Ketika Suami Harus Bisa Memasak

Sesungguhnya Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan standar yang paripurna, menyeluruh (syamil), dan diletakkan atas dasar keadilan dan keseimbangan. Seperti yang terfirmankan dalam “Maka berbuatlah adil-lah karena keadilan mendekatkan kepada taqwa” (QS. Al Maidah: 8 ) dan “Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangannya” (QS. Ar Rahman : 9).

Jika  bicara keadilan dan keseimbangan, maka kita kan bicara tentang hak dan kewajiban. Ada hak orang lain yang menjadi kewajiban kita yang harus kita tunaikan begitupun sebaliknya. Karena yang disebut adil adalah meletakan segala sesuatu sesuai dengan porsi atau haknya. Begitu pula dalam kehidupan berumah tangga, ada hak dan kewajiban yang harus dipahami dan ditunaikan satu dengan yang lain. Hak istri adalah kewajiban bagi suami dan hak suami adalah kewajiban bagi istri. Hunn libaasullakum wa antum libasullahun..

Terkadang ketidakmengertian tentang fungsi hak dan kewajiban suami istri inilah yang menjadikan prahara dalam rumah tangga. Karena satu dan yang lainnya saling berebut mencari pembenaran diri, mana yang menjadi hak yang harus dipenuhi oleh pihak yang lain. Salah satunya adalah dalam urusan memasak. Saya bukanlah seorang penganut fahm patriarkhi yang menganggap kaum lelaki lebih superior dibanding perempuan. Namun juga bukan seorang pendukung gender, yang menganggap setaranya lelaki dan perempuan. Tapi mencoba memandang dari kacamata Islam nan syamil wa mutakamil.

Kembali pada tema memasak, mungkin sudah terstigma di masyarakat bahwa wanita atau istri harus bisa memasak, menyiapkan makanan untuk suami tercinta. Karena telah ada semacam tugas pokok dan fungsi bahwa peranan istri adalah di kasur, di dapur dan di sumur. Walaupun tidak sepenuhnya penilaian ini benar. Terkadang karena telah terpersepsi bahwa perempuan itu harus bisa atau pandai memasak, maka akan menjadi tabu ketika melihat seorang perempuan tak pandai memasak. Bahkan menjadi hal yang tabu juga ketika seorang laki-laki suka bereksperimen di dapur. Dianggapnya kurang jantan, kebanci-bancian, dan sebagainya. Padahal tidak demikian kan? Toh, di dunia profesional atau industri banyak kita temui  para juru masak restoran berbintang lima atau para chef adalah lelaki. Mungkin karena lelaki lebih memiliki ketahanan fisik untuk berlama-lama bekerja, atau mungkin juga karena lelaki memiliki ketahanan psikologis sehingga suasana hati yang berubah tidak mempengaruhi citarasa masakan.

Istri Harus Pandai Memasak?

Suatu ketika istri saya pernah cerita, bahwa saat masih lajang ada salah satu rekannya sesama akhwat menikah. Beberapa jam setelah aqad nikah, salah satu rekan akhwat istri saya bertanya kepada suami temannya tersebut, “Akh, nanti mau dimasakin apa sama istri?” Dengan polos sang suami baru tadi menjawab “Ehm.. Mie instan saja.” Kontan saja istrinya tersebut agak sedikit cemberut. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab seharusnya.

Saya yakin para akhwat memiliki kemampuan untuk memasak hanya saja kurang terkelola dan tergarap dengan baik. Mungkin karena kurangnya sarana dan prasarana untuk memasak  karena tinggal di kos-kosan, atau karena kesibukan aktivitasnya yang menghajatkan waktu yang banyak sehingga terkadang tidak sempat lagi untuk berbelanja dan memasak. Kira-kira seperti itulah yang dituturkan istri saya.  Tapi kemampuan memasak itu sebenarnya  ada, dan kemapuan memasak adalah termasuk dalam skill yang harus dilatih bukan sesuatu yang given. Jadi kalau seseorang yang tidak bisa memasak  terus berlatih untuk bisa memasak pasti dia akan bisa memasak. Tapi seorang ibu rumah tangga yang sewaktu belum menikah bisa memasak namun ketika berkeluarga memiliki khadimat dan  ia lebih sering meminta sang khadimat untuk memasak  sementara dirinya jarang memasak, lambat laun keterampilannya memasak akan hilang.

