Inilah Mereka yang Menolak Penutupan Pelacuran Dolly

Kompleks lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara, Dolly, akan segere ditutup sebelum datangnya Bulan Ramadhan tahun ini, tepatnya 19 Juni 2014 itu. Sudah tentu hal ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang pro penutupan membawa alasan religius, sosial, dan kesehatan. Sementara pihak yang kontra penutupan komplek pelacuran di Surabaya membawa alasan ekonomi dan kesehatan.

Berikut ini pihak-pihak yang (pernah) menolak penutupan komplek pelacuran Dolly Surabaya:

1. Walikota Surabaya Tri Rismaharini

Bermula dari desakan Gubernur Jawa Timur Soekarwo pada 2010 lalu. Saat itu, Gubernur yang akrab disapa Pakde Karwo, menyebut bahwa akar masalah penghuni Dolly bukan melulu kemiskinan, maka itu , dirinya mendorong agar dolly segera ditutup.

Pernyataan Gubernur Jatim itu, langsung di tolak  oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini pada oktober 2010 lalu.

Tri Rismaharini dengan ketegasannya,menyebut bahwa penutupan lokalisasi yang disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara itu bukan solusi yang pas.

Alasan penolakan Walikota Surabaya atas desakan penutupan dolly , yaitu , Risma mengaku khawatir jika dolly ditutup , sebab pekerja seks komersial (PSK) akan ‘berjualan’ di pinggir jalan hingga akhirnya menyebar tak terkontrol.

Namun, kini Risma berbalik arah. Dirinya bahkan memiliki rencana besar untuk menutup lokalisasi Dolly. Untuk memuluskan penutupan lokalisasi, Tri Rismaharini pun menyiapkan anggaran khusus, yang dipaketkan dalam beberapa kebijakan penutupan Dolly.

2. Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana

Politisi PDI Perjuangan, Whisnu Sakti Buana termasuk tokoh yang tidak sejalan dengan rencana penutupan yang akan dilakukan, sesuai tenggat yang ditetapkan bersama Wali Kota Rismaharini bersama Gubernur Jatim Soekarwo.

“Tanggal 19 Juni 2014 itu terlalu cepat,” tegas Whisnu kepada Surya , Kamis (1/5/2014) kemarin.

Di pemkot, sosialisasi dan persiapan belum matang benar. Bahkan Whisnu mengaku belum pernah diajak bicara oleh Risma seputar rencana penutupan Dolly. Padahal rencana memulangkan 1.022 pekerja seks komersial (PSK) dari Kelurahan Putat Jaya tersebut tinggal 37 hari lagi.Whisnu juga mengaku tidak tahu pasti skema dan rencana pemberian kompensasi yang diputuskan Risma.

“Kami tahu justru dari terjun beberapa kali ke Kelurahan Putat Jaya. Intinya warga merasa belum diajak bicara soal penutupan Lokalisasi Dolly,” kata Whisnu.

3. Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono

Ketua Komisi D DPRD Surabaya Baktiono yang merupakan politisi PDI Perjuangan ini menyatakan tidak setuju jika Dolly ditutup dua bulan mendatang.

“Pemkot belum mengkaji secara akademis soal kesenjangan sosial yang diakibatkan saat Dolly di tutup. Ini sepertinya semangat pemkot hanya semangat menutup secara normatif. Dari 300 wisma diprediksi masih memiliki potensi menyimpang sesuai dengan perda pemanfaatan rumah tinggal menjadi rumah prostitusi,” terang Baktiono.

Baktiono meminta agar pemkot surabaya mengulur waktu dan harus ada kajian laporan secara tegas, meski harus dirahasiakan. Sementara hingga saat ini DPRD Surabaya belum diberitahui set plan dampak sosial kedepan.

4. Pergerakan Mahasiswa Islam Jawa Timur

Ketua PMII Jatim, Muhammad Junaidi, melontarkan sejumlah kekhawatiran jika lokalisasi dolly ditutup kelak.

“Akan terjadi bahaya besar jika Dolly benar-benar ditutup, saya khawatir para pekerja seks yang selama ini menghuni wisma-wisma akan bertebaran di pinggir jalan lantaran lokalisasi ditutup, selain itu, bahaya HIV AIDs yang sulit dikontrol jika Pekerja seks tidak dilokalisir,” ungkapnya.

