‘Jangan Menghalangi Rezeki Orang!’

Jika kita menempatkan kalimat di atas tanpa keterangan kondisi, Saya yakin hampir semua orang akan sependapat untuk kemudian membela kebenaran akan kalimat tersebut. Ya tentu saja, rezeki orang kok dihalangi? Kejam betul!

Tapi bagaimana menurut Anda jika kalimat tersebut terikat dengan adanya sebuah kondisi di mana kalimat tersebut terlontar? Misalkan seperti kondisi-kondisi di bawah ini.

Kondisi pertama: Seorang maling tertangkap tangan oleh seorang warga dan segera diringkus. Kemudian Si Maling protes keras. “Heh, ngapain nangkap gue? Ngalangin rezeki orang aja!” Si Maling mendefinisikan hasil curian yang akan didapatnya adalah rezeki dia.

Kondisi kedua: Seorang pemerkosa yang akan melakukan aksinya, tiba-tiba dicegah dan diringkus. Si Pemerkosa pun sama protes seperti Si Maling di atas. “Kampret kau! Ga usah ngalangin rezeki orang hah! Kalau mau, ikutan aja!” Si Pemerkosa mendefinisikan kenikmatan seksual bejat yang akan didapatkannya adalah sebuah bentuk dari rezeki.

Kondisi ketiga: Seorang koruptor tersenyum lebar ketika wacana pembubaran KPK bergulir. Gumamnya, “Mampus kamu! KPK emang kerjaannya menghalangi rezeki orang!” Wah wah.. Si Koruptor juga memaknai uang hasil korupsi maling uang negara adalah sebuah menifestasi dari rezeki.

Benarkah kalimat-kalimat yang terlontar itu? Saya yakin (jika minimal kita masih punya nurani yang bersih) jawabannya adalah TIDAK. Karena sesungguhnya, yang dinamakan rezeki adalah segala hal yang mengantarkan kita pada keridhoan Allah subhaanahu wa ta’ala, yaitu rezeki yang halal. Bukan malah yang mengantarkan kita pada pedih serta panasnya api neraka.

Maka dari itu, marilah juga kita selalu panjatkan do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam ini :

[arabtext] اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ [/arabtext]

“Ya Allah, cukupilah aku dengan rezeki-Mu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Cukupilah aku dengan karunia-Mu (hingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu.”
(HR. Tirmidzi dalam Shahih at-Tirmidzi 2/180)