Hukum Meramal Nasib dengan Tanggal Lahir

Sekarang ada banyak ceramah atau pelatihan untuk menyingkap rahasia tanggal lahir. Ada rekan-rekan saya mengikutinya dan mulai mempercayai nasib masa depan mereka menurut tanggal lahir. Konon, tanggal lahir menentukan kemampuan dirinya, masa depannya dan lain-lain, apa yang dipilih pun mesti berdasarkan tanggal lahir. Apakah ini diizinkan oleh Islam?

Saudara, dalam masyarakat yang menghadapi berbagai tekanan hidup, kesibukannya, persaingan antara satu sama lain, maka banyak yang akan coba mencari ‘keajaiban’ untuk merentasi semua itu. Jika tidak dengan iman yang benar, maka sihir, meramal nasib, dan berbagai khurafat yang lain akan timbul dan mengambil tempat di hati masyarakat. Akan ada saja pihak yang mengambil kesempatan dari keadaan yang seperti ini. Untuk soal tersebut beberapa perkara berikut saya ingin tegaskan;

Islam adalah agama yang menentang semua unsur khurafat, tahayul dan apa saja kebatilan yang tidak berasaskan fakta dan dalil yang benar. Meramal masa depan tanpa asas-asas yang bisa dipercayai atau saintifik adalah merusakkan akal dan menimbulkan berbagai salah sangka dalam kehidupan manusia. Ia bisa memutuskan harapan, atau membuat jangkaan yang salah. Sedangkan kita dilarang untuk berputus asa dari rahmat Allah. Segala unsur yang membodohkan manusia, ditentang keras oleh ajaran Islam ini.

Kepercayaan bahwa tanggal tertentu membentuk watak tertentu tidak berasaskan bukti ilmiah sama sekali. Demikian juga, kepercayaan rupa paras tertentu membawa perangai baik dan buruk yang tertentu tidak berasaskan bukti melainkan pra-sangka terhadap ciptaan Allah semata. Jika ada yang mendakwa bahwa tanggal lahir tertentu seperti angka 1 mempengaruhi nasib tertentu dengan disertakan bukti beberapa tokoh atau individu, itu bukanlah bukti yang ilmiah. Entah berapa puluh juta manusia memiliki angka 1 dalam tanggal lahirnya, adakah semua mereka demikian? Sudah pasti bagi setiap angka ada berbagai watak manusia. Jika mau, kita bisa dapati berapa banyak yang memiliki angka selain 1 mempunyai ciri-ciri yang sama dengan 1 seperti yang para ‘penilik dan peramal’ nasib itu nyatakan. Dari mana mereka perolehi ciri-ciri tersebut? Ia sebenarnya, sebagian warisan ahli-ahli nujum kuno yang ditentang oleh Islam, atau mungkin rekaan baru mereka untuk melariskan ‘bisnis motivasi’.

Para peramal atau ahli nujum nasib seperti itu menipu manusia dengan mainan kata-kata. Jika apa yang mereka ramalkan itu kelihatan tidak tepat, mereka akan berkata ‘itu disebabkan kamu belum lakukan itu dan ini’ atau ‘disebabkan kamu belum tahu potensimu’ dan seumpamanya. Mereka mempengaruhi psikologi sebagian masyarakat. Orang-orang yang mandul akalnya, akan mempercayai tipu daya yang seperti itu.

Warna kulit dan rupa paras adalah ciptaan Allah. Ia bukan pilihan manusia. Tanggal lahir juga adalah luar dari penguasaan seseorang individu. Meramal manusia berdasarkan rupa atau tanggal lahir, menyalahi prinsip Islam yang menilai manusia berdasarkan amalan yang telah dilakukan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm menyebut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Wahai manusia! Sesungguhnya tuhan kamu sama, bapak kamu sama (Adam). Ketahuilah! Tiada kelebihan orang Arab ke atas ‘ajam (yang bukan Arab), atau ‘ajam ke atas Arab, atau yang berkulit merah ke atas yang berkulit hitam, atau yang berkulit hitam ke atas yang berkulit merah melainkan ketakwaan.” (Riwayat Ahmad dan al-Baihaqi, dinilai hasan oleh al-Albani).

Masa depan seseorang termasuk dalam perkara ghaib yang tidak ketahui oleh siapapun melainkan Allah. Siapapun yang mendakwa dia mengetahui kejadian masa depan tanpa suatu alasan yang munasabah, maka dia telah menandingi pernyataan Allah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm pun tidak dapat mengetahui masa depan, buruk dan baik yang akan menimpa melainkan dengan kadar yang Allah wahyukan kepada beliau.

