Hukum Memilih Pemimpin dengan Pemilu (Voting)

Sebelumnya telah kita bahas mengenai Musyawarah dan Demokrasi. Selanjutnya dalam pembahasan ini akan kita bahas mengenai pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum atau voting atau jajak pendapat atau referendum.

Dalam demokrasi, seluruh keputusan dan pengambilan kebijakan dilaksanakan dengan sistem suara terbanyak. Sedangkan dalam Islam, dilaksanakan dengan sistem musyawarah untuk mufakat.

Tatacara Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Jika kita perhatikan sejarah para Khulafaur Rasyidin, maka akan kita dapati bahwa pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara:

1. Musyawarah  dan Berdasarkan Nash

Sebagian ulama mengatakan bahwa Abu Bakr  diangkat sebagai khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan nash khafiy dan berdasarkan nash jaliy. Di antara mereka yang berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah Al Hasan Al Bashri, satu riwayat dari Imam Ahmad, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya. Adapun yang berpendapat berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu Hazm Azh Zhahiri, Ibnu Hajar Al Haitami, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu didasarkan pada kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka. Dalam hal ini, ketidaksepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah dianggap (yaitu misalnya ketidaksepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu ’anhu).

2. Penunjukan Langsung

Cara seperti ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari beberapa orang shahabat tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya ’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair, dan yang lainnya), maka beliau memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis wasiat penunjukkan ’Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi khalifah.

3. Pembentukan Tim Formatur dan Jajak Pendapat

Ketika Khalifah Umar bin Khatab mendekati ajalnya, beliau menunjukkan 6 orang yang bertanggung jawab memilih penggantinya. Beliau mengatakan, ”Saya tidak menjumpai orang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan ini, selain sekelompok orang ini, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau ridha kepada mereka.”

Kemudian Umar menyebut beberapa nama, diantaranya, Ali, Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Usai pemakaman jenazah Umar radhiyallahu ‘anhu, enam orang ini berkumpul. Abdurrahman memimpin rapat. Beliau mengatakan, “Limpahkan wewenang kepemimpinan kepada 3 orang diantara kalian.”

Artinya, kerucutkan calon khalifah menjadi 3 orang. Az-Zubair mengatakan, ”Aku limpahkan urusan ini kepada Ali.” Thalhah mengatakan, ”Aku limpahkan urusan ini kepada Utsman.” Sementara Sa’d melimpahkan urusannya kepada Abdurrahman bin Auf. Seketika, Abdurrahman mengarahkan kepemimpinan kepada Ali dan Utsman, “Siapa diantara kalian yang menyatakan tidak bersedia menjadi khalifah, akan aku pilih sebagai khalifah. Allah akan menjadi saksi dan islam menjadi hukum sesuai yang dia putuskan. Silahkan renungkan masing-masing.” Mendengar ini, dua sahabat mulia – Ali & Utsman – terdiam. (HR. Bukhari 3700).

Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan  Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari.

Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

4. Pemberontakan atau pemaksaan.

Yaitu, imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya, lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib untuk taat kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

Tidak dipungkiri bahwa apa yang dilakukan orang tersebut ketika bughat merebut kekuasaan merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at Islam, karena Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata, maka dia bukan golongan kami” (HR. Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)

Namun bila ini terjadi, maka sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib berbaiat untuk mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.

Pemilihan Umum untuk Memilih Pemimpin Muslim

Sebagaimana dijelaskan Dr. Utsman al-Khamis bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan  Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari.

Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah, bahwasanya Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.

Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu suara.

Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika musyawarah tidak bisa memberikan mufakat untuk menentukan pemimpin terpilih dari calon-calon yang ada.

Syarat Pemilih dan Calon Kandidat

Namun, perlu dibatasi mengenai syarat-syarat calon yang dipilih dan pemilihnya:

  1. Kita bicara tentang Pemilu di negeri Muslim: kandidatnya Muslim, pemilihnya pun Muslim dan keterlibatan nonMuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.
  2. Adanya campur tangan namusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS ath Thalaq:2). “Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri.” (QS an Nisa:35).
  3. Jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah azza wa Jalla berfirman, “Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS ath Thalaq:2) “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS al Baqarah:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). “Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu).” (QS al Hajj:30).

Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS ath Thalaq:2).

Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembuhyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah Azza wa Jall berfirman, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil.” (QS alBaqarah:208) “Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya.” (QS alBaqarah:283)

Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam.

Jadi, seseorang yang tidak mememuhi syarat-syarat sebagai saksi menurut standar Islam, maka gugurlah hak pilihnya dan hal dipilihnya.