Aktivis asal Kota Reog ini menambahkan, masalah Dolly bukan hanya pengalihan skill profesi semata melainkan persoalan mengubah mindset, bagaimana seorang pekerja seks dalam semalam bisa menghasilkan uang hingga ratusan ribu rupiah. Sementara pemkot hanya membekali skill ketrampilan seperti menjahit.

“Para mantan PSK ini menjadi tukang jahit, mencari uang satu juta dalam sebulan saja susah, pasti mereka akan kembali menjalani profesinya sebagai penjajah Seks,” tegas Junaidi.

5. Aliansi Ormas dan LSM (AOM) Jawa Timur,

Bambang Smit, Ketua AOM Jatim menganggap Walikota Surabaya Tri Rismaharini mencla-mencle atas pernytaannya sendiri.

“Awalnya menolak, sekarang mendesak agar segera ditutup, ada apa dibalik ini?” katanya Senin (16/12/2013)

Lebih Lanjut kata Bambang,  yang ada dipikiran Walikota Tri Rismaharini hanyalah Bisnis dan lagi Bisnis . Dolly ditutup, karna dianggap merusak harga pasar tempat prostitusi kelas atas (high class) .

”Pekerja Seks Komersial (PSK)  di Dolly dengan PSK yang ada di high class,  memiliki kualitas yang sama, namun dengan harga yang berbeda. PSK di Dolly hanya dibanderol Rp.100 ribu- Rp. 300 ribu. Sementara di high class dibanderol jutaan Rupiah. Bilang aja kalau Walikota mau menaikan harga di Dolly, jangan berkedok!”

Supaya fair, pria yang juga Aktivis Jawa Timur ini meminta agar Walikota bersama legislator segera mewujudkan Perda Anti Prostitusi, atau SK Walikota tentang Pelarangan Prostitusi . Jadi tidak hanya Dolly,  tetapi untuk seluruhnya.

6. Pelacur dan Mucikari di Dolly

Di hari May Day, aksi buruh se-Jawa Timur ‘disusupi’ aksi ratusan pekerja lokalisasi Gang Dolly, Surabaya. Dengan ‘menunggangi’ Hari Buruh se-Dunia, mereka menolak penutupan lokalisasi Dolly.

Sekitar 500 pekerja lokalisasi yang ikut menggelar aksi di Hari May Day itu, terdiri dari para para mucikari, pelacur, dan sejumlah pedagang kaki lima yang biasa mangkal di Gang Dolly.

Menurut massa aksi yang tergabung dalam Forum Pekerja Lokalisasi (FPL), penutupan lokalisasi yang dilakukan Pemkot Surabaya, pada Juni mendatang adalah keputusan yang terburu-buru. Padahal, warga sekitar lokalisasi belum siap secara ekonomi.

7. Pedagang dan Warga Sekitar Pelacuran

Warga sekitar komplek pelacuran Dolly dan Jarak menilai, penutupan ini bakal membuat hidup ribuan warga yang bergantung pada perekonomian di kawasan itu menjadi sengsara.

“Kami hidup di sini. Jadi tolong jangan ganggu hidup kami!” ujar Apeng, warga setempat, Sabtu (26/4/2014) malam.

Bagi Apeng, tanpa lokalisasi pun, prostitusi bakal tetap ada dan bisa jauh lebih liar. Pria yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima ini menambahkan, warga hanya ingin mempertahankan sumber penghidupan mereka.

“Apa kemudian selesai masalahnya ketika Dolly ditutup?” ujarnya.

Dalam unjukrasa pada 1 Mei 2014, koordinator aksi, Aheng mengatakan bahwa aksi unjuk rasa seluruh komponen penghuni lokalisasi dolly ini untuk menentang rencana penutupan lokalisasi gang dolly oleh Pemerintah Kota Surabaya. Karena banyak masyarakat di sekitar lokalisasi yang mengantungkan hidupnya dari gemerlapnya lokalisasi dolly.

“Kami meminta pemerintah kota membatalkan rencana penutupan Dolly. Karena ada 5 ribu masyarakat sekitar Dolly yang menggantungkan hidupnya dati lokalisasi ini,” pinta Aheng selaku kordinator aksi.