Jangan Terburu-buru Mengamalkan Sunnah yang Asing

Pernah suatu ketika, Syaikh Shalih Al Fauzan, ditanya oleh seseorang, “‘Ya Syaikh, saya dapatkan sebuah hadits yang shahih. Dan hadits yang shahih ini adalah sebuah sunnah yang banyak ditinggalkan oleh manusia. Yaa Syaikh, jika sunnah ini saya hidupkan di tengah manusia, apakah saya akan mendapatkan pahala?”

Dijawab oleh Syaikh Al Fauzan, “Tidak. Justru engkau akan mendapatkan dosa karena melakukannya. Kecuali sebelum engkau lakukan sunnah itu, engkau ajarkan dulu sunnah itu kepada manusia.”

Begitulah kedalaman jawaban seorang ulama. Tidak semua sunnah yang telah asing di tengah-tengah manusia langsung tiba-tiba diamalkan. hendaknya dia ajarkan dulu sunnah itu kepada manusia, jangan langsung diamalkan sehingga membikin keributan dan terjadi fitnah yang besar.

Dan ini terjadi di kampung-kampung di pelosok daerah sana. Sebagian Muslimin berpegang kuat dengan madzhab Syafi’i.

Pernah ada kejadian ada da’i yang masuk ke sebuah masjid di daerah yang jauh perjalanan menuju ke sana melalui sungai dan menaiki perahu, ia khutbah Jum’at tanpa membaca shalawat dan berdoa di khutbah kedua. Ia khutbah saja seperti biasa, setelah selesai ia hanya baca doa kafaratul majelis lalu turun. Tidak ada baca doa.

Kemudian berdirilah imam masjid tersebut dan dia tanya kepada jama’ah masjid itu, “Bagaimana ini, apakah sah khutbah jum’at yang seperti ini?”

Jawaban jama’ah masjid serempak, “Tidak sah!”

“Kalau begitu, kita shalat zhuhur saja. Tidak ada shalat Jumat hari ini.”

Perhatikankanlah!

Gara-gara praktik khutbah yang dianggap asing, tidak ada yang shalat Jumat satu kampung itu.

Maka hendaknya seseorang mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Sebagian orang yang -masya Allah- semangat dalam mengamalkan sunnah, ia tidak mempertimbangkan bahwa di balik pengamalannya ada mafsadat-mafsadat lain yang ditimbulkannya, yang bisa membahayakan dakwah Rasulullaah -shalallaahu alaihi wa sallam-