Ketika Anak-anak Tak Lagi Polos

Mungkin publik sudah tidak lagi tercengang bila mendengar berita mengenai kenakalan remaja yang sudah melampaui batas. Seperti contoh kasus di Pamekasan, 4 pria dan 3 wanita dijaring satpol PP saat berada di dalam kamar rumah kos dalam kondisi acak-acakan hari Rabu (25/3) lalu. Diantara ketiga wanita itu, 2 diantaranya masih duduk di bangku SMP. Salah satu dari mereka mengaku bahwa ia dibayar sebesar 250.00 sekali kencan. Atau bahkan pengakuan warga yang resah karena tempat pemakaman umum di Cengkareng menjadi tempat favorit anak-anak SD berbuat mesum dengan ‘sukarela’ bersama pacarnya.

Kasus seperti itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi hampir setiap hari. Masyarakat terus-menerus disodori berbagai tingkah laku menyimpang remaja di berbagai media massa. Di satu sisi pasti ada perasaan miris dan takut anak-anak mereka akan ikut terseret arus pergaulan bebas remaja saai ini. Namun di sisi lain masyarakat menganggap seakan tingkah polah remaja yang menyimpang itu semakin lama semakin wajar-wajar saja dilakukan. Solusi yang jelas terhadap kenakalan remaja masih belum tergambar di benak orangtua. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah dan menyerahkan kepercayaan penuh tanpa arahan yang jelas kepada anaknya.

Entah siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kenakalan remaja yang marak terjadi. Orangtua menyalahkan guru yang mendidik di sekolah, guru menyalahkan pemerintah yang membuat kurikulum, pemerintah mengembalikan lagi pada pola pengasuhan orangtua dan guru, remaja yang sebagai pelaku berlindung di balik predikat ‘anak di bawah umur’. Semua seakan-akan angkat tangan dan tidak merasakan jika kenakalan remaja merupakan kasus yang harus diselesaikan bersama-sama.

Mencintai lawan jenis memang sebuah naluri. Mustahil jika naluri itu dihapuskan sepenuhnya dalam diri manusia. Namun yang perlu digarisbawahi adalah naluri bukanlah kebutuhan jasmani yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kematian. Naluri akan terpanggil jika menerima rangsangan yang kebanyakan muncul dari lingkungan. Sekarang, rangsangan itu muncul terus-menerus menyerang anak-anak. Sebut saja sinetron yang menampilkan banyak adegan percintaan yang tidak pantas, video porno yang menyebar luas, bacaan yang mengandung unsur vulgar, bahkan adegan yang tidak senonoh sering diperlihatkan secara langsung di depan anak-anak.

Teringat kembali pada masa kejayaan Islam dimana banyak sekali generasi emas seperti Muhammad Al-Fatih, Imam Syafi’i, Ibnu Syina, Al-khawarijmi yang tidak hanya cerdas namun juga taat beragama dan bermoral. Jika dibandingkan, mungkin banyak yang protes karena beranggapan bahwa tokoh-tokoh tersebut hidup di zaman yang berbeda dengan sekarang. Namun hal itu bukan tidak mungkin bagi kita untuk mengembalikan kembali masa kejayaan dimana semua berjalan semestinya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Bagaimana bisa muncul sosok seperti Muhammad Al-Fatih, seorang pangeran penakluk Konstatinopel yang tidak pernah meninggalkan amalan sunnah seperti shalat tahajjud? Bagaimana bisa muncul sosok seperti Imam Syafi’i yang dapat menghafalkan Al-Quran di usia 7 tahun dan kitab Al-Muwatta’ di usia 10 tahun? Tentu saja selain karena didikan dari orangtua yang luar biasa, mereka juga hidup di lingkungan yang ‘benar’. Bandingkan saja perilaku anak-anak yang tinggal di lingkungan orang taat beribadah dengan lingkungan orang sering bermaksiat, pastilah berbeda. Anak yang berada di lingkungan buruk sering mendapatkan rangsangan buruk sehingga mereka terdorong untuk melakukan hal serupa.

Apalagi saat ini ketika agama telah dipisahkan dari berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, dan politik. Maka tidak heran jika manusia yang dihasilkan jauh dari kata bermoral. Bahkan anak kecil sekali pun yang jiwanya masih bersih, pemikirannya jernih kini juga ikut-ikutan ternoda. Lingkungan yang mereka tempati memakai peraturan yang bukan bersumber dari ‘pihak’ yang berhak membuat aturan. Maka sistem mana kah yang terbaik untuk mengatur manusia jika bukan sistem yang diciptakan oleh pencipta manusia?