Keluarga dan Peradaban Kemanusiaan

“Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara?” demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf mengawali pembahasan tentang Posisi Keluarga dalam Negara.

“Sebab”, tulisnya, “Sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya”.

Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Empat karakteristik universal keluarga, tercermin dari definisi di atas.

Pertama, keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Kedua, mereka hidup bersama dalam satu rumah dan membentuk satu rumah tangga (house hold). Ketiga, mereka merupakan satu kesatuan yang berinteraksi dan berkomunikasi. Keempat, mempertahankan kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang luas, atau mereka menciptakan kebudayaan sendiri.

Menurut Hibbah Rauf Izzat, keluarga adalah unit yang sangat mendasar di antara unit-unit pembangunan alam semesta. Ismail Raji Al Faruqi menganggap keluarga juga merupakan infrastruktur bagi masyarakat yang bersaing dengan infrastruktur masyarakat lain di dalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep istikhlaf (peradaban).

Fungsi Edukatif dalam Keluarga

William J. Goode menyebutkan tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi reproduktif, ekonomi dan edukatif. Sedangkan William Ogburn, selain fungsi edukatif dan ekonomi, menambahkan dengan fungsi perlindungan, rekreasi, agama dan status pada individu. Nabi Muhammad saw telah memberikan perhatian yang amat spesifik dalam masalah keluarga, dan menempatkan keluarga sebagai batu bata kokoh dalam membangun peradaban umat manusia.

Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah edukatif. Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak demikian tinggi. Demikian pula sebaliknya. Di sini kita akan menggunakan kata tarbiyah, bukan ta’dib, sebagai makna pendidikan atau juga pembinaan.

Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bahkan, meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam teori Quantum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa.

Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk mempersiapkan masa depan umat. Khalid Ahmad Asy Syantuh menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. “Sebab”, katanya, “ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya”. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan tarbiyah untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Adapun tujuan tertinggi dari proses pendidikan, menurut Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, bisa dirumuskan dengan beberapa rumusan berikut: perwujudan diri, persiapan untuk kewarganegaraan yang baik, pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga tengah menyiapkan anggotanya mencapai tujuan tertinggi tersebut, atau dalam bahasa Muhammad Quthb diistilahkan dengan ungkapan ringkas, “manusia yang baik”, sebagaimana ungkapan Al Qur’an: “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bertaqwa”.

Kapan Dimulainya Pendidikan ?

Glenn Doman pernah menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mulai mendidik anaknya.

“Kapan anak ibu akan lahir?” tanya sang ahli.

“Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang” jawab ibu.

“Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyia-nyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak anda”.

Kisah di atas diangkat dari pertanyaan: kapan mulai mengajar anak membaca? Apabila kita perluas dalam bahasa pendidikan, maka pendidikan anak dimulai bukan saja ketika bayi telah lahir, atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Akan tetapi prosesi pendidikan itu telah dimulai sejak seorang laki-laki memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya, dan ketika seorang wanita memilihkan calon bapak bagi calon anak-anaknya. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan, dan awal mula pendirian laboratorium peradaban.

Husain Muhammad Yusuf berpendapat, “Agama tidak menganggap perintah untuk melaksanakan perkawinan hanya sebatas jalan resmi menurut hukum untuk membentuk keluarga, atau sebagai cara yang mulia untuk melahirkan anak-anak shalih, atau untuk menundukkan pandangan mata, atau untuk merendahkan gejolak nafsu, atau untuk memenuhi tuntutan biologis saja. Tetapi agama menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang lebih agung dari masalah-masalah tersebut. Agama menganggap keluarga sebagai jalan untuk merealisir tujuan yang lebih luas lagi, yang mencakup seluruh sektor kehidupan masyarakat”.

Dengan demikian pendidikan telah dimulai dari awal: pembentukan pribadi-pribadi yang bertemu dalam ikatan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan tidak dimulai ketika bayi telah lahir, atau ketika sudah saatnya sekolah. Sejak awal, orang tuanya telah mempersiapkan bekal yang baik bagi calon anak-anak yang diharapkan baik pula.

Kendati demikian, prosesi pendidikan secara operasional baru dapat dilakukan ketika anak sudah maujud. Adnan Hasan Shalih Baharits mengemukakan bahwa pada lima tahun pertama dalam kehidupan anak, 90 % pendidikan sudah dapat dilakukan secara tuntas. Sejalan dengan itu adalah pernyataan ulama besar Ibnul Qayim al Jauzi bahwa pembinaan yang paling baik adalah di waktu kecil. Hal ini menuntut peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, sebagai suatu kewajiban besar yang tak mungkin dihindarkan.