Firman Allah:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Jika aku mengetahui perkara-perkara yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan dengan banyaknya kebaikan dan (tentulah) aku tidak ditimpa kesusahan. Aku ini tidak lain hanyalah pemberi amaran (bagi orang-orang yang engkar) dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”(Surah al-A’raf: 188).

Jika ada ilmu untuk mengetahui masa depan, tentulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm lebih utama untuk mengetahuinya karena perjuangan beliau lebih penting dari segalanya. Malangnya, tidak sedemikian!

Perbuatan meramal nasib, baik melalui ilmu bintang atau bacaan di tapak tangan atau tanggal lahir, adalah haram dan bisa membawa kepada syirik jika mempercayai penilik atau peramal tersebut mengetahui yang ghaib.

Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm dalam hadis yang sahih:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Siapapun yang datang menemui penilik atau peramal nasib lalu mempercayai apa yang diberitahu olehnya, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad” (Riwayat Ahmad).

Ini karena Allah berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah (wahai Muhammad) tiada siapapun di langit dan bumi yang mengetahui perkara ghaib melainkan Allah”. (Surah al-Naml: 65).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا

“Tuhanlah yang mengetahui segala yang ghaib, maka tidak zahir perkara ghaib itu kepada siapapunpun, -melainkan kepada sebagian rasul yang diridhaiNya” (Surah al-Jinn: 26-27).

Jika seseorang hanya hadir menemui ahli nujum atau peramal nasib sekadar untuk suka-suka dan tidak mempercayainya, ia tetap satu perbuatan yang diharamkan Islam, itu menyiarkan kesalahan dan pembohongan. Kecualin jika dia ingin berhujah dan mengkritik perbuatan tersebut. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Siapapun yang datang menemui ‘arraf (tukang ramal) maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” (Riwayat Muslim).

Maksudnya selama empat puluh hari pahala shalatnya tidak diberikan. Walaupun begitu kewajiban shalat tetap mesti dilakukan, jika tidak dia akan berdosa besar. Namun tiada pahala buatnya, denda atas dosa menyokong aktivitas khurafat dan perdukunan. Inilah amaran Islam untuk menentang kerja-kerja dukun dan khurafat yang merusakkan pemikiran seperti itu.

Jikalau nasib itu bisa diramal, tuah dan bahaya itu bisa dicapai dan ditolak oleh seorang peramal nasib, tentulah nasib dan tuah si peramal senantiasa baik. Namun malang sekali, tuah dan nasib mereka juga belum tentu.

Islam dalam masa yang sama, tahu bahwa manusia amat gusar tentang perjalanan masa depan mereka. Bimbang terhadap kejadian yang mendatang. Maka dengan itu begitu banyak Islam mengajar tawakal dan doa-doa untuk insan mengharungi kehidupan di alam ini. Pohonlah langsung kepada Allah Yang Menguasai Segala Urusan! Antaranya doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm:

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ

“Ya Haiyyu, Ya Qayyum, dengan rahmatMu daku memohon pertolongan. Baikilah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan diriku ini kepadaku walaupun sekejap mata.” (Riwayat al-Nasai dalam al-Kubra, Abu Daud, al-Hakim dalam al-Mustadrak, sahih).

Demikian indahnya doa ini, apabila seorang hamba dengan penuh merendah, menyerahkan harapan dan urusannya kepada Allah agar membaiki segala tindakan dan urusan hidupnya. Apakah mungkin seorang mukmin yang melafazkan doa begini dengan penuh makna dan faham, lalu menyerahkan kepercayaan masa depan ke tangan tukang ramal dan tukang tilik?!

Dalam membuat pemilihan yang tidak pasti, Islam mengajar pula penganutnya untuk beristikharah sebelum memilih atau memutuskan sesuatu urusan. Walaupun wahyu sudah terputus dan ramalan nasib pula dilarang namun hubungan spiritual antara insan dengan Tuhan yang menguasai segala urusan terus terbuka untuk insan lakukan. Insan disuruh beristikharah memohon pemilihan Allah terhadap urusan yang meragukan yang bakal dilakukannya. Hayatilah doa istikharah yang indah yang diajar oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm. betapa ia mendamaikan perasaan dan member harapan dengan penuh iman. Demikian gantian yang Islam berikan yang lebih bermakna dari amalan-amalan yang khurafat.

Prof. Madya. Dr. Muhammad Asri Zainal Abidin