Hukum Mengadopsi Pemikiran Non Muslim yang Bermanfaat

Tidak ada larangan dalam syariat mengadopsi pemikiran, konsep, teori dan alternatif amaliyah dari kalangan non muslim yang dapat mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Dengan syarat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan nash serta kaidah-kaidah Syar’iyyah. Banyak riwayat yang menunjukkan hal ini dalam literatur sejarah Islam, diantaranya:

Pertama: Nabi shallallahu alaihi wasallam mengambil metode rakyat Persia dalam perang Ahzab berupa taktik menggali parit (hafr al-khandaq) berdasarkan usulan Salman al-Farisi.

Terkait peristiwa ini, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim al-Zaid berkomentar: “Dari proyek penggalian parit, kita dapat mengambil pelajaran, boleh memanfaatkan apa yang ada pada orang lain (non muslim) selama tidak bertentangan dengan syariat. Rasulullah SAW menerima usulan menggali parit atas ide Salman al-Farisi yang didapat dari bangsa Persia, ia berkata: “Dahulu, apabila kami khawatir serangan pasukan berkuda, maka kami menggali parit di sekitar kami”. Memanfaatkan apa yang ada pada pihak lain diperintahkan dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama”. (Zaid bin Abdul Karim al-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 443).

Kedua: Saat berada di bukit Shafa’, Nabi shallallahu alaihi wasallam menggunakan seruan yang biasa dipakai oleh kaum Jahiliyah, yakni kalimat “waa shabaahah”, yakni “Duhai pagi yang berbahaya!”, untuk tujuan mengumpulkan kaum kerabatnya. Kalimat ini biasanya digunakan orang Arab Jahiliyah ketika ingin menyampaikan sebuah kabar penting dan bahaya yang akan menimpa mereka. Selain mengucapkan kalimat ini, sang penyeru akan melepaskan pakaiannya dan menabur pasir pada tubuhnya.

Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim al-Zaid memberi komentar: “Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW tetap memakai cara itu dan sama sekali tidak meninggalkan secara keseluruhan. Beliau tidak memanggil dengan cara yang baru dan meninggalkan kebiasaan kaumnya; tetapi tidak juga mengambil semua kebiasaan mereka. Beliau tidak membuka pakaian dan tidak pula menaburkan pasir pada tubuhnya.
Kalimat “waa shabaahah” adalah kalimat yang tidak bertentangan dengan agama. Yang dilarang adalah bertelanjang di depan orang banyak dan menaburi pasir ke seluruh tubuh. Begitulah semestinya seorang muslim, mengambil apa yang baik dari orang lain yang tidak bertentangan dengan agama dan meninggalkan apa yang bertentangan dengannya. Artinya, ukuran untuk mengambil hikmah dari orang lain adalah harus dengan ukuran seperti itu, tidak mengambil sikap tertutup sama sekali untuk mengambil kebaikan (budaya) orang lain, dan tidak juga terbuka selebar-lebarnya dan mengambil seluruh apa yang berasal dari (budaya/kebiasaan) orang lain (kendati menyelisihi syariat)”. (Ibid, 148).

Ketiga: Khalifah Umar bin al-Khattab ra mengadopsi dari Persia dan Romawi terkait dasar-dasar aturan administrasi negara Islam dan membuat “al-dawawin”, yakni daftar (arsip) nama-nama prajurit dan orang-orang yang berhak mendapat pemberian negara, seperti di sebutkan Ibnu Atsir dalam al-Nihayah fi Gharib al-Atsar, II/371.

Dan masih banyak contoh lain, yang keseluruhannya masuk dalam jangkauan sabda Nabi SAW: “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HR. Muslim).

Maka itu, untuk kondisi saat ini, boleh saja kita mengambil sesuatu dari aturan demokrasi, utamanya jaminan kebebasan yang sejalan dengan ajaran Syari’at. Tentu saja, dengan tidak menelan bulat-bulat pijakan falsafahnya yang mungkin saja mengandung unsur penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal serta pengguguran terhadap kewajiban-kewajiban agama.

Apalagi, sebagimana diketahui bahwa sistem demokrasi merupakan aturan yang sifatnya fleksibel dan bisa saja disesuaikan dengan aturan dan budaya masyarakat yang menggunakannya. Wallahu A’lam.