Pendidikan Integratif dalam Keluarga: Sebuah Laboratorium Peradaban

Di antara fungsi keluarga dalam tinjauan sosiologis, baik menurut Goode maupun Ogburn, adalah fungsi edukatif. Secara normatif, Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan tujuh macam pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan psikis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Ketujuh macam pendidikan tersebut harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga.

Hibbah Rauf Izzat menambahkan perlunya pendidikan politik dalam keluarga, sekaligus melancarkan kritik terhadap wacana fikih keluarga yang cenderung mengabaikan perhatian terhadap masalah politik, “Sisi-sisi politik di dalam institusi keluarga tidak mendapatkan perhatian di dalam pemikiran dan fiqih Islam. Tulisan-tulisan filsafat yang memberikan perhatian kepada politik kaum lelaki telah mempergunakan politik dengan makna kaidah-kaidah pergaulan antara manusia dan perilaku mereka dan berpusar pada kerangka moralitas. Berbagai tulisan yang membahas politik agama sama sekali tidak pernah menyebut institusi keluarga sebagai salah satu unit politik, sedangkan buku-buku fiqih hanya bertumpu kepada segi-segi muamalah, hukum perkawinan dan perceraian, serta tidak menyentuh sama sekali kepada bidang-bidang yang lainnya. Begitulah institusi keluarga tetap menjadi medan kajian fiqih dan akhlaq, dan tidak pernah dikaji dalam kerangka politik agama”.

Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Keimanan yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya.

Pendidikan psikis membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Pendidikan fisik tak kalah penting. Keluarga muslim harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat dan kuat. Kekuatan fisik termasuk alasan yang diberikan Tuhan atas diangkatnya Thalut sebagai pemimpin bani Israil, bashthatan fil ilmi wal jismi. Konsumsi fisik yang halal dan thayib harus mengarah kepada penyiapan kekuatan peradaban masa depan.

Pendidikan intelektual harus dilakukan dalam keluarga sejak dini, karena peradaban masa depan umat amat bergantung kepada kapasitas intelektual mereka. Anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai, sebab mereka harus bersaing dengan beraneka kebudayaan sebagai konsekuensi logis globalisasi informasi. Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga.

Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga muslim. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, bagian dari kesadaran gender yang mesti ditumbuhkan.

Pendidikan politik dalam keluarga, sebagaimana disampaikan oleh Izzat, mendesak untuk mendapatkan perhatian. Ia menuliskan, “Keluarga (suami isteri) atau keluarga kecil, dianggap sebagai proyek percontohan kecil umat dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. Hal ini tercermin dalam nilai-nilai mendasar yang menentukan sistem Islam dan pada saat yang sama dianggap sebagai tonggak dan batu pondasi yang sangat penting bagi sistem ini. Barangkali konsep kepemimpinan dan konsep musyawarah merupakan karakteristik yang paling menonjol padanya”.

Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah. Kendati demikian, kesadaran akan adanya pendidikan politik dalam keluarga seperti ini memang belum dimiliki oleh sebagian masyarakat kita. Mereka hanya memberikan hak pendidikan politik ini kepada pemerintah dan partai politik.

Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai macam media, seperti keluarga, sekolah, kelompok, dan sarana informasi. Media-media itulah yang dapat memindahkan budaya politik suatu masyarakat kepada generasi lainnya, yang dalam hal ini satu konsep berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti syari’at, identitas, kepemimpinan dan kewarganegaraan. Semua itu, menurut Ahmad Jamal Zhahir, ditujukan untuk mewujudkan stabilitas dalam hubungan antara rakyat dengan negara.

Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Menurut Izzat, yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara.

Sumbangan besar dari hierarki dalam keluarga beserta segala implikasinya dalam konteks pendidikan keluarga, bisa dilihat dari beberapa tema berikut: konsep kepemimpinan, ketaatan dalam kebaikan, serta konsep musyawarah. Kepemimpinan keluarga mengharuskan sikap adil terhadap yang dipimpinnya. Agar bisa berlaku adil dalam memimpin, sehingga kepemimpinannya layak ditaati, diperlukan prinsip musyawarah.

Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka. Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagi pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat.

Izaat mengungkapkan bahwa simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik. Bahkan sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik anak-anak daripada simbol-simbiol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya.

Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.

