Jangan Mau Kalah dari Karl Marx

Fenomena aktivis dakwah yang berguguran di jalan juang sudah bukan hal baru dalam dunia dakwah. Dinamika dakwah yang luar biasa menyita seluruh energi individu kader tak bisa dielakkan. Hanya yang mampu bertahan yang akan tetap berada dalam perjalanan menuju tegaknya perdaban yang selalu dinantikan. Semakin melaju kencang keluar dari orbit terkecil hingga pancapaian sekarang seharusnya semakin membuat kader sadar bahwa energi harus selalu dilipatgandakn.

Mngkin itu selalu terbesit dalam benak semua kader namun tidak disaat posisi dilematis menghantui mereka. Antara cita dan cinta pilih yang mana? Pembicaraan kali ini akan kita kerucutkan kepada mereka para aktivis dakwah kampus yang akan menatap masa depan kehidupannya pasca amanah di Dakwah Kampus selsesai, pasca gelar sarjana di rayakan dalam seremoni wisuda.

Haru biru yang mewarnai wisuda apakah juga menandakan haru biru mereka akan masa depan dirinya dalam dunia dakwah? Macam-macam, ada yang agaknya lupa karena sibuk interview dimana-mana, senang karena amanah di kampus sudah selesai, bingung mengurusi surat transfer kepindahan halaqoh, dan lain-lain.

Saya rasa pembaca pernah mendengar orang-orang di luar sana mencibir terkait perilaku mantan-mantan pendakwah di kampus masing-masing. “Bukannya dia ikhwan ya? Koq sekarang pacaran?” atau “Dia akhwat kan? Sekarang sudah mengenakan celana panjang dan jlbabnya sudah tak lebar lagi!”. Begitulah yang terjadi, apa penyebabnya, banyak faktor.

Yang kali ini saya akan bahas adalah tipe aktivis yang bingung memilih antara cita-cita pribadi dengan cintanya pada Dakwah. Seperti telah disebutkan di muka, antara cita dan cinta pilih mana? Pilihan ini akan sangat menentukan keberlanjutan hidup seoarang aktivis dakwah bukan hanya kelanjutan aktivitas tarbawinya saja.

Jika ia egois dan memilih cita-cita bukan tidak mungkin ia adalah bagian dari prajurit yang gugur di medan dakwah kecuali ia sudah mempersiapkan perencanaan dakwah selanjutnya. Tapi sekali lagi jika ini adalah pilihan egoisme pribadi. Yang kedua ia yang meilih menekan egoisme pribadi dengan memilih cinta, apa yang akan terjadi padanya? Mari kita melihat kisah seorang yahudi ini, ia adalah Karl Marx.

Karl Marx adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik, dan sosiolog yang pemikiran-pemikirannya mampu berpengaruh sampai saat ini. Yang dikenal dengan teori marxis dan lain sebagainya. Ia hidup miskin selama hidupnya dan hampir tak mampu bertahan hidup dengan sedikitya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan bantuan Engel sahabatnya. Semasa hidup ia mengabdikan diri pada petualangan politik dan intelektualnya. Ia aktif di gerakan pekerja internasional untuk melakukan berbagai gerakan Revolusi sebagaimana yang ia yakini dan ia tulis. Ia mati dengan meninggalkan jejak sejarah yang mampu menggerakkan manusia.

Kisah Marx diatas bukan dimaksudkan untuk kita mengagguminya, namun kita akan ambil sebuah pelajaran dahsyat dari seorang Marx. Terlepas dari pemikirannya, Karl Marx yang seorang Yahudi saja berani dan yakin memilih cinta dan masuk pada lahan-lahan perjuangan. Padahal bisa saja ia memilih hidup nyaman sehingga ia tak akan hidup sulit.

Inilah yang akan didapatkan dari pilihan cinta. Melihat realita kebanyakan aktivis dakwah kita patut bertanya mengapa para aktivis dakwah tidak bisa seperti Marx, padahal sudah dijamin oleh Allah dalam berbagai firman-Nya, salah satunya:

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (Surat Muhammad ayat 47)

Kita bisa lebih hebat dari Marx karena kita umat Muslim, karena kita Aktivis Dakwah. Masihkah kita ragu akan janji Allah? Sudah banyak para pendahulu membuktikannya. Dan keyakinan Marx akan perjuangannya adalah cambuk buat kita sebagai umat Muslim khusunya para aktivis dakwah yang melepaskan cintanya pada perjuangan dakwah.

Oleh: Eko Wardaya, Bogor