Mari kita belajar dari Umar bin Khaththab. Suatu ketika ada seorang lelaki mengadukan istrinya kepada Amirul Mukminin perihal istrinya yang cerewet dan galak. Namun ia tangguhkan, karena ia juga mendapati istri Amirul Mukminin juga seperti istrinya. Cerewet dan galak. “Adapun aku,” Umar pun menasehatkan pada si lelaki tersebut, “Aku tabah dan sabar menghadapi kenyataan itu karena ia  telah menunaikan kewajiban-kewajiban dengan baik. Dialah yang memasak makananku, dialah yang membuatkan roti untukku, dialah yang mencuci pakaianku, dialah yang menyusui anak-anakku, padahal itu bukanlah kewajibannya sepenuhnya.”

Umar bin Khaththab adalah sahabat yang memiliki kekhasan lisannya  yang apabila ia berbicara selalu mendapat pembenaran dari wahyu. Jadi cukuplah atsar Umar Ibn Khaththab tadi menjadi dalil bahwa istri tidak diwajibkan sepenuhnya untuk bisa memasak, yah paling tidak tahu teorinya, kalau tidak ya kebangetan.

Suami Harus Bisa Memasak

Nah kita kembali pada konsep keadilan dan keseimbangan. Jika, tadi kita telah menelisik kewajiban istri yang pandai memasak, ternyata bukanlah hal yang wajib sepenuhnya, berarti yang mendapat kewajiban  memasak adalah para suami. Hmm, tenang bapak-bapak jangan emosi dulu, kita bedah satu per satu. Pertama dari sisi definisi nafaqah. Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan definisi nafaqah sebagai mencukupi segala kebutuhan istri yang mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat-obatan, meskipun dia orang kaya. Hukum memberikan nafkah adalah wajib berdasarkan Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

Dalam kaidah ushul fiqh yang saya kutip dari kitab Syaikh Utsaimin Al Ushul min ‘Ilmil Ushul didapati sebuah kaidah, bahwa bila sesuatu yang terhukumi wajib tidak akan sempurna jika tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu terhukumi wajib juga. Maa laa yatimmu al waajibu illaa bihi fa huwa waajib atau dalam  kaidah yang lebih umum Al wasa’ilu laha ahkamul maqhosid. Sarana itu mempunyai hukum yang sama dengan tujuan. Jadi bila memberikan nafaqah kepada istri adalah sebuah bentuk kewajiban. Dan memberikan makanan kepada istri adalah bentuk nafkah juga yang berarti terhukumi sebagai kewajiban.

Nah masalahnya, makanan tidak akan ada bila tidak melalui proses pengolahan atau pemasakan. Tidak mungkin kan, istri kita berikan beras lalu dia memakannnya? Tentulah beras tersebut harus diolah terlebih dahulu menjadi nasi, dan  makan nasi tanpa lauk pauk dan sayur juga rasanya aneh, maka perlu juga mengolah sayur dan lauk-pauk sebagai teman nasi. Barulah nasi tadi di santap oleh istri kita. Kalau demikian memberikan makan kepada istri atau pemberian nafkah tadi yang merupakan kewajiban itu, menjadi belum sempurna bila tidak dibarengi oleh kemampuan mengolah masakan.

Padahal dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa sesuatu yang wajib namun tidak akan sempurna bila tidak adanya sesuatu yang lain dan menjadikan sesuatu yang lain itu wajib terhukumi wajib juga. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang suami wajib memiliki kemampuan untuk memasak juga, untuk menyempurnakan kewajibannnya menafkahi istri. Tapi tenang, setiap yang wajib pasti ada rukhshah. Setiap yang wajib pasti ada keringanan untuk menjalaninya. Dan Allah tidak menghendaki kesukaran justru menghendaki kemudahan bagi hamba-hambaNya, Allah pun tidak akan membebani hamba melebihi kemampuannya. Jadi asalkan sudah terniati insya Allah sudah berpahala, selanjutnya akan lebih romantis ketika suami dan istri saling belajar bersama untuk memasak.

Jadi tidak perlu risau ketika mendapati istri kita tidak pandai memasak, karena kita pada dasarnya menikah untuk mencari istri bukan mencari tukang masak, bukan begitu?

Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Ardhianto Murcahya, S.Psi, Solo

Blog