Pendidikan integratif yang terjadi dalam keluarga akan menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban baru. Perubahan sosial, budaya dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak dari perubahan individu, sebagaimana ungkapan ayat Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Tentu saja pembinaan kepribadian ini harus dimulai dari rumah. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa keluarga merupakan laboratorium bagi lahirnya peradaban mulia yang dicitakan umat manusia.

Model Pendidikan Keluarga

Di depan telah diuraikan secara ringkas bahwa pendidikan dalam keluarga bersifat integratif, dimana segala aspek potensi kemanusiaan mesti terberdayakan. Paulo Freire mengembangkan wacana pendidikan yang humanis, ungkapan antagonistik dari sistem pendidikan dominasi dan dehumanisasi. Dalam pandangan Freire, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal di satu sisi, dengan dominasi dan dehumanisasi di sisi yang lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.

Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, menurut Freire, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi; sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang bahwa kesadaran itu sebagai suatu ‘hasrat’ (intention) terhadap dunia. Selanjutnya Freire menambahkan, “Dengan mengasumsikan pendidikan sebagai proses dominasi, orang yang menguasai ilmu pengetahuan justru meniadakan prinsip kesadaran aktif. Pendidikan ini menjalankan praktik-praktik yang digunakan orang untuk ‘menjinakkan’ kesadaran manusia, mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Pendidikan budaya dalam dominasi ini diarahkan pada situasi dimana guru merupakan satu-satunya orang yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sebagai orang yang tidak tahui apa-apa”.

Dalam wacana pendidikan keluarga, yang terjadi haruslah sebuah pemberdayaan yang aktif. Kendatipun ada kekuatan dominasi karena otoritas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga, tetapi tidak boleh mengarah kepada prosesi pendidikan yang melakukan praktik dehumanisasi. Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari suami kepada isteri dan anak-anak, akan tetapi terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam.

Dalam bahasa Freire, pendidikan dan aksi budaya yang membebaskan, “merupakan proses yang otentik untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru”. Interaksi yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori, atau mengumpulkan konsep-konsep, kendatipun tentang kebenaran, akan tetapi harus sampai kepada dataran pencarian-pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan kebaruan.

Model interaksi yang dibangun dalam keluarga amat menentukan model pendidikan yang terjadi di dalamnya. Keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan memudahkan untuk proses pencerapan nilai-nilai. Akan tetapi keintiman hubungan saja tidak cukup, kata Abdurrahman Shalih Abdullah. Diperlukan perangkat lainnya berupa metoda, pertimbangan waktu dan kondisi. Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu mendapat perhatian dalam keluarga. Akan tetapi model yang dipilih tentu yang akan membawa anggota keluarga menuju nilai kebaikan optimal mereka.

Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Quthb bahwa metodologi pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik jasmani maupun ruhani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupan secara mental, serta segala kegiatannya di bumi ini. Bukan model pendidikan yang akan mematikan potensi dan memandulkan bakat mereka sebagaimana digambarkan Freire sebagai proses dehumanisasi.

Muhammad Quthb menggambarkan proses pendidikan seperti menggesek biola, “Ia menganalisa fitrah manusia itu secara cermat, lalu menggesek seluruh senar dan seluruh nada yang dimiliki oleh senar-senar itu, kemudian menggubahnya menjadi suara yang merdu. Di samping itu ia juga menggesek senar-senar secara menyeluruh, bukan satu demi satu yang akan menimbulkan suara sumbang dan tak serasi. Tidak pula menggeseknya hanya sebagian dan mengabaikan bagian yang lain, yang menyebabkan irama tidak sempurna, tidak mengungkapkan irama yang indah sampai ke tingkat gubahan yang paling mengesankan”

Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Daftar Bacaan

1. Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1983

2. Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan Pendidikan menurut Al Qur’an serta Implementasinya, CV. Diponegoro, Bandung, 1991

3. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, Tahrir Al Mar’ah Fi Ashri Ar Risalah, Darul Qalam, Kuwait, 1990

4. Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Asy Syifa, Semarang, 1988

5. Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

6. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung, 1999

7. Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, Intermedia, Solo, 1997

8. Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politk: Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997

9. Hussain Muhammad Yusuf, Motivasi Berkeluarga, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1992

10. Ibrahim Muhammad Al Jamal, Fikih Wanita, Asy Syifa’, Semarang, 1986

11. Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1984

12. Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979

13. Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

14. Robert MZ. Lawang, Pengantar Sosiologi, Depdikbud, Jakarta, 1985

15. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Gema Risalah Press, Bandung, 1994