Keras (P)ada Saatnya

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Agama penuh kasih sayang. Agama yang sarat dengan ajaran cinta dan budi pekerti. Islam mengajarkan umatnya agar saling mengasihi satu sama lain.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang-orang yang mengasihi sesama, dia akan dikasihi oleh Allah. Kasihilah penduduk bumi, niscaya penduduk langit akan mengasihi kalian.” (HR  At Tirmidzi dan Al Baihaqi dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhu).

Jangankan terhadap sesama manusia, bahkan terhadap binatang pun Islam mengajarkan agar memperlakukannya dengan baik. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah kita bisa mendapatkan pahala karena berbuat baik terhadap binatang?”

Rasulullah menjawab, “Berbuat baik terhadap setiap makhluk hidup itu akan memperoleh pahala.” (Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Sungguh, Islam sangat anti kekerasan. Bahkan, sejatinya Islam adalah agama penuh kelembutan, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Allah itu Maha  Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala hal.” (Muttafaq ‘Alaih dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu).

Selaras dengan ini, Islam juga anti anarkisme dan setiap tindak pengerusakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).

Sebaliknya, seorang hamba bisa masuk neraka disebabkan berbuat zhalim terhadap binatang, sebagaimana disebutkan hadits di atas. Meski demikian, bukan berarti Islam melarang umatnya bersikap keras dan tegas. Karena bagaimanapun juga, sikap keras dan tegas tentu diperlukan pada kondisi tertentu.

Lihatlah, betapa sangat marahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu yang berusaha melindungi seorang perempuan Bani Makhzum yang tertangkap mencuri. Dengan raut wajah memerah, Nabi berkata kepada Usamah, “Apa kau hendak memintakan ampun dalam masalah hukum (hudud) Allah?” (HR. Al-Jama’ah)

Dalam kasus Masjid Dhirar misalnya, saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pulang dari perang Tabuk. Waktu itu, beliau baru sampai di Dzu Awan dan belum masuk Madinah. Namun, karena beliau mendapatkan informasi penting tentang Masjid Dhirar yang disalahgunakan untuk merusak Islam dari dalam (lihat QS. At-Taubah: 107-108), beliau pun segera memanggil Malik bin Dukhsyum, Ma’an bin Adi, Amir bin Sakan, dan Wahsyi.

Beliau bersabda, “Pergilah kalian ke masjid orang-orang zhalim ini. Hancurkan dan bakarlah masjid itu.”

Lalu, para sahabat ini pun bergegas meluncur ke Masjid Dhirar untuk melaksanakan instruksi Nabi-Nya. (Tafsir Al-Qurthubi, dan lain-lain)

Mengomentari pembakaran dan penghancuran Masjid Dhirar milik kaum munafik, Imam Ibnul Qayyim berkata,

“Membakar dan menghancurkan tempat-tempat maksiat yang dipakai untuk bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Masjid Dhirar, sekalipun ia adalah masjid tempat shalat dan disebut nama Allah di dalamnya, tetapi karena ia membawa madharat dan memecah-belah kaum mukminin, serta menjadi markas kaum munafik; maka hukumnya adalah wajib bagi penguasa untuk membereskannya, baik itu dengan cara menghancurkan dan membakarnya, atau dengan cara mengubah bentuknya dan mengganti peruntukannya. Demikian pula hukumnya setiap tempat yang perkaranya seperti ini.” (Zad Al-Ma’ad/III).

Wallahu a’lam.

Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, Lc.