berdakwah ketika sedang jatuh cinta adalah wajar, tetap aktif meski sedang dilanda kekecewaan dan kemarahan barulah pertanda kesetiaan yang tinggi. Inilah komitmen, dan inilah yang insya Allah bisa menjaga ke-istiqamah-an.  Allah sangat memuji kesetiaan sehingga berfirman:

“Sesungguhnya orang yang berjanji setia kepadamu adalah orang-orang yang berjanji setia kepada Allah, Tangan Allah berada di atas tangan mereka.” (QS Al Fath :10)

Saya tambahkan lagi, kekecewaan yang menimpa para pecinta dakwah bisa juga disebabkan oleh tuntutan perfeksionis dari sang aktivis. Maunya serba sempurna, ya sempurna ajarannya, ya sempurna jalannya, sempurna juga semua penyeru/aktivisnya. Ketika ia mendapati beberapa aktivis ternyata tidak sempurna, menjadi kecewalah hatinya lalu ia mengundurkan diri dari harum semerbaknya jalan dakwah. Perfeksionisme sendiri bisa diibaratkan pedang bermata dua. Satu sisinya merupakan pelecut motivasi membakar semangat untuk berdakwah habis-habisan, sisi lainnya merupakan kritikus sadis yang dengan pedas mengatakan bahwa tanpa kesempurnaan, seluruh rangkaian dakwah hanyalah kekonyolan yang sia-sia saja.

Juhdi bertanya, “Bagaimana cara agar kita tidak menjadi aktivis romantis yang hanya aktif ketika sedang mood? Bagaimana supaya kita tetap berkomitmen sepanjang hayat dan tidak mudah berhenti ketika kecewa?”

Saya katakan, dakwah adalah kesatuan kata dan perbuatan. Kita tidak bisa memilih salah satu dari kedua hal tersebut. Jika seseorang hanya aktif dalam dakwah perkataan, sebentar kemudian ia akan merasa bahwa dirinya tidak lebih dari penjual obat di pinggir jalan. Sebaliknya jika seseorang hanya beramal tanpa mau mengajak dengan lisannya, lama-lama ia merasa jenuh seolah dirinya telah berbuat melebihi para ustadz yang ‘hanya’ berteriak-teriak saja. Ia merasa telah cukup melakukan amal-amalnya, tidak merasa dituntut untuk meningkatkannya lebih baik lagi. Tidak jarang kemudian mereka bermalas-malasan dengan alasan: kan saya bukan ustadz. Para ustadz tuh yang harus selalu tampil baik agar tidak mengecewakan umat…. sedangkan saya kan orang biasa.

Hanya dengan menyatukan aktifitas dalam kata dan perbuatan insya Allah komitmen selalu terjaga.

Hamid menyangkal. Menurutnya, sekarang banyak aktivis yang meski giat berkata dan berbuat ternyata tidak tahan ketika dunia menghampirinya. Biasanya setelah menduduki sebuah kursi jabatan atau berhasil menjadi pengusaha sukses, sang aktivis menjelma menjadi penghamba dunia yang hobinya pamer mobil bagus, gadget mahal, rumah gedongan, dan berburu atribut-atribut duniawi lainnya.

Saya balik bertanya, mengapa Hamid menjadikan pencapaian duniawi sebagai tolok ukur menurunnya komitmen dakwah seseorang? Seharusnya kita melihat kinerja, bukan sekedar penampilan duniawi. Tidak ada salahnya seorang da’i yang dulu pengguna angkutan umum sekarang kemana-mana naik unta merah metalik, apalagi jika hal itu membuatnya lebih produktif. Tidak mengapa seorang ustadz membawa-bawa gadget keren, jika gadget tersebut membuat jadwal dan presentasi dakwahnya semakin sistematis dan berkah. Merupakan kebaikan jika aktivis memiliki rumah besar sehingga acara recruitment tidak perlu menyewa vila di luar kota yang jauh, melelahkan dan sulit dijangkau.

Kholid ikut urun rembug. Ia berkata bahwa dakwah pada masa sekarang terasa kurang menyentuh hati. Rasanya kering dan gersang. Kalau dulu liqa’ di hamparan karpet hijau sederhana dengan air putih dan roti kering atau penganan sekedarnya terasa bagai siraman air surga, sekarang pertemuan di rumah mewah dengan sajian enak-enak dan presentasi canggih hanya terasa formal dan hambar mirip meeting kantor atau arisan sebuah perkumpulan.

Saya jawab, seharusnya kita memiliki komitmen yang dinamis. Dakwah memiliki masa-masa yang berbeda, ada masanya penuh ujian yang berat, ada pula masanya dakwah ini dibanjiri ghanimah melimpah dari segala arah. Yang penting tetap dalam komitmen kepada Allah, tetaplah menjadikan dunia itu sebagai sarana di tangan, jangan sampai ia merasuk ke dalam hati. Bukankah para Rasul juga berbeda-beda? Ada Nuh ‘alaihis salaam yang sedikit pengikut, ada Sulaiman ‘alaihis salaam yang menjadi raja segala makhluk, ada Isa Al Masih ‘alaihis salaam yang seumur hidup dikejar-kejar dan ada pula Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sukses gemilang tetapi tetap mengencangkan sabuknya karena lapar. Komitmen yang statis hanya cocok untuk satu corak ujian saja, komitmen yang dinamis bisa mengatasi ujian dalam semua coraknya.

Daridin yang semula diam menyimak rupanya tertarik untuk nimbrung. “Dimana kita bisa bertemu dengan aktivis sesuai gambaran tadi? Penuh cinta, tidak mud-mudan, selalu berkomitmen dan bisa dinamis mengikuti naik-turunnya dakwah di panggung kehidupan?”

Saya tertegun sebentar, kemudian menjawab pelan. Di luar sana ada beberapa tokoh yang bisa kita sebut, tetapi kita tidak perlu menyebut mereka satu persatu. Seharusnya kita menghadapkan telunjuk kepada diri kita sendiri. Meski kita adalah orang baru dalam dakwah ini, meski kita baru belajar membaca dan menulis sambil belajar menyampaikan dakwah semampunya, tetapi insya Allah inilah calon-calon aktivis dengan berbagai kriteria tersebut, Bismillaah…[i]

_____________________


[i] Tentu saja orang-orang diatas, termasuk ‘saya’, adalah fiktif belaka. Mudah-mudahan penggambaran dengan tanya jawab sederhana ini lebih memudahkan kita menyelami maknanya dan memotivasi aplikasinya